Kemiskinan Kaum Tani Dan Keniscayaan Reforma Agraria;
Refleksi Peringatan Hari Tani Nasional
 
Oleh: Firdaus*
 
 
Introduksi
 
48 Tahun yang lalu, tepatnya 24 September 1960, di bawah kepemimpinan
Presiden Soekarno Pemerintah Indonesia telah menetapkan Undang-undang
No. 5 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Pokok Agraria, yang kemudian
lebih dikenal dengan sebutan UUPA 1960. Konteks sejarah dan ekonomi
politik lahirnya UUPA 1960 ini, tidak terlepas dari proses panjang
pemiskinan rakyat (terutama kaum tani) di bawah system feodalisme dan
kolonialisme. 
 
Memaknai momentum Peringatan Hari Tani Nasional -juga tentunya kelahiran
UUPA- yang ke 48, tulisan ini akan mencoba menegaskan kembali
keniscayaan reforma agraria; suatu agenda yang sesungguhnya dimaksudkan
untuk mengangkat nasib kaum tani Indonesia, namun terhambat
pelaksanaannya sejak Rezim Orde Baru berkuasa hingga saat ini.  
 
 
Kemiskinan dan Monopoli Penguasaan Sumber-sumber Agraria 
 
Bagian terbesar dari penduduk miskin berada di wilayah pedesaaan, yakni
63,41% dari jumlah total penduduk Indonesia. Mereka terdiri dari kaum
tani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, dan pemuda yang hidup di
wilayah pedesaan. Dari data BPS tahun 2006, diketahui bahwa jumlah
penduduk miskin di Indonesia hingga tahun 2006 telah mencapai 39,05 juta
jiwa, meningkat dibanding tahun 2005 yang masih berjumlah 35,10 juta
jiwa. Data ini menunjukkan, hanya dalam kurun waktu satu tahun saja,
telah terjadi peningkatan jumlah orang miskin sebanyak 4 juta jiwa. 
 
Kemiskinan kaum tani ini antara lain terjadi akibat monopoli penguasaan
sumber-sumber agraria (SSA) di tangan segelintir pemilik modal yang
memiliki hubungan kuat dengan pihak pemerintah. Mereka yang memonopoli
penguasaan SSA, di antaranya terdiri dari para pemegang izin dan hak
untuk eksploitasi hutan, pengembangan kawasan-kawasan konservasi, bahan
tambang, perkebunan besar, tambak-tambak raksasa, perumahan, fasilitas
wisata dan hiburan, serta pengembangan lapangan golf. 
 
Data yang dikeluarkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan,
hingga tahun 1998 saja, kurang dari 666 unit produksi yang mengontrol
kurang lebih 48,3 juta ha hutan HPH/HPHTI, di mana 16,7 juta ha di
antaranya dikuasai oleh 12 konglomerat. PERHUTANI mengklaim menguasai 3
juta ha lahan hutan. Pada tahun 2000, diketahui terdapat 2,178
perusahaan yang menguasai perkebunan-perkebunan besar dengan total lahan
seluas 3,52 juta ha. Di bidang pertambangan, hingga tahun 1999, terdapat
561 perusahaan yang menguasai 52,5 juta ha lahan konsesi pertambangan. 
Sementara di sisi lain kaum tani hanya menggarap lahan dalam skala
terbatas, bahkan banyak di antaranya yang tidak memiliki tanah dan
terpaksa menjadi buruh tani. Sejumlah data statistik penguasaan tanah di
Indonesia menunjukkan, hingga saat ini rata-rata penguasaan tanah oleh
petani kita tidak lebih dari 0,8 hektar / keluarga, yang secara
keseluruhan hanya menguasai sekitar 17 juta hektar lahan pertanian.
Bahkan ada sekitar 12,5 juta rumah tangga petani yang dikategorikan
sebagai petani gurem, dan di dalamnya ada sekitar 9,9 juta rumah tangga
petani yang tidak bertanah (landless peasant) atau sekitar 32,6 % dari
jumlah keseluruhan rumah tangga tani di Indonesia (Bachriadi dan Wiradi,
2003).
 
 
Sengketa Agraria
 
Di samping masalah monopoli penguasaan tanah oleh pemilik modal, di
berbagai wilayah di Indonesia kaum tani juga menghadapi sengketa agraria
yang seringkali disertai dengan tindakan-tindakan kekerasan terhadap
rakyat, baik yang dilakukan  oleh aparat militer, kepolisian maupun
birokrasi. Berdasarkan laporan KPA, dalam kurun waktu 1970 hingga 2001,
telah terjadi 1.753 kasus sengketa tanah yang dapat dikategorikan
sebagai sengketa tanah struktural yang diakibatkan peneritan HGU (Hak
Guna Usaha) untuk perusahaan perkebunan, pengembangan sarana umum dan
fasilitas perkotaan, pengembangan perumahan dan kota baru, pengembangan
kawasan hutan produksi, pabrik-pabrik dan kawasan industri, pembangunan
bendungan dan sarana pengairan, sarana pariwisata, hotel-hotel dan
resort, termasuk pembangunan lapangan-lapangan golf. 
 
