Catatan Rinto : Ini artikel lama yang pernah saya forward ke milis tahun lalu. Tentara Merah di sini adalah Pengawal Merah (Red Guards) bukan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA). Satu sudut pandang Revolusi Kebudayaan dari seorang mahasiswi Barat di Tiongkok. Semoga dapat mencerahkan.



-------- Original Message --------
Subject: [budaya_tionghua] [Artikel] Saat-saat Terakhir Revolusi Kebudayaan Cina
Date: Thu, 05 Feb 2004 13:58:58 +0800
From: Rinto Jiang <[EMAIL PROTECTED]>


Saat-saat Terakhir Revolusi Kebudayaan Cina

Sumber : Frances Wood, Hand-Grenade Practice in Peking, My Part in the
Cultural Revolution, 2000/SL, dimuat di Intisari tahun 2001.

Sejak 1966 Cina diramaikan hiruk-pikuk gerakan antikapitalisme. Tentara
Merah menyerang para dosen, dokter, seniman, novelis, dan mereka yang
dianggap tidak mewakili kaum proletar. Gonjang-ganjing terus berlangsung
sampai tahun 1975 meski tak lagi diwarnai kekejaman. Frances Wood,
mahasiswi Inggris yang belajar di Institut Bahasa Asing dan Universitas
Beijing tahun 1975 - 1976, ikut menyaksikan "The Great Proletarian
Cultural Revolution", yang pada masa Mao Zedong diteriakkan dengan penuh
semangat, belakangan justru dianggap sebagai "Dasawarsa Penuh Bencana".

Ketika saya belajar sastra Cina di Universitas Cambridge, 1968 - 1971,
Cina sedang berada di puncak Revolusi Kebudayaan. Dunia luar tak banyak
tahu apa yang sebenarnya terjadi, kecuali laporan media massa Eropa
tentang mayat-mayat yang hanyut di Pearl River, dekat Hongkong dan Makao.

Selain menutup diri, negeri itu menolak segala yang berunsur Barat.
Sebagai mahasiswa yang ingin belajar lebih lanjut, saya tak punya
harapan untuk pergi ke Cina. Tapi dari sumber kepustakaan saya tahu,
Cina senantiasa berubah seirama dengan perubahan kebijakan para
pemimpinnya. Saya hanya bisa berharap dari perubahan itu.

Pemimpin Besar Mao Zedong memainkan peran penting sejak berdirinya
Republik Rakyat Cina pada 1949. Ia menyingkirkan para pesaing dan
musuhnya. Misalnya, ia menyerukan gerakan Anti-Kanan pada 1957 untuk
menyingkirkan Zhou Enlai, pelopor gerakan Seratus Bunga tahun 1956.

Mao memprakarsai gerakan "Lompatan Jauh ke Depan" pada 1958 untuk
memberi warna khusus bagi komunisme Cina. Berbeda dengan Soviet yang
bertumpu pada industri berat, Mao menggalakkan pertanian yang ditunjang
industri kecil di pedesaan. "Kalau Stalin hanya punya satu kaki,
industri berat, kita punya dua kaki, yakni pertanian dan industri
kecil," ucap Mao.

Empat makhluk jahat

Mao menjejalkan aneka slogan. Para petani harus "menggali lebih dalam"
untuk meningkatkan hasil. Ladang-ladang harus bebas dari "empat makhluk
jahat": burung, tikus, serangga, dan lalat. Maka sepanjang 1958 - 1960
jutaan serangga, tikus, lalat, dan burung dibantai.

Berhasilkah upaya itu? Para petani yang "menggali lebih dalam" belum
sempat memetik hasil ketika mereka jatuh kelelahan. Punahnya burung
berdampak pada terganggunya keseimbangan alam, sehingga belakangan
burung dikeluarkan dari daftar "empat makhluk jahat". Para pejabat
sadar, ambisi Mao terlalu utopis. Tapi karena takut, mereka memberi
laporan ABS. Angka produksi digelembungkan, data dan foto hasil panen
direkayasa, sementara kenyataannya para petani menderita. Sepanjang 1958
- 1961 tak kurang dari 30 juta orang meninggal karena kelaparan.

