Koh Erik yang baik,

Setuju 1000% dengan konsep inkulturisasi yang bro uraikan, yang bisa 
diperpanjang lagi analysis dan contohnya. Lihatlah misalnya yang sangat 
mencolok tapi indah: rupang Buddha dalam gaya Hellenisme daripada seni 
Gandhara, perpaduan antara India dan Greko (Yunani). Sang Gautama digambarkan 
seolah dewa Yunani yang sedang samadi, kurus kering, terlihat tiap tulang rusuk 
bahkan urat nadi.

Tetapi, konsep theologis Buddha yang masuk ke wilayah Yunani tetap sama dengan 
konsep asal, tak berubah sedikitpun.

Apa yang bro tanyakan, apakah lucu, Borobudur beda bentuk dengan istana Potala, 
walau keduanya sama sama Vajrayana, jawab saya: tak lucu, karena memang logis. 
Lihatlah beda pagoda Burma dan pagoda Thailand yang jelas berbeda, walau 
keduanya Theravadda.

Mesjid pertama di Jawa, mesjid agung Demak berbentuk Meru seperti di Bali, 
walau ini mesjid, bukan rumah ibadah Hindu Bali. Tak ada masalah.

Yang bro Ivan dan saya karikaturkan secara lucu, adalah PEMBELOKAN, bilamana 
umat jalankan ritual agama saking  patuhnya, tetapi juga sekaligus tatacara 
adat. Secara gamblang: pembacaan keng sekaligus nyanyian Mazmur.

Intinya, inkulturisasi yang bro gambarkan, memakai simbol simbol lokal untuk 
membabarkan firman Allah, seperti bro katakan itu, hanya bisa terjadi, apabila 
umat yang bersembahyang semua sepakat menerima firman Allah itu, walau dengan 
kemasan lokal. Misalnya misa katholik disebuah gereja di Jawa, lengkap dalam 
busana Jawa dan gamelan. Substansi theologisnya adalah katolis. Beres.

Tetapi, bila ada beberapa orang dalam komunitas Jawa itu, yang mengimani 
sanghyang Ismaya, bukan firman Allah katolis, ya gak jalan. Walau mereka juga 
pakai blangkon, keris dan beskap, serta mampu menabuh gamelan. Ini sudah 
pembelokan. Dan ini lucu..

Orang orang Jawa yang mengimani sanghyang Ismaya itu pernah berprosesi 
menggotong rupang hyang Ismaya dibelakang rombongan umat Tionghoa yang 
menggotong Toapekong. Ini bukan pembelokan, tapi juga bukan inkulturisasi, 
tetapi simbiose.

Tidak lucu, tetapi mengharukan..



