Relevankah
Ekonomi Pasar Sosial? 

6.12.08

Oleh: RUDI HARTONO



Beberapa hari yang lalu, dalam Workshop Mahasiswa Mengagasa Jalan Baru
Indonesia,
yang digelar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), dimana
fadhil
Hasan menjadi pembicara untuk sesi ekonomi, ia melemparkan kesimpulan
bahwa
sistim neoliberal sudah gagal. Ketika sebuah pertanyaaan di arahkan
kepadanya,
menyinggung soal alternatif ekonomi, ia dengan jelas merujuk pada
Ekonomi Pasar
Sosial (EPS) sebagai solusi. 



Menarik, setidaknya buat saya, karena gagasan EPS yang identik dengan
kebijakan
pemerintahan sosial demokrasi di Jerman kini sedang mengalami krisis.
Artinya,
sebuah model ekonomi yang terbukti salah hendak dipakai untuk
menyembuhkan
masalah ekonomi yang lebih ruwet ketimbang Jerman, yaitu Indonesia.






Jerman dan Ekonomi Pasar Sosial

Ekonomi pasar sosial (Epasos) mulai dibangun di Jerman
paska perang dunia ke II. Konsep ini dikenalkan dalam kongres Godesberg,
tahun
1958, setelah veteran-veteran kiri SPD yang tetap komitmen pada
perjuangan klas
dan menolak ekonomi pasar meninggalkan partai, sedangkan Jerman barat
memilih
berpartisipasi pada aliansi barat. Ekonomi pasar sosial (EPS)
dikampanyekan
sebagai alternative terhadap laissez-faire dan sosialisme. 



ekonomi pasar sosial mencurigai kompetisi bebas dan ide
laissez-faire, tapi menghendaki peran negara yang kuat dalam membentuk
dan
menjamin aturan ekonomi pasar, yang disebut "ordnung" (kebijakan
membentuk
tatanan hukum bagi perekonomian), yang tidak akan mencampuri mekanisme
pasar,
namun lebih menjamin bentuk-bentuk kebebasan perjanjian dan hak-hak
kepemilikan
pribadi dari pihak lain . 



Pada tahun 1969, melalui koalisi dengan partai demokrasi
Liberal (FPD), sebuah sayap partai liberal, SPD berhasil mengontrol
pemerintahan. Segera program EPS diperkenalkan, terutama dengan isu
memperluas
demokrasi dan redistribusi kekayaan. Pada masa kanselir Willy Brandt,
SPD memperluas
hak-hak pekerja dengan membentuk dewan pabrik dan hak menentukan bersama
berjalannya pabrik besar. Ia menggunakan pendekatan Keynesian dalam
strategi
investasi, yaitu memperluas pembangunan infrastruktur publik,
pendidikan, dan
jaringan pengaman sosial yang konferehensif, seperti pendidikan,
kesehatan,
asuransi kecelakaan, pengangguran, dan dukungan dana bagi keluarga dan
anak-anak . 



Akan tetapi, Jerman dibawah pemerintahan sosial demokrasi
tetap merupakan masyarakat kapitalisme yang tersusun dan hierarkis;
tetapi
polarisasi sosial, dalam pengertian mengikuti laissez-faire barat, cukup
berkurang. Pada pertengahan 1970-an, kapitalisme benar-benar sedikit
dijinakkan
dari keserakahannya. Perkembangan ini berjalan berkat pembangunan yang
berkesibambungan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tapi periode ini
berlansung singkat, dibawah Helmut Schmidt, pemerintah berhadapan dengan
inflasi yang tinggi, pengangguran yang terus meningkat, dan deficit
anggaran
yang begitu besar. Dari 1974 hingga 1982, pengangguran meningkat dari
4,7%
menjadi 8,2 %, serta upah pekerja yang terus jatuh sejak 1981. 



Schmidt mencoba mengatasi perkembangan ini, antara lain,
dengan mengeluarkan dana pinjaman bagi investasi infrastruktur public
dan
pengurangan pajak bagi aktifitas bisnis. Akan tetapi, upaya Schmidt
tidak
memperbaiki keadaan, malahan dia harus jatuh dari kekuasaannya. Setelah
ini,
kekuasaan SPD berakhir dan digantikan oleh pemerintahan kanan CDU-FPD,
yang
menaikkan Helmut Kohl's. 



