http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/05/humaniora/1866363.htm
Selasa, 05 Juli 2005  
 
 
 

Biarkan Murid Terbiasa Melihat Perbedaan 


Pohon ini tidak membedakan

siapa yang boleh menghirup oksigen,

menikmati teduh dan buahnya

hidup atau mati inspirasi dunia

Sepenggal sajak penyair Eka Budianta menghiasi prasasti batu di 
areal belakang sekolah Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda di 
kawasan Sunggal, delapan kilometer dari pusat Kota Medan, Sumatera 
Utara. Prasasti itu ditandatangani cendekiawan Muslim Nurcholish 
Madjid bersama pemimpin agama Islam, Katolik, Kristen, Buddha, dan 
Hindu di Sumatera Utara.

Di sampingnya tumbuh sepasang pohon bisbul, satu jenis tanaman yang 
hanya bisa tumbuh bersama pasangannya. Prasasti itu terletak di 
tengah bangunan masjid, gereja, klenteng, dan aula yang dipergunakan 
sebagai tempat ibadah dan aktivitas bersama para siswa.

Halaman belakang kompleks sekolah Sultan Iskandar Muda yang 
didirikan oleh Sofyan Tan (45), seorang warga keturunan Tionghoa di 
Medan, merupakan monumen hidup gerakan pembauran yang dilakukan di 
sekolah itu.

Sofyan Tan mengawali proyek pembauran melalui dunia pendidikan 25 
tahun lalu; jauh sebelum orang ramai membicarakan gagasan pendidikan 
multikultural. Tidak heran bila proyek pembauran itu pada awalnya 
mengundang pertanyaan, kontroversi, yang membuat Sofyan sempat 
terkucil, bahkan di kalangan komunitas etnisnya sendiri. Ketika ia 
membangun masjid di kompleks sekolah, Sofyan yang beragama Buddha 
diisukan berpindah agama menjadi Islam. Ketika ia membangun gereja, 
ia digunjingkan berpindah ke agama Kristen. Dan ketika ia akhirnya 
membangun tempat ibadah agama Buddha, Sofyan disebut-sebut ¡¨telah 
bertobat¡¨.

Dua puluh lima tahun bukan waktu yang pendek untuk sebuah kerja 
sosial. Dengan bersusah payah, sepeninggal ayahnya, Sofyan berusaha 
menyelesaikan pendidikan dokternya di Universitas Methodist Medan. 
Namun, kesempatan emasnya untuk hidup sejahtera sebagai seorang 
dokter dilewatkannya. Ia memilih mengabdikan hidupnya untuk 
pendidikan.

Dengan modal dengkul, ia berutang pada kawan-kawannya¡Xpemasok bahan 
bangunan¡Xdan bank untuk mendirikan sekolah. Akan tetapi, kebanyakan 
murid yang masuk sekolah itu berasal dari keluarga yang hidup pas-
pasan sehingga sekolah selalu defisit. Ia harus menggali lubang 
tutup lubang agar sekolah tetap bisa hidup. Selama 25 tahun ia tak 
bisa hidup tenang karena dibayangi pailit dan tidak bisa membayar 
utang. Ketika bank pemberi kredit masuk Badan Penyehatan Perbankan 
Nasional (BPPN), utang sekolah mencapai sekitar Rp 1 miliar. ¡¨Mana 
mungkin saya bisa bayar,¡¨ kata Sofyan.

Di tengah kecemasan itu, mukjizat pun datang. Sebuah lembaga di 
Swiss mengulurkan tangan membantu Sofyan, memberikan hibah untuk 
melunasi seluruh utang sekolah. Tanpa beban utang, sekolah yang kini 
memiliki lebih dari 1.500 murid¡Xdari TK, SD, SMP, SMA, dan SMK¡Xitu 
akan mampu bertahan hidup secara ekonomi. Lebih dari itu, gerakan 
pembauran yang dilakukan Sofyan Tan melalui sekolah makin melembaga. 
Tidak hanya dalam interaksi guru, murid, dan pengelola 
pendidikannya, tetapi melalui materi pendidikan dan sistem yang 
dibangun sekolah.

Toleransi atas perbedaan

Pendirian tempat ibadah untuk lima agama di pelataran belakang 
sekolah bukan tanpa tujuan. Toleransi dan penghargaan terhadap 
perbedaan merupakan nilai yang dirayakan di sekolah itu. Ketika 
perdebatan tentang pelajaran agama sesuai keyakinan anak didik 
memanas, masalah itu tak berimbas ke sekolah-sekolah di lingkungan 
Yayasan Sultan Iskandar Muda. Sejak sekolah itu berdiri, pelajaran 
agama sejauh mungkin diberikan sesuai dengan agama yang dianut anak 
didik.

