share.. Salam Muhammad Ruslailang Noertika +6221 7854 9422 ________________________________
What went Wrong with Us? http://adli2006.blogspot.com <http://adli2006.blogspot.com> <http://adli2006.blogspot.com/ <http://adli2006.blogspot.com/> > Minggu 14 September 2008, enam orang anak meninggal akibat tawuran remaja belasan tahun di Pamulang, Tangerang. Senin, 15 September 2008, ribuan orang berdesak-desakan menunggu pembagian zakat di Pasuruan, 21 orang meninggal karena terdesak dan terhimpit. Pada hari Senin yang sama perkelahian antar fakultas di salah satu universitas di Ternate diberitakan televisi dan terlihat seperti perang antar suku jaman dulu, dan penggemar PSM Makasar yang mengamuk karena kalah bertanding sepakbola dengan Persela Lamongan. Sebelumnya beberapa calon kepala daerah yang kalah dalam Pilkada mengamuk atau mengggugat ke pengadilan, yang pada prinsipnya tidak mau kalah walaupun kenyataan dilapangan sudah jelas kalah. Kemudian tidak dapat dikesampingkan bahwa antrian Bantuan Langsung Tunai (BLT) dikantor-kantor pos penuh dengan orang yang umumnya lanjut usia, berhimpit-himpitan, dan sangat tidak nyaman. Kita berduka untuk itu semua. Namun apa yang dapat kita baca dari cuplikan berita media massa diatas? Ada dua hal terindikasi dari peristiwa-peristiwa tersebut, yaitu masalah: Pendidikan, kemiskinan, kepedulian dan etika. Perkelahian remaja di Pamulang dan mahasiswa di Ternate adalah buah dari pendidikan dasar kita yang kacau dan tidak terprogram dengan baik. Sekolah dibebani dengan kurikulum yang padat dan tidak jelas tujuannya, sementar pendidikan etika dan budi pekerti sama sekali terabaikan. Lihat saja kurikulum dasar di SD, berapa banyak pelajaran yang sia-sia dan saling tumpang tindih. Anak didik sekolah dasar dijejali dengan pengetahuan cognitif yang sangat banyak, sementara alat untuk menyerap pengetahuan tersebut tidak pernah diajarkan. Dua alat utama untuk menyerap ilmu adalah logika, dan rasa. Alat logika membuat kita dapat menerima pengetahuan cognitif dan melakukan kalkulasi, perencanaan, mencipta teknologi, serta menciptakan peralatan lain yang dibutuhkan dalam hidup. Alat logika biasanya diajarkan melalui matematika. Alat rasa, adalah alat yang mebangun moral, biasanya diajarkan melalui pelajaran etika dan budi pekerti. Sekarang ada pelajaran agama, tapi terjebak dengan pengetahuan cognitif agama, bukan dasar-dasar etika dan moral. Diatas semua itu yang menjadi alat bagi keduanya adalah bahasa, semua pelajaran dan ilmu harus dikomunikasikan dengan bahasa. Jadi tiga hal penting untuk pendidikan dasar dan sekarang harus dibenahi adalah pelajaran Bahasa, Matematika dan Etika. Sekarang apa yang didapat anak didik kita di sekolah dasar memang mencakup ketiga hal tersebut ditambah lagi dengan beban lain yang jumlahnya dua atau tiga kali lipat yang hanya menjadi beban. Anak didik diajarkan matematika, diajarkan bahasa, diajarkan agama, semuanya ditingkat cognitif belaka, tidak pernah menyentuh konsep. Peristiwa Pasuruan dan BLT disamping sebagai hasil pendidikan yang tidak effektif yang menonjol adalah masalah kemiskinan yang sudah menjadi kemiskinan struktural. Masyarakat yang miskin karena tidak mempunyai penghasilan tetap. Sudah barang tentu ini adalah akibat dari salah urus sistim perekonomian kita, dimana Indonesia sebagai negara yang kaya sumberdaya alam tapi memiliki banyak rakyat miskin yang bahkan miskin turun temurun. Sebenarnya masyarakat miskin ini berada didalam suatu negara yang terdiri dari kelompok orang yang disebut sebagai bangsa yang sangat religious. Agama apapun mengajarkan untuk memerangi kemiskinan. Bahkan Islam memberikan solusi yang sangat komprehensif dalam kewajiban berzakat. Sementara Islam sebagai agama mayoritas, sudah seharusnya mempunyai tanggung jawab yang paling besar dalam menaggulangi kemiskinan. Namun Islam Indonesia tidak menemukan cara yang ampuh untuk mengemban tanggung jawab ini, sehingga kemiskinan tetap tidak berkurang. Dalam peristiwa Pasuruan, orang kaya yang memberi zakat tidak cukup memiliki logika dan rasa sehingga tidak dapat mengontrol akibat yang akan timbul, walaupun peristiwa seperti kejadian senin kemaren berulang setiap tahun. Tidak ada bedanya dengan pemerintah yang mengucurkan BLT, tidak dapat mengontrol dan memanage dengan baik. Sementara itu bagi penerima zakat maupun BLT pun tidak memahami etika dan moral kebersamaan, tidak mau antri, ingin menang sendiri, sehingga desakan massa tak terhindarkan. Inilah buah dari pendidikan kita, memang sakit tapi kita harus berubah. Peristiwa Pilkada, adalah cerminan ketidak tulusan dalam menerima kenyataan. Kalah dan menang dalam suatu pemilihan adalah suatu yang niscaya. Ketulusan dalam menerima kekalahan adalah salah satu dasar dari demokrasi. Demokrasi kita sepertinya menyetujui adanya proses pemilihan terbuka, namun yang menang harus aku. Untuk mendapatkan ketulusan adalah melalui pendidikan. Sementara pendidikan atas rasa kita samasekali tidak punya perasaan. Demikian juga dengan peristiwa sepakbola Makassar, dan peristiwa-peristiwa serupa dalam pertandingan sepakbola diseantero tanah air, tidak tulus menerima kekalahan, hanya tulus kalau menang. What went wrong with us ? [Non-text portions of this message have been removed]