Membaca kisah Bong, saya ingat anak saya yang sudah kelas 2 SD. Dari TK sampai 
kelas 1 SD tidak bisa membaca. Guru privat juga saya sewa dan hadirkan di 
rumah, tetap tidak ada perubahan.

Saya cari cara, dan dapat ilham . Saya iming-imingi mau diberikan hadiah 
handphone kalau sudah bisa membaca. Hasilnya dia langsung semangat dan rajin 
belajar membaca. Begitu duduk di kelas 2, sudah pintar mi membaca. 

Sekarang tinggal matematikanya lagi yang jeblok. Ada blogger AM mau jadi 
relawan?...hehe

DL.

--- Pada Sen, 17/5/10, deNun <daeng.c...@gmail.com> menulis:

Dari: deNun <daeng.c...@gmail.com>
Judul: [blogger_makassar] Entry Tematik Pendidikan [?]: "BONG!"
Kepada: blogger_makassar@yahoogroups.com
Tanggal: Senin, 17 Mei, 2010, 9:24 PM







 



  


    
      
      
      Tamarunang, Gowa pada satu pagi yang cerah di hari libur nasional 
tepatnya Kamis, tanggal 13 Mei 2010. Tidak jauh dari batang sungai Jeneberang. 
Belasan anak-anak antara 8 hingga 14 tahun sedang main bola di depan rumah 
kami. Rumah kami bersebelahan dengan rumah Haris Rasyid, staf pada Kantor 
Infokom Gowa dan mantan ketua RW 06, lingkungan kami.


Beberapa anak lainnya menonton kawannya yang main bola, ada yang main dengan 
mengenakan sandal, ada pula yang telanjang kaki di atas aspal jalan kompleks 
yang mulai mengelupas. Saya ikut bergabung di sisi jalan. Tangan kanan saya 
masih bengkak seusai kecelakaan di Parang Tambung sehari sebelumnya.


Di samping saya ada Bong, anak Mama Syukri, wanita penjaja pakaian bekas 
(cakar) yang pernah saya tulis kehidupannya dua tahun lalu dan tayang di 
www.panyingkul. com. Bong, kerap digoda Pak Haris. Saat itu pak Haris menggoda 
Bong, jika dia pernah di lihat di perbatasan Gowa Makassar saat mengemis. Walau 
tetap tersenyum, wajah Bong nampak tegang saat diganggu Pak Haris. 


“Sotta!” Katanya pada Pak Haris, maksudnya sok tahu.

Saya pun mulai menggodanya (diam-diam mengaktifkan perekam di blackberry). 
“Berapami teman yang kau sudah ajak berkelahi di sekolah,?” Tanyaku iseng. “wah 
banyakmi” Katanya spontan. Saya ngakak dalam hati. “Wah asik nih,”batinku. 


Dia menggeser posisinya ke kanan. “Tojengko?” Katanya pura-pura kaget. Betul?. 
“Memang!” jawabnya mantap. 

“O Daeng Nuntung, Bong itu sudah dua kali tinggal kelas karena disuka sekali 
gurunya. Perempuan cantik gurunya tawwa,” Goda pak Haris. “Sotta!” Kata Bong 
lagi.


“Hey, tojengko Bong, kau sudah dua kali tinggal kelas,?” Desakku. 

Bong akhirnya buka kartu, “Saya memang tidak bisa membaca. Itumi na tinggal 
kelaska. Nakalka juga,” Katanya spontan. Saya tertegun. 


“Tidak pernah belajar membaca atau diajar di rumah sama mama?” Tanyaku lagi. 
“Ibuku tidak tahu membaca juga,” Katanya. “Siapa guru kelasmu sekarang?“. 
Namanya Ibu Daeng Pati. 

“Daeng Pati pernah bertemu ibu atau bapakmu?” Ucapku lagi. Tidak pernah!


“Bagaimana kau tahu kalau kau tidak naik kelas?,” Tanyaku. “Kan, ada ditulis di 
rapor,”. “Apa tulisannya dirapor,”? “Tidak tahu!”Jawabnya

“Apami nabilang, mamamu?”. “Nda adaji, ka mamakku tidak tahu juga membaca” 
Jawabnya dengan senyum pahit.


“Balle-balleko! ,” “Bohong,” kataku.

Bong mengaku jika nama Akbar Halim adalah namanya di sekolah tetapi teman-teman 
memanggilnya Bong. Saya juga memanggilnya Bong. Tiap malam, dia tidur dengan 
kakaknya yang bernama Illang dan Firman di rumah kontrakan orang tuanya di 
Tamarunang. Di kamar yang satunya, ibu dan bapaknya tidur bersama adiknya, Adil 
4 tahun, Fitra 2 tahun dan Jeriah yang masih kecil.


“Berapa bokongmu, jika ke sekolah?” Tanyaku. (Bokong artinya uang jajan)

“Biasa nda ada,” Kata Bong.

“Kemarin berapa?,” Kejarku lagi. Tidak ada!

“Dua hari lalu berapa,”? Tanyaku semangat. Tidak ada.


“Siapa yang belikan buku sekolah?” Sambungku. “ Dibelikan mama,” kata Bong.

“Lengkap bukunya?” Bong menggeleng.

“Berapa orang kakakmu?” 

“Saya anak ketujuh. Kakakku Syukri, Jum, Rezki, Firman, Illang”


“Berarti anak keenamko sotta!, Kata kakaknya Firman ke Bong dengan sinis.

Adik Bong ada tiga, Fitra, Adil dan Jeriah.

“Di sekolah kau main sama siapa?” “Bbaaaaaanyak temanku, tapi anak banna 
ngaseng” Kata Bong semangat. Maksudnya, teman mainnya banyak tetapi anak nakal 
semua.


“Kenapa main sama anak banna?” Tanyaku.

“Karena mereka juga tidak tahu membaca” Kata Bong sambil nyengir.

“Belajarko,” kataku. 

Huruf apa ini (kataku sambil menunjukkan kata BISON) Bi…Bi, So..So…n, bacanya ?”


“Tidak tahu,” Jawab Bong mantap!

***

Begitulah Bong, yang telah dua kali tinggal kelas. Bong, anak ke-enam dari 
pasangan Mama Syukri dan Mansyur Hafid, lelaki kelahiran Sidrap. Bong, seperti 
anak-anak lainnya yang sedang bermainbola, terlihat ringan pagi itu. Tak nampak 
penyesalan atau kesedihan. 


Rupanya, saat di sekolah dia tetap merasa pede menuliskan setiap kata dari buku 
cetak yang dibagikan sekolah. Toh semuanya bisa ditiru dan ditulis.

Makassar, 18052010 




-- 
____________ _
www.denung.wordpres s.com
www.denun.net




    
     

    
    


 



  





Kirim email ke