--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Erik" <rsn...@...> wrote:
>
> 
> Saudara Younginheart dan juga Ivan:
> 
> Ilustrasi yang anda berdua ceritakan memang lucu-lucu!! Saya juga akan
> tertawa "Hahahahaah" seperti Ivan! Bukan cuma lucu, tapi juga absurd!
> Kalau sudah dicampur-campur seperti itu, lalu apakah mereka yang
> melaksanakannya masih sadar agama apa sebenarnya yang mereka anut??!!
> 
> Namun yang seperti itu bukanlah "INKULTURASI AGAMA" sebagaimana saya
> maksudkan. Dalam ranah antropologi budaya yang seperti itu namanya
> SINKRETISME AGAMA!  SINKRETISME adalah campuran/perpaduan antara dua
> (atau lebih) ajaran/agama seolah-olah menjadi satu, namun tetap dapat
> diurai-uraikan unsur-unsurnya antara satu dan lainnya, serta tidak
> pernah bisa berkembang menjadi sebuah devian baru dari ajaran/agama
> semula.
> 
> Sedangkan INKULTURASI adalah proses pengakuan, penerimaan dan peleburan
> diri sebuah ajaran/agama yang semula lahir dan berkembang di sebuah alam
> budaya tertentu ke dalam alam budaya lain yang baru.  Dalam proses
> inkulturasi tidak ada PENYAMPURAN dua ajaran/agama menjadi seolah-olah
> satu sebagaimana anda berdua ilustrasikan. Tidak akan terjadi 
> "penghormatan kepada para tokoh, seperti Kwan Im, dlsb, yang dikemas
> dalam ritual agama lain", juga tidak akan terjadi "sebuah upacara
> pernikahan dalam tradisi daoisme-tantrayana dengan pembacaan keng
> digabung dengan ritual katholik" , atau "upacara ibadah Chinese Mahayana
> digabung dengan ritual katholik"!!
> 
> Sebagaimana kemarin saya janji akan bersharing tentang konsep
> "INKULTURASI" ini agak panjang lebar. Kalau anda tidak bosan, mohon
> dalam kesempatan ini saya diberi waktu untuk menguraikan sedikit teori
> yang pernah saya tahu tentang INKULTURASI ini.
> 
> Sebagai sebuah produk budaya, agama memiliki tiga corak budaya. yakni:
> 
>     1. Corak I : Serangkaian kompleksitas ide-ide, pikiran, paham,
> ajaran, ideologi yang mengilhami atau membimbing manusia untuk bertindak
> dan bertingkah-laku dalam pola-pola tertentu yang dibakukan; (eg: Paham
> Komunisme, Sosialisme, agama Buddha, agama Islam, agama Katolik dll)   
> 2. Corak II : Serangkaian kompleksitas tingkah-laku manusia yang terpola
> yang terilham dan di bawah bimbingan ide-ide, pikiran serta paham atau
> ideologi yang dianut (eg: Bersalaman, Beranjali, Membuat tanda salib;
> sungkum bersujud dll)    3. Corak III : Serangkaian kompleksitas
> benda-benda konkret hasil ciptaan manusia melalui aktus mereka yang
> terpola dalam bimbingan ide-ide, pikiran serta paham atau ideologi yang
> dianut (eg: gedung katedral, Mesjid Agung, Maha Arama, Buddharupang,
> Patung Bunda Maria, kayu salib dll)
> 
> Nah, dalam proses inkulturasi, agama-agama dengan latar belakang budaya
> tertentu yang masuk dan hendak berkembang di alam budaya lain mendapat
> penafsiran kembali di alam budaya yang baru itu. Tapi awas, kita perlu 
> hati-hati di sini, penafsiran kembali di sini bukanlah penarsiran
> teologis tetapi penafsiran antropologis.  Kalau kita berpedoman pada
> teori tiga corak budaya di atas, yang ditafsir kembali bukanlah corak I,
> tetapi corak II dan corak III. Corak I menyangkut substansi sebuah agama
> yang tidak bisa ditawar-tawar (atau dicampur-campur dengan ajaran agama
> lain seperti kalian ilustrasikan), sedangkan corak II yakni tingkah laku
> manusia yang semula berpola pada konteks budaya tertentu bisa dan boleh
> diubah dan disesuaikan dengan konteks budaya yang baru. Sebagai contoh
> adalah cara umat Buddha bernamaskara yang semula berkonteks pada budaya
> India, begitu tiba di negeri Tiongkok ia mengalami penyesuaian kultural
> dalam konteks budaya Tionghoa, maka terlihatlah adanya perbedaan saat 
> umat Buddha dari India, Thailand dan Srilanka bernamaskara dibanding
> dengan umat Buddha di Tiongkok dan Taiwan bernamaskara. Demikian pula
> halnya dengan corak III, yakni benda-benda konkret ciptaan manusia
> melalui kegiatan mereka yang terpola dalam bimbingan ide-ide, paham,
> ideologi dan ajaran yang mereka anut. Buddharupang sebagai hasil ciptaan
> manusia akan sangat berbeda antara yang berkonteks pada budaya Thailand
> dengan yang berkonteks pada budaya Tiongkok, Apalagi jika dibandingkan
> dengan yang di Borobudur! Begitu juga dengan jubah para bhikhu Theravada
