Bung Jimmy Tanaya dan TTM semuah,

Hai, apakabar? Sudah makan?

Terima kasih atas respon anda. Mari kita lanjut dikit soal si cabe nan pedes 
ini.

Gosipnya makanan pedas bisa mengusir bakteri? Ini bukan cuma gosip, tapi memang 
kenyataan. Cabe mengandung capsaicim, ini zat yang menimbulkan efek panas dan 
'terbakar' - istilah kita 'pedas'. Kayaknya zat capsaicim inilah yang 
menimbulkan juga efek antiseptik. 

Waktu saya kecil, tinggal di rumah engkong yang tukang kayu. Suka ikut mainan 
bor gesek (seperti menggesek alat musik Tiongkok), sekali waktu kurang 
hati-hati, kaki tertusuk mata bor. nenek saya secara spontan memborehi luka 
kecil itu dengan cabe, panas sedikit, tapi memang tidak menimbulkan infeksi.

Koyo cabe itu jelas memakai capsicum sebagai 'pemanas'nya. 

Capsaicim pada cabe, sebenanrnya sebagai upaya pertahanan diri agar tidak 
dimangsa hewan pemakan buah-buahan. Kalau dimakan habis, tentu saja keturunan 
mereka tidak lagi bisa hidup. Padahal mah mereka juga perlu hewan untuk 
menyebarkan biji-biji untuk tumbuh. Dan, biji cabe termasuk yang cukup keras, 
sehingga tidak gampang dicerna perut hewan. Seperti biji kopi yang tidak habis 
dicerna perut luwak, sehingga keluar lagi bersama sekresi melalui 'pintu 
belakang'. Yang kemudian ternyata jadi biji kopi langka dan mahal harganya. 
Sebab dipercaya luwak cuma memilih biji kopi yang masak pohon, ditambah 
terkontaminasi enzim dalam perut luak, sehingga kopi 'produksi' luwak itu 
terrasa lebih nikmat dan..... bergengsi, sebab sangat langka sekarang dan... 
mahal!

Tapi, konon efek pedas, panas dan terbakar dari capsaicim yang banyak terdapat 
pada biji dan tangkai bijinya itu, tidak ngaruh sama sekali pada burung 
seumumnya. Jadi bagi burung sih tidak terasa pedas sama sekali, dengan lahapnya 
si burung menyantap buah cabe untuk kemudian, seperti luak juga: menebarkan 
bijinya di tempat lain supaya bisa ada harapan si cabe terus berkembang biak di 
tempat lain.

Untuk jelasnya, sila baca saja link berikut ini: 
http://en.wikipedia.org/wiki/Capsicum

Tentang sebutan hot dan spicy bagi bule, cukup rancu juga. Sebab spicy bisa 
juga berarti berbumbu rempah, tidak mesti pedas. Memang sih banyak juga rempah 
yang masuk golongan pepedasan seperti: lada, cengkeh, jahe, andaliman (huaciao, 
red pepper, sicuan pepper). Anadliman atau huaciao ini, sebenanrnya sih bukan 
pedas dalam arti identik seperti lada pedasnya. Istilah Huayu-nya adalah 
'ma-la'. ma - kebas, la - pedas. Tapi justru 'ma'nya yang lebih menonjol. Kalau 
anda merasakan andaliman dengan lidah anda, atau bibir anda tersentuh olehnya, 
maka lidah atau bibir anda akan terasa kebas, seperti kalau anda hendak dicabut 
gigi dan diberi bius lokal begitu.

Bule memang agak kikuk dalam memberi istilah bagi rasa bumbu dan rempah 
'oriental'. Sebab buat mereka bumbu rempah itu merupakan 'alien' - benda asing, 
bukan benda yang mereka temukan sehari-hari waktu masih kecil dulu-dulunya. 
Mereka kenal bumbu rempah tropis Asia pan dari importir saudagar rempah jaman 
VOC dulu. Seperti contohnya, walau mereka sudah biasa terpapar oleh krim, keju 
yang buat kita 'gurih', mereka cuma bilang itu 'savory'. Mereka tidak tahu 
apakah padanan kata untuk 'gurih' yang kita namai untuk santan.  Medmbayangkan 
rasa 'gurih' ajah susah bagi mereka. Sebab mungkin saja tidak ada referensi di 
dalam memori database CPU mereka toh?

Benar bahwa orang bule 'menonjolkan' rasa asli bahan makanan, jadi mereka 
cenderung hanya pakai bumbu dasar: garam dan lada (salt & pepper) yang biasanya 
juga cuma ditarok di tempat taburnya di atas meja. Bisa jadi mereka memang 
pecinta alami, ndak suka neko-neko pake aneka bumbu. 

Tapi, bisa saja karena bumbu rempah itu barang impor yang perlu perjuangan 
mendapatkannya (VOC mesti minta bantuan tenatara Belanda untuk menjaga aset 
properti perkebunannya di Nusantara toh), jadi barang impor tsb dijual dengan 
harga mahal. Jadi tentu saja mereka mesti berhemat devisa, makan steak cukup 
dengan bumbu lada dan garam saja, supaya ndak menghamburkan devisa untuk 
rempah-rempah. Lagipula, daging itu secara alami sudah mengandunggi zat seperti 
MSG, yang gurih, jadi memang mereka punya alasan untuk tidak lagi menambahkan 
banyak bumbu rempah. 