Di bawah Helmut, kondisi jerman bukannya membaik, apalagi
dengan integrasi Jerman Timur, melainkan membawa kesulitan ekonomi yang
cukup
parah. Secara nasional, pengangguran meningkat menjadi 11,4% pada tahun
1994
(dan 19,5% di Jerman Timur), serta upah pekerja jatuh 7% sejak tahun
1992. kehancuran
ini memberikan angin pada kembalinya SPDdalam pemerintahan. SPD
berkoalisi
dengan partai hijau untuk membentuk pemerintahan, dan menjanjikan
membawa
Jerman pada "Inovasi dan Keadilan", dengan reformasi pajak, pension,
sistim
pendidikan, serta perundangan yang mengatur pasar tenaga kerja. 



Dibawah Schröder, orientasi SPD semakin mengarah pada
kebijakan neoliberal. Dibawah kritik kelompok kiri SPD, Schröder
bergabung
bersama Blair untuk membangun jalan ketiga; dengan menolak pendekatan
Keynesianism dan mulai mendekati mekanisme pasar dan globalisasi.
Pertumbuhan
ekonomi menurun dari 2,9% pada tahun 2000 menjadi nol persen pada tahun
2003,
sedangkan pengangguran mencapai 10% (4,4 juta) pada tahun yang sama. 



Stagnasi ekonomi sudah di depan mata, Schröder
mengantisipasinya dengan serangkaian reformasi, seperti pemotongan
pajak,
pencabutan subsidi, dan deregulasi pasar tenaga kerja. Upaya itu tetap
mendapati kegagalan. produksi industri turun 2,1% pada oktober 2002.
sekitar
37.000 perusahaan kolaps pada tahun 2002, termasuk bebeapa perusahaan
besar
seperti Kirch Media, Babcock, Fairchild Dornier dan Herlitz, dan 650.000
orang
kehilangan pekerjaan. Pengangguran resmi tercatat 4,2 juta jiwa . 



Krisis yang dialami pemerintahan Schröder menciptakan
krisis kepercayaan bukan saja anggota partai, tapi juga pekerja dan
rakyat
Jerman. 38 ribu kadernya meninggalkan partai pada tahun 2003. pada
pemilu 2004,
perolehan suara SPD hanya 21,4% (turun dari 30,7% pada tahun 1999). Ini
merupakan kekalahan terburuk sejak 1945 . 



Keterbatasan-Keterbatasan Ekonomi Pasar Sosial



Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan; bahwa; (1). EPS
social tidak dapat menghindar dari krisis, meskipun lebih lambat
dibanding
dengan AS, tapi sejumlah reformasi-reformasi dan bongkar pasan sistim
pajak dan
jaminan social oleh pemerintah Jerman membuktikan bahwa Epasos sudah
harus
ditinggalkan. (2). Partai Sosial Demokrat (SPD) yang mencomot EPS dan
mempraktekkannya dalam beberapa puluh tahun kini pun mengalami krisis
dan mulai
ditinggalkan pendukung fanatiknya, terutama yang berlatarbelakang kiri. 



EPS, seperti juga Keynesian, kapitalisme Negara,
merupakan model-model ekonomi yang tercipta, dalam berbagai
penyesuaian-penyesuaian, untuk mengantisipasi dan menunda krisis yang
inheren
dalam sistim kapitalisme. EPS yang dipraktekkan Jerman, mungkin lebih
mirip
dengan neoliberalisme yang sedikit jinak, yang disesuaikan dengan kultur
politik masyarakat Jerman atau ajaran social kristen; jiwa sosialnya
tinggi. 



Di dalam sistim kapitalisme, ada 3 penyebab krisis yang
inheren dalam sistim tersebut, yakni; (1). Ketidakseimbangan antara
produksi
kapitalis dengan kebutuhan real masyarakat, yang selalu dijelaskan
dengan
anarkisme produksi. (2). Ketidakseimbangan antara keluaran (kapasitas
produksi)
dengan kemampuan konsumsi massal-yang parameternya adalah upah (daya
beli)
masyarakat. (3). Akumulasi berlebihan, yakni tidak cukupnya produksi
nilai
lebih, dibandingkan dengan jumlah capital yang diakumulasikan. 