Akhir 1958 Mao mundur dari jabatan sebagai pimpinan Partai Komunis. Ia
sengaja mengambil jarak dari pusat kekuasaan agar bisa melihat betapa
para pimpinan menjadi borjuis dan korup. Rakyat kehilangan semangat
revolusioner. Bagi Mao, kenyataan itu tak bisa dibiarkan. Harus ada
reformasi untuk meluruskan kembali jalan revolusi. Itulah Revolusi
Kebudayaan. "Kebudayaan" tidak hanya berarti kesenian, melainkan seluruh
aspek dan lembaga kemasyarakatan.

Mao mengerahkan ribuan pelajar dan mahasiswa ke Lapangan Tiananmen di
pusat Kota Beijing. Mereka membawa buku kecil warna merah, The Little
Red Book, berisi kutipan naskah-naskah pidato Mao.

Belakangan gerakan diperluas ke kalangan pekerja, buruh, dan petani.
Mereka mengecam siapa pun yang berada dalam posisi pimpinan. Sering
kecaman berubah menjadi sanksi atau hukuman. Korban berjatuhan, baik
karena hukuman maupun bunuh diri.

Seorang dokter ahli bedah otak, misalnya, tiba-tiba dimutasi menjadi
petugas kebersihan WC. Dosen atau petinggi universitas dialihtugaskan ke
peternakan babi. Birokrat dikirim ke pedalaman agar menghayati keadaan
rakyat.

Revolusi Kebudayaan juga menyertakan istri Mao, mantan bintang film tak
terkenal Jiang Qing, untuk menyingkirkan para pesaingnya dalam ranah
kesenian. Opera, film, dan panggung teater didominasi produksi Madam
Mao. Lukisan bunga dan alam tak boleh dipasang, diganti gambar bendera
merah, traktor di ladang, atau gambar Mao dalam ekspresi heroik.

Kaum perempuan tak boleh lagi berambut panjang dan dandan sesukanya.
Jika ketahuan Tentara Merah, rambut mereka akan dipotong dan celana
panjang ketat mereka akan dirobek di depan umum. Banyak pengarang
dipenjara, dibuang ke kamp kerja paksa, atau dibiarkan frustrasi hingga
bunuh diri. Beberapa pemusik atau pianis dipotong jarinya oleh Tentara
Merah.

Sejak 1971 keadaan menjadi normal dalam versi Mao. Sekolah dan
universitas dibuka kembali dengan syarat hanya buruh dan petani yang
boleh belajar. Mahasiswa asing dan turis boleh datang, meski dalam
wilayah terbatas. Para turis hanya disuguhi traktor dan sistem irigasi
disertai pidato propaganda.

Saya beruntung tahun itu bisa ikut dalam rombongan pertama mahasiswa
asing yang mengunjungi Cina setelah tertutup sejak 1966. Saya senang
bukan karena bisa berkomunikasi dengan rakyat Cina dalam bahasa mereka,
tetapi karena setiap kali bisa berbagi makan dengan mereka yang ternyata
memang kelaparan.

Kunjungan singkat itu membuat saya ketagihan. Dengan keberuntungan yang
lebih, pada 1975, permohonan saya ikut program pertukaran mahasiswa
Inggris - Cina diterima.

Film propaganda

Malam hari, 25 September 1965, saya bergabung dengan sembilan mahasiswa
Inggris lain mendarat di Bandara Beijing. Ada Rose yang sedang mendalami
sejarah kesenian dan arkeologi Cina di London, ada pula Beth yang baru
lulus dari Cambridge dan terpaksa meninggalkan suami serta anjingnya.
Rombongan dari Leeds University, di antaranya Gerry dan Jim, serta Sarah
yang baru saja melewati tingkat II.