> dan bhiksu Mahayana (mohon perhatikan, jangan salah tulis lagi yang
> benar adalah BHIKSU bukan BHIKSHU) semuanya berbedaa-beda sesuai dengan
> konteks budaya keberadaan mereka. Juga dalam hal bahasa sebagai Corak
> III budaya, ada perbedaan antara bahasa Pali, bahasa Sanskerta, bahasa
> Tionghoa serta bahasa Tibet dan bahasa Mongolia.
> 
> Kalau mau mengambil contoh kasus soal INKULTURASI agama ini, yang paling
> berhasil melakukannya adalah bangsa Tionghoa yang mengINKULTURASI agama
> Buddha dari budaya India ke dalam budaya Tionghoa. Agama Buddha yang
> awalnya lahir dan berkembang di tanah India, sudah sangat berbeda dalam
> corak kulturalnya dengan agama Buddha yang ada di masyarakat berbudaya
> Tionghoa. Agama Buddha Mahayana di Tiongkok sudah merupakan sebuah
> devian baru yang berbeda (dalam hal kultural) dengan agama Buddha
> Mahayana yang pernah hidup di India dulu. Bahkan bagi sebagian orang
> awam, agama Buddha malah diidentikkan dengan bangsa Tionghoa! Saya kira
> anda-anda juga tahu bahwa candi Borobudur adalah sebuah candi aliran
> Vajrayana, nah adakah perbedaan antara Borobudur dengan Potala di Tibet,
> padahal dua-duanya sama-sama beraliran Vajrayana!! Apakah semua ini
> LUCU??
> 
> Salam,
> 
> Erik
> 
> ------------------------------------------------------------------------\
> -------------------------------------
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Ivan" <ivan_taniputera@> wrote:
> Hahahahaah.... Lucu sekali.
> Upacara pernikahan dengan sebarisan Daoshi dan Lama Tibet di sisi kanan
> serta kiri. Sementara itu diiringi dengan nyanyian paduan suara dari
> gereja K. Paduan suara diselingin dengan pembacaan jing dari sekelompok
> bhikshu Mahayana. Lalu Daoshi, Lama, Bhikshu, dan Pendeta bersama-sama
> memberkahi.... Pengantin pria mengenakan pakaian pengantin ala Dinasti
> Qing.. pengantin wanita memakai busana ala Barat.....wah sungguh luar
> biasa. Ini baru Wedding Party abad ini :D
> 
> ------------------------------------------------------------------------\
> ------------------------------------------------------------------------\
> -------------
> In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "younginheart5000" crv118@ wrote:
> Koh Erik yang baik,
> Firman Allah, seperti yang anda sebutkan, bisa saja diperkenalkan lebih
> dekat kepada umat melalui simbol simbol adat lokal, seperti pemakaian
> gamelan atau angklung. Di sini kita alami ritual agama yang dikemas
> secara budaya lokal. Inkulturisasi.
> TETAPI, sebaliknya, sebuah ritual budaya, misalnya buat kita
> sembahyangan ce it, cap go, dengan penghormatan kepada para tokoh,
> seperti Kwan Im, dlsb, tak mungkin dikemas dalam ritual agama lain.
> Kalau kita lakukan upacara budaya Tionghoa sambil sekaligus melakukan
> ritual agama lain, ini namanya pembelokan. Jadi, kesini tidak, kesana
> tidak.
> Bayangkan, sebuah upacara pernikahan dalam tradisi daoisme-tantrayana
> dengan pembacaan keng digabung dengan ritual katholik, atau misalnya
> upacara ibadah chinese Mahayana mau digabung dengan ritual katholik?
> Nggak lucu?
> 
> ------------------------------------------------------------------------\
> ------------------------------------------------------------------------\
> --------
> In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Erik" <rsn_cc@> wrote:
> Mohon maaf koh! (Atau mungkin anda lebih senang disapa Bung? Bang? or
> Bapak?)
> Yang dilakukan dalam kalangan Katolik bukan "Ritual agama 
> "di-belok-belokan" seolah sesuai dengan tatacara budaya", tetapi
> inkulturasi agama ke dalam alam budaya masing-masing masyarakat penganut
> agama Katolik di pelbagai tempat. Dan itu bukan saja tidak lucu, tetapi
> bahkan perlu agar masyarakat dengan latar belakang budaya yang
> berbeda-beda bisa lebih dekat kepada firman Allah lewat simbol-simbol
> budaya yang mereka akrabi sehari-hari.
> Substansi ajaran agama tidak bisa dan juga tidak mungkin bisa
> dibelok-belokkan, yang disesuaikan ke dalam alam budaya lewat proses
> inkulturasi adalah simbol agama, seperti bahasa, jubah, mitra, altar
> dll.
> Kapan-kapan bila ada kesempatan saya siap bersharing agak panjang lebar
> perihal konsep "INKULTURASI" itu. untuk sementara ini saja dulu.
> Mudah-mudahan dapat dimaklumi.
> Salam,
> Erik
>


Kirim email ke