SIARAN PERS
SOLIDARITAS PEREMPUAN ANGING MAMMIRI Tentang PERATURAN DESA HUKUM CAMBUK DI DESA PADANG-KABUPATEN BULUKUMBA Solidaritas Perempuan Anging Mammiri (SP-AM), sejak tahun 2007 melakukan penelitian di Desa Muslim Padang -Kabupaten Bulukumba untuk melihat Pemberdayaan Perempuan dalam Konteks Muslim atau Women Empowerment in Moslem Contexs (WEMC). Penelitian ini dilakukan di 4 negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, yaitu : Pakistan, Iran, China dan Indonesia. Di Indonesia penelitian dilakukan di 5 wilayah ( Sulsel, Sulteng, Malang, Cianjur dan Padang Parayaman). Selama penelitian ini berjalan, Solidaritas Perempuan telah melakukan analisis terhadap kebijakan (Perda/Perdes) yang ada di Bulukumba yang secara langsung ataupun tidak memberikan ruang yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Misalnya Perda No. 5 tahun 2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Bulukumba dan Perdes No. 5 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Hukuman Cambuk. Kedua kebijakan tersebut bila dilihat dari aspek hukum dan analisis perempuan, secara garis besar analisis terhadap Perda dan Perdes tersebut adalah sebagai berikut : 1. Perdes No. 5 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Hukuman Cambuk dari : Aspek Hukum - Berdasarkan dasar pembuatan Perdes No. 5 tahun 2006 Tentang pelaksanaan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras adalah Alqur'an Surah An Nur ayat 2 serta Hadits Rasulullah Saw. Namun jika kita melihat dasar dari Perdes itu sendiri menjadikan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang nota bene tidak mengenal Alqur'an dan hadist untuk dapat dijadikan sebagai dasar pembuatan peraturan oleh karena, di dalam UU No.10 tahun 2004 jelas di nyatakan UUD 45 - Perdes/Perda yang menjadi tata urutan perundang-undangan yang tentunya dapat dijadikan rujukan dalam pembuatan aturan apapun termasuk perdes. - Perdes No. 5 tahun 2006 menjadikan Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai acuan, sementara berdasarkan asas dan prinsip dalam penyusunan Peraturan Daerah/Desa adalah peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau yang ada diatasnya. Sementara Perdes No. 5 tahun 2006 sangat bertentangan dengan UU No. 10 tahun 2004 karena materi peraturan perundang-undangan harus mengandung "Asas keadilan" atau adil bagi semua orang termasuk perempuan dan sesuai dengan prinsi Hak Asasi manusia. Aspek Perempuan, - Perdes ini sangat diskriminatif (tidak adil) bagi perempuan oleh karena, Perdes No. 5 tahun 2006 terutama pada Bab II pasal 3 ayat 2 tentang pelarangan terhadap perempuan untuk bepergian tanpa muhrim (perempuan masih dianggap belum dewasa atau anak-anak). Perdes ini tetap akan melahirkan ketidak adilan gender menjadikan perempuan tersubordinasi, terstigma dan termajinalisasi. Pertama, Tersubordinasi oleh karena masih menempatkan perempuan menjadi orang yang kedua dan dianggap tidak mampu menjaga diri sendiri dalam artian perempuan dianggap sebagai mahkluk lemah yang harus di temani kemana-mana, Kedua, terstigma secara negatif oleh karena dengan adanya pelarangan ini dapat dianggap "perempuan nakal" . dalam masyarakat Bugis Makassar perempuan yang berjalan sendiri pada malam hari tanpa ditemani oleh siapapun dianggap sebagai "perempuan nakal", Ketiga, termajinalisasi oleh karena dengan posisi yang demikian perempuan tidak dapat me lakukan aktivitas publik yang tentunya dilakukan harus dilakukan secara personal sehingga dalam posisi yang demikian akan membuat perempuan menjadi termajinalisasi di bidang publik, tentu akan membuat perempuan menjadi terawasi dan tidak bisa mengakses kemana-mana. 2. Perda No. 5 tahun 2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah di kabupaten