Kami diangkut dengan bus menuju Foreign Language Institute di barat laut
Beijing. Di kawasan itu terdapat berbagai perguruan tinggi dan institut,
tak jauh dari Beijing University. Kami menuju asrama. Banyak mahasiswa
asing di sana. Mereka yang dari negara maju belajar bahasa, sementara
kebanyakan mahasiswa asal Asia dan Afrika belajar teknik dan kedokteran.

Asrama kami berlantai dua berwarna abu-abu, bagian dalamnya dilabur
warna putih yang masih baru. Karena kualitas labur tidak bagus,
lama-kelamaan rontok.

Paginya, usai sarapan, kami dibawa ke Kedubes Inggris yang terletak di
kawasan diplomatik di sisi tenggara kota, Jianguomen wai. Pejabat
kedutaan menasihati kami cara hidup sebagai orang asing agar tidak
terjerumus dalam kesulitan.

Di kawasan diplomatik terdapat toserba Friendship Store yang menjual
aneka barang asing keperluan sehari-hari. Tak jauh dari situ terdapat
kompleks perumahan diplomat yang dijaga Tentara Pembebasan Rakyat
bersenjata lengkap. Setiap rumah punya balkon, setiap keluarga memiliki
tukang masak dan perawat anak yang disediakan oleh Public Security Bureau.

Setiap Jumat sore kami dijemput minibus untuk menuju The Bell, pub di
Kedutaan. Sedangkan Sabtu pagi biasa diisi kegiatan senam tajiquan di
lapangan kampus.

Hari Sabtu pertama diisi pemeriksaan kesehatan. Meski di negara asal
kami sudah diperiksa, dan ada surat keterangannya, pihak berwenang di
kampus tidak mau tahu. Lucunya, kaum laki-laki tidak perlu diperiksa
darah, sementara para mahasiswi diambil darahnya untuk maksud yang tidak
kami ketahui.

Sering di malam hari di lapangan terbuka diputar film. Beberapa film
sempat saya saksikan. Haixia, misalnya, berkisah tentang bayi di
keranjang yang ditemukan oleh pasangan nelayan yang lantas hidup
sengsara. Kampungnya diserbu tentara Kuomintang pimpinan Chiang
Kai-shek, keluarganya disiksa dan dibunuh. Sampai akhirnya Tentara
Pembebasan Rakyat menyelamatkan dia, dan sejak itu hidup bahagia.

Latihan lempar granat

Tempat kuliah saya berada di sebuah bangunan abu-abu. Di depan terdapat
patung Mao Zedong sebesar dua kali ukuran manusia. Sangat gagah dalam
mantel khasnya, mengacungkan satu tangan ke depan. Itu memang pose
standar Ketua. Tapi karena di seberang jalan terdapat Institute for
Petroleum Studies dengan patung Mao yang sama besar dan sama posenya,
jadinya kedua patung itu terkesan saling menghormat.

Kami diajar dua orang guru, Hu Laoshi (Guru Hu) dan Tian Laoshi. Hu
lebih tua, santun, dan tenang, sedangkan Tian lebih muda namun
berwibawa. Yang menyamakan keduanya adalah pakaian khas setelan abu-abu
kedodoran.

Setiap hari, kecuali Minggu, kami belajar bahasa mulai pukul 08.00 -
12.00, diselingi istirahat 20 menit. Pukul 10.00 selama delapan menit
seluruh penghuni kampus bersenam diiringi musik. Lompat-lompat,
membungkuk sampai jari tangan menyentuh jempol kaki, dsb. Tak ada minum
kecuali di kantin.

Selasa sore kami melakukan laodong atau "pekerjaan tangan". Bagi pelajar
dan kaum intelektual Cina, kerja tangan paling membanggakan adalah
mencangkul. Namun di Institut hal itu tidak diwajibkan, mungkin dianggap
kelewat keras sehingga bisa menimbulkan protes di tingkat pejabat
pemerintahan. Tapi beberapa mahasiswa Kanada yang getol mendalami
Marxisme dan Leninisme tetap semangat mencangkul di sawah.

Kami juga ditugasi memecah batu bata untuk campuran semen. Heran, batu
bata di Cina sangat rapuh. Saya jadi takut menyandarkan badan di tembok.

