--- korandigital <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> From: "korandigital" <[EMAIL PROTECTED]>
> To: <[EMAIL PROTECTED]>
> Subject: [Koran-Digital] TRAGEDI MEI => Selama 10
> Tahun Menanti Keadilan
> Date: Fri, 18 Apr 2008 08:37:48 +0700
> 
> TRAGEDI MEI
> Selama 10 Tahun Menanti Keadilan
> Jumat, 18 April 2008 | 02:11 WIB 
> Emile A Laggut
> 
> Hampir satu dasawarsa tragedi kemanusiaan Mei 1998
> telah telantar begitu saja dan nyaris sirna dari
> ingatan sosial. Dan, sekitar dua bulan lagi bangsa
> ini mencoba mengenang kembali tragedi itu. Itikad
> baik pemerintah untuk mengupas tuntas peristiwa itu
> sama sekali belum kelihatan. Sementara pihak korban
> dan keluarga korban selalu menanti kapan dan hendak
> dibawa ke mana tragedi 1998 itu.
> 
> Dengan adanya ikrar ataupun komitmen pemerintah
> untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di
> masa lalu, seolah-olah mulai menemui titik terang.
> Walau, ikrar itu hanya difokuskan pada kasus
> kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi I dan II. Namun,
> patut diacungi jempol karena pemerintah telah
> mengubah visi dan orientasi penegakan hukum, dari
> visi melindungi pelaku kini berorientasi kepada
> memprioritaskan keadilan bagi korban.
> 
> Walau pada awalnya dramaturgi politik penyelesaian
> kasus-kasus kejahatan negara pada masa lalu
> seakan-akan digiring dalam rekayasa politik antara
> kepentingan para pihak yang dominan, yaitu DPR dan
> pemerintah berikut otoritas politik badan-badan
> tersebut di satu sisi, sedangkan di sisi lainnya ada
> upaya perlindungan para pelaku dari proses hukum.
> Akan tetapi, dramaturgi itu telah berakhir dan kini
> memasuki babak baru berkat keputusan Mahkamah
> Konstitusi (MK) dalam uji materi Undang-Undang Nomor
> 26 Tahun 2000, yang memberi kewenangan kepada
> Kejaksaan Agung untuk memulai penyidikan terhadap
> kasus-kasus tersebut.
> 
> MK buka pandora keadilan
> 
> Setelah terjadi tolak tarik kewenangan antara Komnas
> HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR untuk mengurus
> kasus-kasus tersebut, maka berdasarkan putusan MK
> pada Februari 2008 memberi keleluasaan kepada
> Kejaksaan Agung untuk memulai melakukan penyelidikan
> terhadap kasus-kasus tersebut.
> 
> Putusan MK menyatakan bahwa DPR tak bisa lagi
> menduga sendiri adanya pelanggaran HAM berat. DPR
> harus memperoleh hasil penyidikan terlebih dahulu
> dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
> 
> Namun, putusan MK itu tidak serta-merta
> menghilangkan adanya proses politik, baik oleh DPR
> maupun oleh Presiden dalam proses pembentukan
> Pengadilan HAM Ad Hoc, (Kompas 23/2). Dengan
> demikian, peran DPR yang sebelumnya begitu dominan
> dan sentral untuk memutuskan sebuah peristiwa
> kejahatan termasuk pelanggaran HAM berat atau tidak,
> telah mengerucut hanya kepada kewenangan
> rekomendasional pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc
> semata.
> 
> Pada tahap ini proses politik yang menjadi ranah
> kewenangan DPR hanyalah mengusulkan kepada
> pemerintah untuk sesegera mungkin membentuk
> Pengadilan HAM Ad Hoc. Klausul ini diatur pada Pasal
> 43 Ayat (2) UU No 26/2000 bahwa Pengadilan HAM Ad
> Hoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa
> tertentu dengan keputusan presiden.
> 
> Tujuan pembentukan lembaga ini adalah mempermudah
> kerja Kejaksaan Agung ketika hendak mengambil
> langkah-langkah penyidikan dan untuk memulai proses
> penyidikan membutuhkan izin dari Pengadilan HAM Ad
> Hoc (Kompas 23/2).
> 
> Pada dasarnya tanpa izin dari pengadilan pun
> Kejaksaan Agung sebagai penuntut umum sudah dapat
> memulai tugasnya melakukan penahanan sebagaimana hal
> ini diatur pada Pasal 12, yaitu Jaksa Agung sebagai
> penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan
> penahanan atau penahanan lanjutan guna kepentingan
> penyidikan dan penuntutan.
> 
> Jadi, putusan MK telah memberi otoritas yang lebih
> leluasa kepada Kejaksaan Agung dalam rangka
> penanganan perkara-perkara pelanggaran HAM berat
> yang terjadi sebelum tahun 2000.
> 
> Ini merupakan ujian pertama bagi Kejaksaan Agung dan
> kredibilitas mereka dipertaruhkan demi kepercayaan
> publik terhadap lembaga ini. Begitu juga sebaliknya
> publik dan keluarga korban patut menuntut seberapa
> serius lembaga Kejaksaan Agung menangani kasus-kasus
> itu. Inilah momen yang tepat bagi lembaga ini untuk
> kembali membangun kepercayaan publik yang terkesan
> buruk selama ini. Kejaksaan Agung adalah lembaga
> yang memanggul tanggung jawab publik untuk kembali
> berjibaku di bidang penegakan hukum dan
> memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia.
> 
> Proses hukum
> 
> Kerja sama tripartit antara DPR, Kejaksaan Agung,
> dan Komnas HAM untuk menyelesaikan kasus-kasus
> pelanggaran HAM masa lalu dapat berjalan efektif
> sejauh adanya koordinasi kelembagaan satu dengan
> yang lainnya menurut ketentuan yang ada dalam UU No
> 26/2000.
> 
> Intinya, koordinasi kelembagaan itu didayagunakan
> untuk mereduksi dominasi dan peran satu lembaga
> terhadap lembaga-lembaga lainnya, dan meredam
> konfliktual kepentingan dan otoritas yang pada
> hakikatnya hal-hal semacam itu tidak penting dan
> tidak relevan lagi ketika hendak menyelesaikan suatu
> "soal" atau masalah.
> 
> Lucunya, permasalahan sepele seperti itu cenderung
> diklaim menjadi pertarungan kepentingan politik
> dominan oleh setiap lembaga selama ini.
> 
> Lantas, akan ke manakah keberpihakan DPR dan
> Kejaksaan Agung dalam soal penyelesaian kasus
> Trisakti dan Semanggi I dan II. Berpihak kepada
> publik dan mewakili korban ataukah condong kepada
> pelaku. Kenyataan awal menunjukkan telah terjadi
> "lempar bola" antara DPR dan Kejaksaan Agung untuk
> penyelesaian kasus-kasus tersebut.
> 
> Sementara hasil penyelidikan Komnas HAM menunjukkan
> bahwa kasus-kasus tersebut adalah bentuk-bentuk
> pelanggaran HAM berat. Pemberkasan penyelidikan,
> berikut barang buktinya, sudah lengkap dan sudah
> diserahkan ke Kejaksaan Agung.
> 
> Jadi, praktik politik lempar bola perlu diakhiri.
> Pemisahan kewenangan antara ketiga lembaga ini sudah
> diatur secara jelas dan tegas. Konfliktual
> kepentingan dan praktik-praktik impunitas segera
> dihentikan. Proses hukum harus dikedepankan.
> Kejaksaan Agung memanggul tugas dan tanggung jawab
> yang begitu berat. Kredibilitas kelembagaan dan
> profesionalitas "agung" kejaksaan diuji dalam
> penyelesaian kasus-kasus tersebut. Prioritaskan
> keadilan terhadap korban. "Kebenaran harus diungkap
> dan keadilan harus ditegakkan". Rakyat Indonesia,
> korban dan keluarga korban menanti pergelaran itu?.
> 
> Emile A Laggut Pengamat Sosial
> 
> 
> 
> Sumber : Kompas
> 
>
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
> Anda menerima pesan ini karena berlangganan ke Grup
> "Koran Digital" Google Groups.
>  Untuk memposting ke grup ini, kirimkan email ke
> [EMAIL PROTECTED]
>  Untuk keluar dari grup ini, kirim email ke
> [EMAIL PROTECTED]
>  Untuk pilihan lain, kunjungi grup ini di
> http://groups.google.com/group/koran-digital?hl=id
>
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---
> 
> 


http://steeve.multiply.com
http://www.steeveharyanto.blogspot.com


      
____________________________________________________________________________________
Be a better friend, newshound, and 
know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.  
http://mobile.yahoo.com/;_ylt=Ahu06i62sR8HDtDypao8Wcj9tAcJ

Reply via email to