Di dalam kapitalisme, mekanisme pertukaran dan distribusi
diatur via mekanisme pasar yang kompetitif. Kompetisi pasar adalah aspek
penting dan mendasar dalam kapitalisme, yang mengatur bukan saja
distribusi,
tapi juga soal penentuan harga dan panduan soal produk yang di mana yang
perlu
dihasilkan dan tidak. Dengan kepemilikan pribadi satu pihak, maka tujuan
keterlibatan individu dalam mekanisme pasar yang kompetitif adalah
memaksimalkan keuntungan (profit).



Dalam situasi tersebut, EPS bukan untuk mengendalikan
pasar agar sedikit jinak, seperti yang diyakini sejumlah intelektual di
Indonesia, tapi justru menjamin kebebasan pasar. Makna kebebasan disini
adalah
jaminan atas kepemilikan pribadi atas alat produksi, pasar terbuka,
kebebasan
memasuki dan keluar dari pasar, serta kebebasan membuat kontrak-kontrak.
Karena
sifat pasar yang hiper-aktif, kompetitif, dan anarkis, sehingga
berpotensi
mendorong kesenjangan ekonomi, pengangguran, dan hilangnya jaminan
social.
Maka, EPS menawarkan beberapa katup pengamannya, diantaranya; (1).
pengaturan
soal monopoli; maka pemerintah harus membentuk aturan anti monopoli dan
lembaga
independent yang mengawasi persaingan usaha agar tidak mengarah pada
monopoli
(mirip KPPU, di Indonesia). (2). Redistribusi kekayaan; EPS menyadari
bahwa
distribusi dibawah mekanisme pasar tidak akan melahirkan keadilan, maka
Aucken
mengusulkan paket redistribusi kekayaan, salah satunya dengan pajak,
meskipun
ia menentukan limitnya agar tidak menggerus investasi produktif. (3)
peraturan
biaya eksternalisasi, terutama penggunaan sumber daya alam, kesehatan
dan
keselamatan kerja, serta soal waktu kerja. 



Model EPS sendiri di Jerman sedang mengalami krisis. Dari
tahun ke tahun, pemerintah selalu mendorong reformasi pajak, hingga
diprediksi
bahwa nilai pajak Jerman merupakan terendah keempat di Eropa- 38.6%,
yang jauh
lebih rendah dengan US pada 46,5%. Untuk pajak personal, yang mencapai
56% pada
tahun 1960-an, dan masih 53% pada masa akhir jabatan Kohl's, dan pada
tahun
2005 turun menjadi 42%. Reformasi pajak yang dilakukan pemerintah
Jerman,
ternyata juga tidak mendorong sector real berkembang, malah sebaliknya,
semakin
meningkatkan pengangguran, kemiskinan, dan hilangnya sejumlah layanan
social,
akibat macetnya distribusi kekayaan. Di masa lalu, sistim pajak telah
mengikat
masyarakat Jerman agar tidak terseret pada filosofis ekonomi "yang kaya
semakin
kaya", tapi di masa kini, sistim pajak lebih berorientasi memberikan
fasilitas
kepada pemimpin bisnis, korporasi besar, perusahaan perbankan, untuk
menarik
dananya dan menginvestasikan pada sector yang menggiurkan, yakni
kenaikan harga
saham. 



Kesuksesan EPS di Jerman dalam beberapa periode, terutama
dalam menekan pengangguran dan mempertahankan industrialisasi, terletak
pada
investasi social (pembangunan infrastruktur publik, sistim jaminan
social, dll)
besar-besaran dari Negara, karena periode booming ekonomi dan
pertumbuhan
ekonomi yang tinggi. Ketika periode itu berlalu, segera ekonomi Jerman
berhadapan dengan stagnasi ekonomi.



Jerman dan Krisis Finansial



Salah satu lapangan ujian bagi ketangguhan ekonomi suatu
Negara adalah seberapa kebal terhadap pengaruh krisis financial di AS.
Ketika
badai krisis financial mengamuk, beberapa petinggi dan ekonom eropa
memuji-muji
bahwa EPS akan manpu menyelamatkan Jerman dari krisis, bahkan ada yang
menganjurkan agar EPS dipraktekkan pada tataran internasional, sebagai
solusi
ekonomi global. Hingga bulan September, beberapa ekonom Jerman tetap
optimis;
bahwa tidak ada bank swasta dan sector public tetap solid dan aman,
bahkan
beberapa Bank yang menyimpan dana public, seperti Sparkasse dan
Volksbank tetap
aman. Juga, di Jerman belum ada tanda-tanda gelembung perumahan, atau
tanda-tanda kekacauan dramatis dari harga properti. 