Dalam sengketa-sengketa itu, tidak kurang dari 1.090.868 rumah tangga
telah menjadi korban langsung, dan meliputi tidak kurang dari 10.5 juta
hektar lahan yang disengketakan. Di dalam sejumlah sengketa ini, sudah
ribuan orang (tentu saja dari pihak penduduk) yang harus mendekam di
penjara karena mempertahankan haknya. Bahkan ada yang hingga menemui
ajal hanya karena hendak mempertahankan sejengkal tanah penghidupannya.
 
 
Akar Persoalan
 
Ketidak-adilan agraria yang selama ini dihadapi kaum tani sesungguhnya
bersumber  dari pilihan orientasi dan strategi pembangunan nasional yang
sejak masa pemerintahan Orde Baru telah mengintegrasikan Negara ini
secara penuh ke dalam sistem kapitalisme global, suatu corak
perekonomian yang bertumpu bukan pada ekonomi kerakyatan, melainkan
pada kekuatan modal besar (konglomerasi) sebagai penggerak sekaligus
menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Sistem ekonomi seperti ini
tumbuh dan berkembang di atas semangat penumpukan dan pelipatgandaan
keuntungan bagi kaum pemilik modal di satu sisi, dengan mengorbankan
kepentingan dan hak-hak rakyat marjinal di sisi lainnya. 
 
Di bawah kapitalisme global inilah, pemerintah-pemerintah yang berkuasa
di Indonesia telah memproduksi berbagai peraturan perundang-undangan
yang memfasilitasi dan melindungi kepentingan modal, di antaranya
peraturan perundang-undangan di bidang  penanaman modal, pertambangan,
kehutanan, perkebunan, sumber daya air, dan lain sebagainya. Pilihan
orientasi dan strategi pembangunan nasional pada kenyataannya telah
melahirkan: (i) Watak sistem politik agraria yang memihak kepada modal
besar, dan sebaliknya mengorbankan kepentingan dan hak-hak rakyat, (ii)
Corak sistem hukum agraria yang berwatak sektoral serta memfasilitasi
dan melindungi kepentingan modal besar.
 
 
Reforma Agraria, Sebuah Keniscayaan
 
Seluruh persoalan yang telah disebutkan di atas meniscayakan perlunya
menjalankan reforma agraria, yakni suatu upaya sistematis dan
terorganisir untuk merombak susunan/struktur pemilikan, penguasaan, dan
penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan
petani, buruh tani, dan rakyat kecil pada umumnya, yang sekaligus
menjadi landasan menuju proses industrialisasi nasional. Hanya dengan
menjalankan Reforma Agraria, konsentrasi penguasaan tanah dan sengketa
agraria, yang selama ini menjadi sumber penyebab kemiskinan rakyat akan
menemukan jalan keluarnya. 
 
Akan tetapi disadari sepenuhnya bahwa reforma agraria sungguh bukanlah
pekerjaan mudah, karena ia menyangkut perubahan secara mendasar terhadap
susunan penguasaan tanah dan kekayaan alam. Namun, penderitaaan dan
kemiskinan kaum tani yang masih terjadi hingga saat ini harusnya membuat
reforma agraria menjadi suatu keniscayaan di negeri yang kaya akan
sumber daya alam ini. 
 
Guna memastikan jalannya reforma agraria ini, karena ia pada hakekatnya
merupakan suatu upaya transformasi sosial, tentu memerlukan
prasyarat-prasyarat tertentu. Sejumlah eksponen gerakan reforma agraria
di Indonesia sesungguhnya telah cukup lama berupaya mempersiapkan
prasyarat-prasyarat yang memungkinkan keberhasilan reforma agraria. 
 
Sekurang-kurangnya terdapat empat prasyarat yang memungkinkan
dijalankannya reforma agraria; (i) Komitmen Ideologi dan Politik dari
Pemerintah, (ii) Adanya dukungan dari Militer, (iii)
Organisasi-organisasi Rakyat yang kuat secara ideologi, politik dan
organisasi, dan (iv) Adanya data yang akurat. Dalam situasi politik di
Indonesia seperti sekarang ini, reforma agraria yang sejati nampaknya
belum bisa dijalankan dengan mengharapkan komitmen politik dari
pemerintah dan dukungan militer. Keempat prasyarat yang disebutkan di
muka kelihatannya memang terlalu ideal untuk situasi politik di
Indonesia hari ini, kecuali kita punya kepemimpinan nasional seperti
yang dimiliki Kuba, Venezuela dan Bolivia.   
 
Di tengah situasi politik Indonesia seperti sekarang ini, Organisasi
Rakyat dan Serikat-serikat Tani merupakan satu-satunya kekuatan yang
mampu mendorong komitmen politik pemerintah dan dukungan militer untuk
menjalankan reforma agraria bagi kepentingan kaum tani.
 
Hidup Kaum Tani Indonesia !
 

  _____  

* Penulis bekerja sebagai  Expert Council di Sekretariat Badan Pelaksana
Solidaritas Perjuangan Reforma Agraria (BP-SPRA) Sulawesi Tengah.

Reply via email to