Kami juga diberi tugas membersihkan rumput. Bagi orang Cina masa itu,
rumput adalah sarang nyamuk dan serangga lain, makhluk yang pada 1958
diperintahkan Mao untuk dibasmi. Ketika saya katakan, habitat nyamuk
adalah genangan air dan bukan rumput, para pembimbing tidak mau tahu.
Pantas, di banyak tempat yang saya kunjungi tidak banyak warna hijau.

Setiap Rabu sore kami wajib mengikuti pelajaran olahraga. Lari keliling
lapangan, anggar menggunakan bambu, juga melakukan taijijian, versi lain
dari taijiquan yang artinya pukulan pedang. Kami juga melakukan tolak
peluru. Malah ada mahasiswi Spanyol yang kakinya kejatuhan peluru besi
bulat.

Hanya sedikit mahasiswa yang bersemangat ikut. Kebanyakan ogah-ogahan.
Padahal para instruktur tetap semangat mengulang-ulang seruan Ketua Mao,
"Kembangkan kekuatan fisikmu agar mampu membela Tanah Air!"

Ada juga latihan lempar granat. Yang kami genggam adalah granat kuno
yang sudah tak bisa meledak, tidak ada pen pencabutnya. Tapi kami harus
melakukannya penuh semangat, pura-pura menggigit pen kemudian
melemparkannya. Kegiatan itu jelas tidak diketahui pihak British
Council. Saya berpikir, apa kata masyarakat Inggris jika tahu uang pajak
mereka dipakai untuk membiayai mahasiswanya mengikuti kegiatan yang
mirip latihan gerilya di Cina?

Jumat sore kami belajar bahasa dan analisis aneka peristiwa yang biasa
dimuat harian People's Daily.

Waktu terus berjalan. Hingga pada akhir minggu ketiga yang menjemukan,
kami harus melakukan kaimen banxue atau "sekolah di luar ruangan". Kami
dikirim ke kawasan pertanian.

Para petani bekerja di ladang-ladang negara, menggarap tanaman kubis,
bawang, gandum dan padi, juga buah-buahan. Semua hasil disetorkan kepada
pemerintah melalui unit kerja desa, sementara keluarga petani tinggal
memiliki sedikit lahan untuk ditanami sayuran. Setiap hasil panen yang
disetor, yang mestinya dibayar tunai oleh pemerintah, pada praktiknya
sering diganti dengan minyak, telur, gandum, atau kayu bakar.

Berapa harga celana?

Bergaul dengan petani ternyata cukup menyenangkan. Banyak kejutan.
Misalnya, dugaan semula bahwa orang Cina menikah pada akhir usia 20-an
demi program keluarga berencana, ternyata salah. Mereka terkejut ketika
tahu saya masih lajang pada usia 27. Malang bagi teman saya Rose, karena
tunangannya yang ditinggal di Inggris berumur 37 tahun. "Bagaimana
mungkin kamu mencintai laki-laki setua itu?" tanya petani di komunitas
rakyat Sijiqing.

Hampir setiap saat kami membicarakan harga. Mereka bertanya berapa harga
celana, berapa harga televisi, dan ketika saya jawab angkanya dalam
hitungan yuan, mereka berseru sambil menahan napas. Ketika saya katakan
harga rumah di Inggris jika dihitung dalam yuan, mereka berteriak.

Rupanya, keingintahuan orang Cina soal harga tidak hanya pada waktu itu.
Dalam kisah pengalaman seorang dokter Spanyol yang menyertai diplomat
Inggris di masa awal pembangunan gedung Kedubes Inggris di Beijing,
tahun 1866, juga diceritakan, para tukang setempat banyak bertanya
tentang harga celana.

Permohonan membeli sepeda

Institut Bahasa terletak di pinggiran Beijing. Jarak antartempat di
kampus juga cukup jauh. Sehingga saya dan beberapa teman memutuskan
untuk membeli sepeda.