Namun, optimisme ini berakhir karena terjadinya krisis
likuiditas yang melanda HRE dan mengarahkan pada kebangkrutannya. Dana
3,1 juta
US$ hilang, tanpa ada hasil. Sektor industri Jerman, terutama otomotif
(Opel,
Ford, BMW dan Mercedes-Benz) sedang mengalami kesulitan, akibat penuruan
permintaan (omzet) yang berlansung drastis. Perusahaan software SAP,
yang
berbasis di Jerman Barat, telah bereaksi atas jatuhnya permintaan dengan
membekukan penyewaan. Lufthansa juga menderita kerugian akibat penurunan
travel
bussines dan bisnis kargo . 



Beberapa lembaga penelitian di Swiss, Austria, dan
Jerman, telah mendokumentasikan laporan yang menyebutkan prediksi
pertumbuhan
ekonomi Jerman, pada tahun 2009, hanya 0,2%, serta jumlah pengangguran
yang
meningkat drastic. Bahkan, Hans-Werner Sinn, kepala institute penelitian
ekonomi (IFO), yang berbasis di Munich, membuat kesimpulan catatan
"situasi
sudah sangat mencemaskan". Nilai ekspor Jerman sendiri sudah jatuh 2,5%
hanya
untuk bulan Agustus saja.



Apa yang disebutkan disini, meskipun belum mewakili
keseluruhan, namun sudah dapat menjelaskan bahwa ekonomi Jerman
benar-benar
terperosok dan tak dapat melepaskan diri dari krisis financial. EPS
tidak dapat
membuat pertahanan ekonomi, yang melindungi kepentingan nasional dan
rakyatnya,
dari serbuan krisis. Hal ini terjadi, selain karena Jerman merupakan
bagian
dari sistim global yang sedang krisis, juga karena beberapa pendekatan
ekonomi
pemerintah Jerman serupa dengan pemerintahan kapitalis di AS maupun di
eropa. 



kesimpulan



Sudah hampir menjadi kesimpulan, bahwa sistim neoliberal
telah menjadi penyebab utama dari masalah ekonomi di Indonesia.
Kesimpulan ini,
seharusnya menjadi titik berangkat untuk mendiskusikan jalan ekonomi
seperti
apa yang bisa menjadi alternative, diluar neoliberalisme yang gagal
tersebut.
EPS yang berdiri pada mekanisme pasar liberal tentu juga bernasib sama
dengan
neoliberalisme, sehingga perlu dicoret dari daftar pencarian. 



Menurut saya, yang terperting dalam pencarian sistim
ekonomi alternatif setidaknya memenuhi kriteria berikut; pertama,
memperjuangkan pengambil-alihan kendali atas control sumber daya alam,
yang
sebelumnya dikuasai dan dieksploitasi asing, untuk dimanfaatkan pada
pemenuhan
kebutuhan rakyat dan dalam negeri. Kedua, mengutamakan prinsip
"kemandirian" dalam pengolahan sumber daya ekonomi, strategi
industrialisasi,
serta kerjasama ekonomi dan perdangan dengan bangsa-bangsa lain. Ketiga,
memperbesar transfer sumber daya ekonomi kepada rakyat, dengan
memperbesar
anggaran investasi social, seperti pembangunan infrastruktur public,
layanan
pendidikan dan kesehatan, perumahan, kenaikan upah pekerja, sarana
produksi
bagi petani, dll. Keempat, memberikan tempat yang luas bagi partisipasi
rakyat,
terutama dalam mendiskusikan prioritas perencanaan ekonomi, pembangunan,
dan
pengalokasian anggaran. 



Mohon Maaf, Atas segala kekurangannya!





Rudi Hartono, Anggota Redaksi BERDIKARI Online dan
Pengelolah Jurnal Arah KIRI







Baca
Selengkapnya!





"Tugas Manusia adalah Menjadi Manusia" (Multatuli)
Stand up for Democracy! Website http://www.arahkiri2009.blogspot.com

Reply via email to