Rukun-Rukun Akad Mudharabah  

________________________________
 
 
Setiap akad   pasti terdiri dari beberapa rukun, yang tidak mungkin akad 
tersebut dapat   terwujud melainkan bila rukun-rukun itu terpenuhi seluruhnya, 
demikian juga   halnya dengan akad mudharabah. Dan setiap rukun dari suatu akad 
pasti   memiliki beberapa kriteria (persyaratan) yang harus diindahkan, agar 
akad   tersebut dapat dilakukan dengan benar dan selaras dengan syariat Allah   
Ta'ala.

Rukun Pertama: Ijab & Qabul.

Yang dimaksud dengan ijab ialah perkataan yang diucapkan oleh pihak pertama   
yang menghendaki terjalinnya akad mudharabah. Sedangkan qabul ialah jawaban   
yang mengandung persetujuan yang diucapkan oleh pihak kedua atau yang   
mewakilinya.

Akad mudharabah dapat berlangsung dengan segala ucapan yang menunjukkan   
tentangnya misalnya, "Saya ajak Anda untuk bekerja sama dalam usaha,   saya 
sebagai pemodal, dan Anda sebagai pelaku usaha, dengan ketentuan   pembagian 
hasil 50% banding 50%" Kemudian pihak kedua berkata,   "Baiklah, saya terima 
tawaran Anda. Atau saya beri Anda modal untuk   usaha, dan keuntungan yang 
berhasil Anda peroleh dibagi dua, saya 40% dan   Anda 60%"

Singkat kata, tidak ada kata-kata khusus yang harus diucapkan oleh   
masing-masing pihak, agar mudaharabah dapat terjalin antara mereka. Hal ini   
dikarenakan akad mudharabah bukanlah amalan ibadah, layaknya shalat, haji,   
dan 
lain-lain. Akan tetapi, mudharabah adalah salah satu wujud interaksi   sesama 
umat manusia, sehingga dapat dijalin dengan ungkapan apa saja, yang   
menunjukkan akan maksud dan kesepakatan kedua belah pihak, baik disampaikan   
secara lisan atau tulisan.

Penjelasan ini didukung oleh kaidah dalam ilmu fiqih yang berbunyi:

العادة   محكمة

"Adat-istiadat itu memiliki kekuatan hukum". Yang dimaksud dengan   
adat-istiadat disini ialah adat-istiadat yang telah berlaku dan dijalankan   
oleh setiap orang dan tidak menyelisihi syariat.

Rukun kedua: Pemodal & Pelaku Usaha.

Orang yang dibolehkan untuk menjalin akad mudharabah ialah orang yang   
memenuhi 
empat kriteria: merdeka, telah baligh, berakal sehat, dan rasyid   (mampu 
membelanjakan hartanya dengan baik dalam hal-hal yang berguna).

Kriteria pertama: Ia adalah seorang merdeka, dan bukan seorang budak, karena   
seorang budak tidak dibenarkan untuk bertransaksi kecuali dengan seizin   
tuannya. Yang demikian ini karena budak tidak memiliki harta benda, dan   
seluruh harta yang ada padanya adalah milik tuannya.

Dalil kriteria ini ialah sabda Nabi shallallahu `alaihi wa sallam,

من باع   عبدا 
له   مال   فماله   
لبائعه   إلا 
أن   يشترطه   
المبتاع

"Barangsiapa menjual seorang budak yang memiliki harta, maka harta budak   itu 
adalah milik penjualnya, kecuali bila pembelinya mensyaratkan agar harta   
tersebut menjadi miliknya." (HR. al-Bukhary dan Muslim)

Kriteria kedua: Telah baligh.

Baligh pada lelaki dapat diketahui dengan telah sampainya seseorang pada umur   
lima belas tahun atau telah bermimpi junub. Dan pada wanita ditandainya   
dengan 
dimulainya siklus datang bulan (haidh), atau hamil, atau telah berumur   lima 
belas tahun.