Setiap hari jutaan sepeda berlalu-lalang di kota, namun hampir tak ada
sepeda baru. Kebanyakan sepeda laki-laki dengan palang melintang,
warnanya pun hitam. Rupanya, itu akibat prosedur yang cukup berbelit
untuk memiliki sepeda, selain memang mahal harganya.

Sebuah keluarga, misalnya, bisa menabung sepanjang satu tahun untuk
membeli sepeda. Ketika uang sudah terkumpul, ternyata mereka hanya bisa
mendaftar untuk beli satu.

Sepeda dikenai pajak tahunan. Ada pelat nomor yang dipasang pada penahan
lumpur di ujung spatbor belakang. Jika nomor ini tak ada ketika
diperiksa polisi, pengendara didenda 20 yuan (sepertiga gaji rata-rata
pekerja di Cina). Denda yang sama diterapkan bagi setiap pelanggaran.
Misalnya, bersepeda sambil membawa payung terbuka, memboncengkan orang, dsb.

Orang asing hanya bisa membeli sepeda di Friendship Store. Saya memilih
sepeda perempuan tanpa palang yang ternyata malah merepotkan karena
kelewat ringan. Perjalanan 9 km dari toko ke kampus harus saya tempuh
dengan jumlah kayuhan berlipat kali dibandingkan dengan teman yang
membeli sepeda laki-laki.

Sesampai di asrama, kami masih dihadapkan pada keruwetan untuk
memperoleh pelat nomor. Pertama, kami harus memiliki kartu mahasiswa.
Bentuknya seperti dompet plastik berisi foto pemilik, dilengkapi
beberapa cap dan tanda tangan para administrator. Masalahnya, saat itu
belum ada jasa foto kilat di Beijing. Kami harus pergi ke studio foto
Wudaokou, difoto, kemudian menunggu seminggu sampai foto jadi.

Di pusat kota, lalu lintas padat oleh sepeda yang berbaur dengan bus dan
lori. Serunya, semua bersaingan membunyikan bel dan klakson. Saking
ributnya, bel jadi kehilangan makna. Tertabrak atau terserempet adalah
hal biasa.

Di masa Revolusi Kebudayaan lampu tidaklah penting. Maka bersepeda di
malam hari menjadi kesulitan tersendiri. Apalagi di atas pukul 21.00,
saat lampu lalu-lintas tidak berfungsi karena petugasnya pulang.

Di tempat parkir yang bertarif seragam dua yuan, penjaga yang kebanyakan
perempuan memberikan sepotong karton bernomor yang digapit bambu,
sementara potongan lain dengan nomor yang sama diikatkan di setang.

Tak ada pembalut

Menjelang musim dingin, pembimbing asrama membagikan kupon untuk
ditukarkan mantel. Walau sebelumnya telah siap menghadapi cuaca dingin,
saya tetap kaget dengan suhu yang sesekali -5oC. Mengikuti cara
berpakaian orang Cina di musim dingin, sampai enam lapis baju, memang perlu.

Para penduduk juga memperoleh kupon, tapi untuk ditukarkan dengan
gandum, minyak, telur, kain, dan komoditas lain yang di musim dingin
pasokannya berkurang. Kupon hanya berlaku lokal. Jika akan pergi jauh,
orang harus meminta kupon yang berlaku secara nasional. Kalau tidak, ya,
membawa bekal sendiri.

Di toko, pada awal bulan roti yang tersedia berwarna putih, yang disebut
mantou. Pada akhir bulan, ketika tepung putih makin langka, yang dijual
roti warna coklat.

Tapi makanan bukan masalah, yang memprihatinkan adalah kebersihan. Ya,
bagi perempuan asing, satu tahun tinggal di Cina saat itu adalah
perjuangan. Pembersih paling sederhana, misalnya handuk untuk sanitari,
tidak ada. Apalagi pembalut kala menstruasi. Perempuan Cina mengatasinya
dengan cara primitif yakni membuat sendiri pembalut dari kertas WC,
robekan kain, atau koran bekas.