Setelah tiga tempat ibadah dibangun, pelajaran agama diberikan di 
dalam tempat ibadah. Bangunan ibadah yang saling berdekatan secara 
tidak langsung memperkenalkan kepada murid bagaimana pemeluk agama 
lain beribadah. Tidak seperti di Perancis yang melarang atribut 
keagamaan dipakai saat anak bersekolah, murid-murid di sekolah-
sekolah yang ada di lingkungan Yayasan Sultan Iskandar Muda bebas 
memakai aksesori simbol keagamaan bila memang itu keyakinannya.

¡¨Biarkan semua murid terbiasa melihat perbedaan. Tuhan pun 
menciptakan pohon berwarna-warni, dengan rasa buahnya berbeda-beda, 
masa kita mengharuskan murid berseragam dan menyembunyikan 
perbedaannya,¡¨ kata Sofyan.

Elly Yana, guru Matematika SD dan SMP Sultan Iskandar Muda, 
mengemukakan bahwa siswa selalu dibaurkan dalam aktivitas sekolah, 
terutama di tingkat SD. Selalu dihindarkan pengelompokan siswa dari 
etnis yang sama. Tempat duduk selalu diubah supaya murid yang 
berbeda suku dan agama bisa duduk di bangku yang sama. Selalu 
ditanamkan untuk tidak menyebut atribut yang merendahkan suku atau 
agama lain.

Saat perayaan hari-hari besar keagamaan, guru dan siswa yang berbeda 
keyakinan saling mengucapkan selamat. Untuk murid-murid kelas awal, 
mereka diberi tugas membuat kartu ucapan hari raya. Sementara untuk 
siswa kelas VI SD diminta berpidato di depan kelas. Bila menolak 
akan ditegur. Perilaku yang tidak menghargai perbedaan etnis, agama, 
atau ras dilarang. Bila aturan itu dilanggar dan anak tidak mau lagi 
dibimbing, mereka bisa dikeluarkan dari sekolah.

¡¨Kami tidak membeda-bedakan siswa, termasuk status dan anak siapa. 
Di sini mereka memiliki derajat yang sama, harus mengikuti 
peraturan, dan memperoleh pelayanan yang sama. Orang yang tidak 
mampu membayar pun diterima di sekolah ini, baru kemudian dicarikan 
beasiswa dari orangtua asuh,¡¨ kata Mulyono (46), Kepala SMP Sultan 
Iskandar Muda.

Beasiswa lintas etnis

Sistem pemberian beasiswa juga diarahkan untuk mendorong pembauran. 
Siswa keturunan Tionghoa yang tidak mampu dicarikan orangtua asuh 
pribumi. Siswa dari etnis Jawa dicarikan orangtua asuh keturunan 
Tionghoa. Siswa dari etnis satu dicarikan orangtua asuh dari etnis 
yang lain.

Saat ini lebih dari 100 siswa memperoleh beasiswa dengan model ini. 
Sejak program orangtua asuh dicanangkan di sekolah ini, tercatat 
1.247 anak yang terancam putus sekolah telah berhasil diselamatkan.

Program beasiswa ini sekaligus menghilangkan prasangka etnis 
tertanam puluhan tahun di masyarakat, setidaknya bagi anak dan 
keluarga anak yang memperoleh beasiswa. Bagi orangtua asuh, mereka 
berkesempatan mengenal etnis lain lebih dekat dan memberikan 
kebanggaan dapat membantu orang lain. Sejumlah tokoh nasional, 
seperti mantan Presiden BJ Habibie, Sarwono Kusumaatmadja, dan 
seniman Guruh Soekarnoputra ikut terdaftar sebagai orangtua asuh.

Sekolah-sekolah di lingkungan Yayasan Iskandar Muda juga telah 
mengembangkan materi pembauran dalam kurikulum sekolah. Setiap guru 
diminta mencoba memasukkan nilai-nilai pembauran dalam mata 
pelajaran yang diajarkannya. Tidak hanya untuk mata pelajaran bahasa 
dan ilmu-ilmu sosial, tetapi juga mata pelajaran eksak, seperti 
Matematika, Kimia, dan Biologi.

Sofyan Tan juga mempunyai strategi agar sekolah pembauran yang 
dirintisnya terus eksis di masa-masa mendatang. Melalui program 
orangtua asuh, ia menyekolahkan anak-anak yang pintar dari keluarga 
tak mampu sampai tingkat perguruan tinggi dan direkrut untuk bekerja 
di sekolah.

¡¨Umur saya terbatas, tetapi sekolah ini kelak akan dipimpin oleh 
anak-anak yang pernah memperoleh bantuan dari sekolah dan orangtua 
asuh. Mereka adalah roh sekolah ini di masa depan. Mereka itu adalah 
orang-orang yang mempunyai komitmen pembauran dan peduli terhadap 
orang-orang miskin,¡¨ kata Sofyan Tan.
 





.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to