Dalil kriteria ini ialah firman Allah Ta'ala,

وَابْتَلُوا   
الْيَتَامَى   
حَتَّى   
إِذَا   
بَلَغُوا   
النِّكَاحَ   
فَإِنْ   
آنَسْتُمْ   
مِنْهُمْ   
رُشْداً   
فَادْفَعُوا   
إِلَيْهِمْ   
أَمْوَالَهُمْ


"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.   Kemudian 
jika 
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara   harta), maka 
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya." (Qs. an-Nisa':   6)

Allah Ta'ala mensyaratkan dua hal sebelum diserahkannya harta benda anak   
yatim 
kepada mereka: mereka telah cukup umur untuk menikah yaitu telah   baligh, dan 
mampu membelanjakan harta bendanya dengan baik (dan diriwayatkan   juga dari 
Imam Ahmad, bahwa anak yang telah mumayyiz (kira-kira berumur tujuh   tahun 
atau 
lebih) perbuatannya sah, akan tetapi harus disetujui oleh walinya   (Al-Inshaf, 
4/267))

Kriteria ketiga: Berakal sehat, sehingga orang yang mengalami gangguan jiwa,   
atau serupa tidak sah akad perniagaannya. Dan di antara orang-orang yang   
dinyatakan tidak berakal sehat adalah orang pikun, atau pandir.

Kriteria keempat: Ia mampu membelanjakan hartanya dengan baik, sehingga ia   
tidak membelanjakannya pada hal-hal yang diharamkan, juga tidak pada hal-hal   
yang tidak ada gunanya. Orang yang tidak mampu membelanjakan hartanya dengan   
baik dalam ilmu fiqih disebut dengan safih sebagaimana disebutkan dalam ayat   
berikut,

وَلا   
تُؤْتُوا   
السُّفَهَاءَ
   
أَمْوَالَكُمُ
   الَّتِي   
جَعَلَ 
اللَّهُ   
لَكُمْ 
قِيَاماً.

"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna   akalnya 
harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah   sebagai pokok 
kehidupan bagimu." (Qs. an-Nisa': 5)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Dan dari ayat ini disimpulkan syariat   hajr 
(cekal kebebasan membelanjakan harta) terhadap orang-orang yang tidak   mampu 
membelanjakan hartanya dengan baik (safih) dan mereka itu ada beberapa   
golongan: kadang kala hajr diberlakukan atas anak kecil, karena anak kecil   
ucapannya tidak dianggap, kadang kala diterapkan pada orang gila, kadang kala   
diterapkan pada orang yang buruk dalam membelanjakan hartanya, karena akalnya   
yang kurang sempurna, atau agamanya yang kurang baik." (Tafsir Ibnu   Katsir, 
1/452)

Dalil permasalahan ini ialah kisah berikut,

"Ada seseorang di zaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan ia   biasa 
berjual beli, padahal ia kurang sempurna dalam akalnya. Kemudian   keluarganya 
mendatangi Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dan berkata   kepadanya, `Wahai 
Nabi Allah, terapkanlah pada fulan hajr (batasilah   kebebasan membelanjakan 
harta), karena ia senantiasa berjual beli ia kurang   sempurna akalnya.' Maka 
iapun dipanggil oleh Nabi shallallahu `alaihi wa   sallam, dan beliau 
melarangnya dari berjual beli. Kemudian ia berkata, `Wahai   Nabi Allah, 
sesungguhnya saya tidak kuasa untuk menahan diri dari berjual   beli.' Maka 
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, `Bila engkau   enggan untuk 
meninggalkan jual beli, maka katakanlah ketika engkau berjual   beli: Ini 
dibeli 
dengan harga sekian, dan tidak ada penipuan.'" (HR.   Ahmad, Abu Dawud, 
at-Tirmidzy dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh al-Albany)

Nabi shallallahu `alaihi wa sallam tidak mengingkari permintaan keluarga 
sahabat   
yang akalnya kurang sempurna tersebut, ini menunjukkan bahwa membatasi   
kebebasan orang yang tidak mampu membelanjakan hartanya dikarenakan ia tidak   
atau belum berakal atau cacat mental dari membelanjakan hartanya, adalah   
suatu 
hal yang dibenarkan dalam syariat.

 
***

Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri 

Reply via email to