Di kelompok kami, para perempuan telah siap dengan pil penunda
menstruasi. Tapi saya hanya bisa melakukannya sekali pada bulan pertama,
itu pun setelah berkonsultasi lewat surat dengan ibu saya. Selebihnya,
untuk sebelas bulan sisa masa tinggal di Cina, di kamar tidur saya
menumpuk stok pembalut.

Ke Universitas Beijing

Kami menjalani seleksi agar bisa melanjutkan kuliah di Universitas
Beijing, meski hanya untuk beberapa bulan. Ujian tidak terlalu sulit,
namun birokrasinya berbelit. Malah setelah dua bulan menunggu, di musim
dingin akhir tahun 1975 itu, tiba-tiba universitas melakukan seleksi
tambahan.

Beruntung, saya lulus. Juga Beth dan Rose. Mahasiswa asal Albania dan
Korea Utara paling banyak jumlahnya. Di perguruan tinggi yang acap
disebut "Beida" (singkatan dari Beijing Daxue) itu tergabung sekitar
7.000 mahasiswa. Berbeda dengan di Institut, di tempat baru suasana
revolusioner amat terasa. Poster dan selebaran berganti-ganti setiap
hari. Beida menjadi ajang kampanye dan adu kepentingan.

Di asrama saya memperoleh teman sekamar gadis Beijing berusia 25, Yang
Huimei. Ia bekerja di otoritas transportasi, dan kuliah untuk mencari
kredit poin demi kenaikan jenjangnya. Setiap Sabtu sore ia pulang,
meninggalkan saya bengong di kamar sepanjang hari Minggu.

Di sela-sela kuliah sejarah dan "kebudayaan" (saya beri tanda kutip
karena materi kuliah bersifat indoktrinatif, membatasi hanya karya
sastra dan budaya terbitan tahun 1965 ke atas), saya sering bersepeda
dengan Beth dan beberapa teman menyusuri jalanan Beijing. Sesekali ada
kunjungan wajib ke peninggalan sejarah dan kawasan pertanian.

Memasuki bulan Maret, cuaca mulai hangat. Saya ikut berbagai perayaan
dan arak-arakan, juga berkumpul di Lapangan Tiananmen. Pihak Kedutaan
sampai memperingatkan agar kami tidak terjerumus pada kepentingan
partai. Saat itu nama Deng Xiaoping banyak disebut-sebut, sementara oleh
kroni Mao ia dianggap tokoh yang tidak sejalan. Mao lebih menyukai Hua
Guofeng, padahal banyak orang Cina kurang menyukainya.

Di akhir Juli yang panas, kuliah selesai. Kami mengisi liburan dengan
pergi berombongan ke pedalaman naik kereta api. Celakanya, terjadi gempa
bumi. Pusatnya di kota pertambangan Tangshan, sekitar 60 km timur laut
Tianjin atau 150 km dari Beijing. Getarannya terasa sampai ibukota,
kendati tak menimbulkan korban jiwa.

Pulang naik KA Transsiberia

Saat kepulangan saya tiba ketika Beijing sedang dalam kondisi darurat
pascagempa bumi. Pasokan barang tersendat, kantor-kantor memindahkan
pelayanan di halaman. Saya berencana pulang jalan darat naik kereta api
Transsiberia. Nina, gadis Denmark yang sekelas waktu di Institut Bahasa,
ingin pergi bersama-sama. Untuk mengurangi bawaan, saya mewariskan
beberapa baju kepada teman. Itu pun saya masih harus membeli "kopor"
tambahan berupa keranjang bambu untuk menaruh pakaian.

Tak banyak acara perpisahan. Program saya tak memberlakukan ujian akhir
karena mungkin dianggap tidak penting. Dokumen yang saya terima hanya
kertas bertuliskan "Sertifikat Kehadiran".

Suatu hari Rabu, ditemani Huang Laoshi, kader partai yang bertugas
melepas kepergian saya, Transsiberia yang saya tumpangi pun berangkat.
Kereta yang penuh asap menyusuri rel ke luar Kota Beijing, menanjak
sampai melewati Tembok Besar dekat Green Dragon Bridge, kemudian melalui
dataran menuju Mongolia. Penjaga perbatasan tertawa melihat keranjang
bambu yang saya jadikan kopor pakaian. Juga topi pandan saya.

