Selasa, 02 Agt 2005, Bersama Presiden SBY Belajar sampai
ke China (2)
Di Balik Peneguhan
Indonesia Incorporated Itu Catatan Dahlan Iskan Merasa waktunya "tercuri"
oleh kejadian-kejadian besar di luar rencana manusia (dari stunami sampai flu
burung), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kelihatannya tidak mau lagi
terlalu bersabar. Presiden seperti ingin mulai menginjak pedal gas lebih keras
daripada biasanya.
Itu terlihat jelas dari apa yang dia ucapkan
berkali-kali selama empat hari di Tiongkok. Tidak terhitung banyaknya presiden
mengucapkan kata "Indonesia Incorporated". Presiden, tampaknya, sudah sampai
pada kesimpulan bahwa tidak ada jalan lain untuk maju kecuali seluruh potensi
bersatu padu mengejar kemajuan.
Apa artinya? Tidak lain, presiden harus
mengajak siapa pun untuk bersama-sama memajukan ekonomi bangsa. Presiden tidak
akan lagi melihat siapa dia, apa latar belakangnya, dan bagaimana masa
lalunya.
Apakah tidak akan miris terhadap datangnya berbagai kritik,
misalnya, presiden telah pro-pengusaha? Tampaknya, presiden sudah siap soal itu.
"Mengapa harus ada dikotomi seperti itu? Apakah tidak bisa pro-pengusaha juga
sekaligus pro-rakyat dan pro-buruh?" tegasnya.
Presiden lantas
mengucapkan kalimat panjang yang selama ini sering dikatakan para pengamat. Kali
ini, kalimat itu sudah seperti kalimatnya sendiri. Ini bisa diartikan bahwa
presiden sudah menginternalisasikan kalimat itu dalam jiwa raganya. Inilah
katanya: "Kita ibarat mengendarai mobil di jalan yang terjal, di sebuah
perbukitan yang berliku-liku. Kita tidak boleh terus melihat spion. Tidak bisa
terus melihat ke belakang. Kita akan masuk jurang. Kita harus melihat ke depan.
Ke depan. Agar selamat."
Kalimat panjang itu tidak hanya 1-2 kali
diucapkan. Tapi, beberapa kali. Bahkan, sering dipertegas lagi dalam bahasa
Inggris. Dengan wajah yang serius. Dengan kedua tangannya diayunkan ke depan
seperti membentuk koridor jalan.
"Indonesia Incorporated," katanya, "akan
bisa menyelesaikan persoalan kita." Kalimat yang sama juga diucapkannya saat
menerima rombongan pengusaha yang dipimpin Ketua Umum Kadin Indonesia Moh S.
Hidayat di Diao Yu Tai (??. ), tempat presiden menginap. Semua tamu negara
memang selalu bermalam di sini. Saya sendiri sudah beberapa kali "menikmati?
Diao Yu Tai ini. Misalnya, kalau saya sedang diundang makan malam oleh pengusaha
terkemuka di Beijing. Sebuah kompleks yang luas, bervila-vila, dan dialiri
sungai buatan yang meliuk-liuk dengan pertamanan yang sangat cantik. Hen piao
liang. Letaknya pun masih di dalam kota Beijing.
Dalam pertemuan itu
terdapat beberapa pengusaha besar dengan berbagai latar belakang dan citra
masing-masing. Ada Franky Wijaya, salah satu generasi penerus Eka Tjipta Wijaya
yang sangat menonjol. Ada Sofyan Wanandi yang selalu bicara keras dan tidak
sabar. Ada John Prasetyo yang kritis. Ada Prayogo Pangestu. Ada Moh. S. Hidayat.
Ada Tommy Winata. Dari Surabaya, ada Hartono dari Hartono Motor. Dan, tentu,
juga ada saya.
Malam itu, presiden minta betul kepada mereka untuk
berbuat maksimal demi kemajuan Indonesia. "Saya buka diri saya ya. Saya tegas
dalam hal korupsi. Kalau ada yang membawa-bawa nama saya atau keluarga saya,
jangan percaya. Laporkan langsung ke saya. Saya akan angkat!" katanya. Presiden
sering sekali mengucapkan kata "akan saya angkat" untuk memperhalus kata-kata
"akan ditangkap".
Sehari sebelumnya, di depan ratusan warga Indonesia,
presiden juga menegaskan secara gamblang sikapnya itu. Termasuk, sikap kepada
istrinya. "Istri saya tidak boleh berbisnis. Juga tidak boleh berpolitik,"
katanya disambut tepuk tangan masyarakat Indonesia di Beijing.
Dengan
aneka penegasannya itu, presiden seperti ingin mengambil sikap ini: tidak akan
mempersoalkan masa lalu seseorang dengan beberapa syarat. Orang itu kooperatif
untuk menyelesaikan masa lalunya, tidak lagi mengulangi perbuatannya, dan mau
ikut bersama-sama membangun Indonesia.
"Masih mengulangi, akan kita
angkat (tangkap, Red)," katanya. "Lalu, akan menjadi lebih berat karena ditambah
dengan persoalan masa lalu," katanya dalam berbagai
kesempatan.
Barangkali, itu inti dari tiga serangkai kalimat presiden:
"Indonesia Incorporated", "jangan terus melihat spion", dan "mengejar
ketinggalan".
Sejumlah pertanyaan memang muncul. Seperti yang disampaikan
Sofyan Wanandi. "Jangan sampai yang di atas sudah seperti mobil balap, yang di
bawah masih seperti bemo". Yang dia maksudkan adalah para Dirjen, direktur,
gubernur, bupati, dan wali kota.
Memang ada baiknya sesekali presiden
berkunjung ke ruang kerja para menteri atau Dirjen untuk melihat gaya
kepemimpinan di level itu. Sinkron atau tidak dengan yang dia maksudkan. Minimal
bisa melihat tata ruang kerja mereka dan surat-surat macam apa yang ada di atas
meja mereka. Seorang CEO yang menjadi pengendali "incorporated" dalam sebuah
perusahaan sudah biasa melakukan itu.
Juga, ada pertanyaan lain yang
sangat mendasar: Bagaimana mau incorporated kalau DPR, kehakiman, dan yang
lain-lainnya masih begitu banyak yang ingin berjalan sendiri-sendiri. Khusus
untuk pertanyaan ini, saya kira tidak mudah menjawabnya.
Hanya, kalau
sikap incorporated itu terus dijalankan (dari atas sampai bawah, dari
pemerintahan sampai polisi dan kejaksaan) secara konsisten, akhirnya rakyat juga
tahu: siapa yang sebenarnya tidak mau diajak maju.
Ke depan, saya punya
perhitungan, ideologi apa pun tidak akan laku. Orang akan makin memilih ideologi
baru: ideologi kemakmuran. Yang menganut ideologi sekuler bisa menyebutnya
dengan kemakmuran material dan spiritual. Yang agamis akan dituntut bisa
mewujudkan kemakmuran dunia dan akhirat. Yang mana pun pilihannya, harus ada
kata "makmur" di dalamnya. (bersambung)
.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.
.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.
.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.
.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.
YAHOO! GROUPS LINKS
|