Bulukumba. "Berpakaian muslim dan muslimah bagi orang yang beragama Islam tidak harus dibuat aturan dalam bentuk Perda, karena urusan aqidah adalah urusan manusia dengan Tuhan (hablu minallah) artinya bisa saja orang memakai jilbab karena takut/taat dengan aturan (pemerintah) bukan taat pada Tuhan (Allah SWT)". Aspek Hukum dan aspek lain. - Dasar pertimbangan dari Perda No. 5 tahun 2003 adalah a). UUD 45 pasal 29 ayat 2 yakni Negara menjamin kebebasan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya masig-masing. Kemudian b). sebagai perwujudan dari pelaksanaan ajaran Agama Islam adalah tercermin dari berpakaiannya dst. Point a dan b tidak berkorelasi (tidak ada hubungan langsung) karena satu mengatur kebebasan beragama yang satu mengatur tentang pakaian muslim artinya disatu sisi diberikan kebebasan disisi lain diatur (ada paksaan). Jadi secara hukum sangat kontradiktif. - Selain itu yang menjadi acuan dari pembuatan Perda No. 5 tahun 2003 ini adalah UU No. 29 tahun 1959, UU no. 2 tahun 1989, UU No. 22 tahun 1999 dan Kepres No. 44 tahun 1999. Namun jika kita baca dasar/acuan tersebut tak satupun pasal didalamnya (baik tersurat maupun tersirat) tentang pengharusan menggunakan busana muslim. - UUD 45 sebagai dasar konstiitusi kita memberikan kebebasan setiap individu untuk menggunakan hak asasinya dan Negara menjamin hak asasi warganya. Demikian kebebasan dalam berbusana adalah bagian dari hak azasi manusia yang mana negara tidak dapat mengatur dan mengintervensi masyarakatnya untuk menggunakan busana apapun sepanjang tidak menggaggu ketertiban hukum yang diatur dalam UU lainnya, misalnya menggunakan celana dalam bagi laki-laki dan bikini bagi perempuan di mall (tempat umum) yang memang bukan "even" peragaan pakaian dalam . Dalam KUHP hal ini dianggap sebagai pelanggaran. ini. Aspek Perempuan, - Perda ini sangat diskriminatif (tidak adil) bagi perempuan karena Perda ini bersifat mengatur, mengontrol dan mengawasi terutama cara berpakaian perempuan. Karena sebenarnya yang terutama diatur adalah perempuan sedangkan laki-laki hanya sebagai pelengkap saja. Kalau kita perhatikan pasal 8, yang banyak diatur adalah perempuan mulai dari ujung rambut sampai mata kaki bahkan sampai lekuk-lekuk tubuhpun diatur. Kemudia di pasal 6 ayat 3 yang mewajibkan penyanyi hiburan untuk menutup aurat, sementara hampir semua penyanyi hiburan adalah perempuan. Jadi ada keinginan tersendiri untuk mengurangi aktifitas perempuan didunia hiburan untuk dapat membantu perekonomian keluarganya. Hasil analisis ini digunakan oleh Tim WEMC Makassar untuk menyampaikan kepada Bapak Bupati Bulukumba, sebagai bagian dari penelitian dalam melakukan advokasi terhadap kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan. Hal yang direspon oleh Bapak H.A.M. Sukri.A.S (Bupati Bulukumba) adalah MEMINTA KEPADA BAGIAN HUKUM KABUPATEN BULUKUMBA UNTUK SEGERA MENCABUT PERATURAN DESA TENTANG PELAKSANAAN HUKUMAN CAMBUK DI DESA PADANG. Bapak Bupati Bulukumba sepakat dengan hasil analisis yang dituliskan oleh Solidaritas Perempuan Anging Mammiri. Audiensi dilakukan pada tanggal 16 Desember 2008, di Rumah Jabatan Bupati dan dihadiri oleh Bagian Hukum, Bagian Pemberdayaan Perempuan, bagian Kesra dan Bagian Infokom Kabupaten Bulukumba. Sedangkan untuk tim Solidaritas Perempuan adalah Wahidah Rustam (ketua BEK SP-AM), Hajar (Peneliti Lapangan SP-AM), Ade Herlina (Seknas Solidaritas Perempuan-Jakarta) dan 3 orang perempuan dari desa Padang. Demikian siaran pers ini kami buat, kiranya kawan-kawan media dapat bekrjasama untuk membantu kami dalam mempublikasikan Pencabutan PERDES Hukuman Cambuk yang tidak sesuai dengan prosedur hukum di Indonesia . Wassalam Wahidah Rustam Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Anging Mammiri