Mongolia sangat sepi. Lebih dari lima jam yang tampak hanya padang
rumput. Baru di dekat stasiun ada seorang lelaki berkuda mengangkat
papan bulat bergagang. Rupanya, ia petugas sinyal kereta.

Sepanjang jalan saya banyak membordir. Ketika masuk perbatasan Rusia,
kami istirahat cukup lama karena roda kereta api harus diganti akibat
perbedaan jarak antar-rel kereta Cina dan Rusia. Tubuh kami dipaksa
beradaptasi karena sepanjang empat hari perjalanan telah melewati enam
zona waktu.

Di Moskow kami berganti kereta. Naik semacam mobil wagon panjang menuju
Stasiun Finlandia. Nina menuju negaranya, dan saya ke Inggris melalui
Polandia dan Jerman Timur. Di Berlin Timur lagi-lagi penjaga perbatasan
terkesan pada kopor bambu dan topi pandan saya. Juga jaket model Sun
Yat-sen dan celana baggy biru tua.

Perjalanan di Eropa daratan berakhir di Ostend, untuk dilanjutkan dengan
feri ke Dover, pelabuhan di Inggris. Akhirnya, seminggu setelah dari
Beijing, saya pun menginjakkan kaki di London.

Dua minggu setelah saya pulang, tepatnya 9 September 1976, Ketua Mao
wafat. Saya pergi ke Kedubes Cina di Portland Place, London, dan
menuliskan nama saya dalam buku duka cita. Seandainya masih di Cina,
saya pasti ikut perkabungan nasional dengan segala upacaranya.

Saya mulai bekerja di perpustakaan School of Oriental and African
Studies sambil terus mengikuti perkembangan Cina. Pada 21 Oktober saya
mendengar kabar "Kelompok Empat" ditangkap dua minggu sebelumnya. Mereka
adalah Jiang Qing, janda Mao, serta Yao Wenyuan dan Zhang Chunqiao, dua
tokoh menonjol di Shanghai selama Revolusi Kebudayaan. Seorang lagi
adalah Wang Hongwen, penjaga keamanan dari Pabrik Pemintalan No. 17 di
Shanghai yang memobilisasi para buruh tekstil selama Revolusi Kebudayaan.

Terus terang selama di Cina, istilah "Kelompok Empat" tidak pernah saya
dengar. Yang ada hanya beberapa tokoh yang sangat ditakuti karena berada
di pusat kekuasaan. Tapi sejak empat tokoh itu ditangkap, aneka
interpretasi dan publikasi berkembang bagai tak terkendali.

Secara pelahan Deng Xiaoping naik menuju kekuasaan. Pemikirannya yang
dulu tidak diakui kini diamini. Yang amat terasa adalah suasana kampus
karena tak ada lagi "sekolah terbuka" di daerah pertanian. Tak ada lagi
mahasiswa dengan kategori tiga pilar politik: pekerja-petani-tentara.
Ujian seleksi perguruan tinggi diberlakukan lagi untuk umum. Mahasiswa
tak perlu lagi ikut mengikat sayuran, dan area penanaman padi tidak
harus ke utara Sungai Yangtze agar tidak menentang alam.

Seruan Deng Xiaoping, "Menjadi kaya itu mulia," mengubah wajah Cina
secara dramatis. Pakaian dan tata rambut warga berubah. Observatorium
yang didirikan rohaniwan Jesuit di Jianguomen, yang dulu menjadi
satu-satunya monumen tinggi, kini diapit hotel dan gedung pencakar
langit. Ketika suatu saat saya kembali ke sana membawa rombongan turis
Eropa, atau kedatangan berikutnya mendampingi delegasi parlemen Inggris,
Revolusi Kebudayaan cuma menjadi cerita yang sayup-sayup terdengar.
Mungkin cenderung dilupakan.




.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




YAHOO! GROUPS LINKS




Reply via email to