Orang kita, karena tongkat kayu dan batu dilempar saja jadi tanaman, rempah 
bumbu tumbuh begitu saja di halaman rumah, jadi bolehlah bebas seenak udel 
menebar bumbu apa saja dan aneka rempah ke dalam masakan kita, lha tinggal 
metik di kebun atau minta tanaman pagar rumah sebelah, jeh! 

Apalagi setelah kompeni menanam tanaman aneka rempah dan bumbu untuk tujuan 
ekspor secara besar-besaran, yang BS - bekas sortir itu mau dilempar ke mana? 
Juga, kalau sampai masyarakat terbiasa makan bumbu rempah banyak, mereka pan 
bisa jadi 'captive market' para tauke mandor kebun yang dapat jatah upah berupa 
in natura. Seperti contoh pabrik roko BAT dan pabrik gula di jawa, mereka sudah 
menanam saham untuk supaya pegawai dan keluarganya menjadi 'captive market' 
begitu. 

Makanya jangan heran kebiasaan minum air teh manis dan rokok banyak terjadi di 
kalangan masyarakat Jawa (tengah dan timur). Kelihatannya sih baik ya, mereka 
memberi jatah rokok dan gula sebagai tambahan upah in natura, padahal mah 
mereka sedang melakukan 'marketing' jangka panjang. Bergenerasi kemduian, 
sampai sekarang, anak-anak dan cucu-cucu para pegawai pabrik gula dan rokok 
tetep menjadi market potential mereka toh?

Begitulah kira-kira ya.

Salam makan enak full rempah bumbu,
Ophoeng
BSD City, Tangerang

http://ophoeng.multiply.com/



--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Jimmy Tanaya" <tanaya....@...> wrote:

Bung Ophoeng,
 
ikut nimbrung sedikit.
 
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Ophoeng" <ophoeng@> wrote:

Yang agak unik, mungkin, adalah Indonesia. Letak geografis Indonesia pan di 
katulistiwa yang relatip panas. Tapi koq orang-orang kita (relatip) suka pedas 
dan masakan yang berbumbu rempah banyak aneka macam? Padahal katanya pan bumbu 
rempah yang hot-hot-hot diserbu VOC kerana laku dijual sebagai hot item di 
Eropa yang berhawa dingin, juga Secuan Pepper yang super hot (dibandingkan 
sesama kerabat 'pepper' yang white dan black pepper - walau sebenernya Secuan 
pepper itu masuk golongan beri-berian)  banyak dibudidayakan di Secuan sana 
yang berhawa dingin juga. Mestinya Indonesia yang relatip panas sepanjang tahun 
(tergantung maunya cuaca ajah, sekarang mestinya dah kemarau tapi masih ajah 
turun hujan tuh!) ndak perlu bumbu rempah hot untuk mengusir dingin.
 
Barangkali anda tahu mengapa?
 
-- denger2 gosip katanya makanan pedas (yg banyak cabe dan bawangnya) membantu 
'melenyapkan' kuman2 dari makanan. 

Mengapa orang bule cuma bilang 'hot' untuk pedas?Padahal hot itu beda jauh ama 
pedas, sebab hot buat kita pan cuma 'panas'. Pedas itu jauh lebih dari hot toh? 
Mestinya ini ndak heran, sebab mereka sebelumnya cuma kenal hot itu dari jahe 
atau lada, sahang, merica. Buat mereka itu sudah pedas. Kalau dibandingkan 
SHU-nya, bagi mereka SHU 100.000 itu sudah dianggap 'hot'. Bagi kita? Paling 
sedikit mesti yang 500.000 atau bahkan yang 1.000.000 SHU. Coba ajah anda pake 
Tabasco yang extra hot, itu mah buat anak kecil ya?
 
-- setahu saya, bule punya dua sebutan yaitu 'hot' dan 'spicy'. Kadang2 dua 
kata ini digunakan saling bergantian (interchangeable). 'Hot' mungkin merujuk 
pada kandungan lada (putih, hitam, merah) dan cabe, sedangkan 'spicy' pada 
bawang2an dan bumbu 'eksotis' lainnya (bagi mereka). Bule 'totok' mungkin gak 
sanggup makan makanan yg spicy maupun hot.
 
Berbeda dgn tata kuliner kita (asia?), bule biasanya cenderung menonjolkan cita 
rasa 'asli' dari bahan2 yg dimasak (lah setik/steak aja cuma dibumbuin lada, 
garam, en dikit minyak zaitun; meskipun kemudian ada saus tambahan). Makanya 
gak heran, kita selalu menganggap masakan mereka gak berasa (alias tasteless) 
dan turis2 kita selalu sangu/berbekal sambal botolan (dan kecap manis? wahaha) 
:p.
 
Kesan saya terhadap cita rasa bule, mereka doyanannya rasa asam (kasih 'bumbu' 
keringat a la PK-5 aja kali ya wahahaha).
 
 
salam,
jimmy



Kirim email ke