Minggu, 04 Desember 2005

Gairah Bali Gaya Huang Fong

EFIX MULYADI

Kecantikan perempuan, alam, dan lingkungan budaya. Tiga perkara itu mendorong Huang Fong untuk menjalani hidup keseniannya. Ia melukis gadis duduk bertelanjang dada, gadis merangkai sesajian, atau gadis menari, di tengah pemandangan alam atau upacara yang indah.

Mereka cantik dan muda. Karya-karyanya merekam kehidupan yang tengah bergairah atau mencapai kematangan, namun tidak mencatat lengkung kurva sebaliknya ketika segalanya telah aus, menua, atau lapuk. Kesenian Huang Fong adalah cita kehidupan yang merekah, seperti kegirangan seorang anak ketika menengok mekar bunga.

Kesan itu tertangkap dari pameran ”45 Tahun Seni Lukis Huang Fong” di Galeri Nasional Jakarta, 26 November-5 Desember 2005. Perhelatan seni oleh Semar Art Gallery, Malang, ini menampilkan 102 buah lukisan cat air atau cat minyak di kanvas, tinta china, pastel, maupun konte di atas kertas.

Sebagian isi pameran menampilkan perempuan muda Bali—perempuan tua, lelaki tua, ikan, atau bunga di vas— bukan pokok utama di sini. Wajah mereka ia tangkap dari ekspresi para modelnya, yang tentu saja sudah berganti generasi, mengingat ia sudah puluhan tahun (sejak 1967) bekerja di Bali dan ia selalu mampu menemukan pengganti yang segar.

”Saya suka melukis langsung kekhasan Bali, mungkin kepolosan atau keriangan dari sorot matanya. Kalau dari hasil foto rasanya seperti benda mati,” tutur Huang Fong di tengah ruang pamerannya.

Ia ”menyutradarai” pose mereka. Kalau ia ingin melukis tari, si model ia minta menari dan berhenti pada posisi yang ia kehendaki. Sebuah rekaman video sepanjang 45 menit diputar di ruang pamer, memperlihatkan suasana ketika ia melukis sang penari. Tuturnya, ”Ini dipotong-potong, kalau aslinya berhari-hari.” Hasilnya ikut dipajang di dalam pameran.

Keterampilannya tinggi dalam menggubah citra realistik fotografis sehingga kemolekan berbagai bentuk tubuh atau alam sekeliling muncul dengan meyakinkan. Ia menggarap rincian yang perlu seperti lekuk buah dada—sulit mengabaikan bagian ini pada berbagai karyanya—atau motif kain, anyaman bambu, maupun kostum tari. Adapun latar umumnya ia buat samar, namun tak jauh dari daya menghias yang rupanya telah mendarah daging.

Pada beberapa lukisan ”nude”-nya, latar lebih berperan, atau katakanlah terarah. Karya ”Taman Bunga Chrisan & Kain Merah Jambu” misalnya diisi rumpun bunga, serasi dengan seprai tempat model berbaring dalam posisi yang khas, yang memberi penekanan pada sensualitas. Pada ”Ni Putu Berdandan”, latar memberi kesan sebagai paduan bidang-bidang warna tak beraturan yang memberi kesan seperti emosi yang bergolak. Lukisannya ”Ni Wayan Nengah Gembala Domba” atau ”Komang Aryani Setengah Badan” menjadi lukisan telanjang yang ”alami”. Konon masih ada yang bertelanjang dada di pedalaman Bali dan memang posenya tidak memberi kesan untuk berpamer kemolekan tubuh. Keempat lukisan ini ia buat dalam tahun 2004 dan 2005.

Umumnya karya Huang Fong dikerjakan dengan garis-garis tipis dan pewarnaan yang transparan lewat teknik cat air. Pada sejumlah karya cat minyaknya, ia membuat sabetan tebal dan kuat, bahkan terkesan ekspresif seperti pada ”Ni Made Pakai Bunga” (2004). Watak goresan seperti ini tampak dekat dengan karya pastelnya (seperti ”Ni Ketut Murni”, 2002), namun berbeda dengan kelembutan dan kehalusan sapuan pada sebagian besar karya cat airnya, sebutlah itu seperti ”Pasar” (2003), ”Tiga Dara Selesai Bekerja” (2000), atau ”Panen Padi” (2001). Bahkan itu juga berbeda dengan pulasan warna cat air yang lebih bertenaga (”Tari Legong”, 1995). Kelembutan garis dan warna itu dipadu dengan kesan kabut putih yang menyelebungi sebagian bidang gambar, dan memberi kesan tidak sepenuhnya terjadi di atas bumi yang nyata. Sebuah tamasya yang setengah impian, yang menjadi sungguh fungsional untuk karyanya ”Tari Legong Keraton Tiga Orang” (2004). Kata Huang Fong, ”Lama-lama kabut itu menjadi ciri lukisan saya.”

Yang tak kalah menarik, karya-karya cat airnya yang cenderung monokromatik mampu menggugah rasa puitik ketimbang umumnya yang menggunakan berbagai warna. Lihat umpamanya ”Ida Bagus Made Sedang Melukis” (1989) dengan model lelaki tua sang maestro seni lukis tersebut.

Salah satu puncaknya—saya kira ini juga bintang dari pameran ini—adalah ”Barong” (1981), yang menggambarkan adegan tari ritual Bali. Seluruh elemen rupa di bidang gambar seluas 80 x 100 sentimeter itu menyatu di dalam warna kekuningan pucat dan kecoklatan, yang orkestrasinya mampu memberi gerak dan suasana yang mencekam. Itulah daya sihir dari seorang Huang Fong: tidak ada eksotika, tidak ada kelatahan menghias, tidak ada manipulasi ikon-ikon budaya setempat untuk tujuan keindahan fisik semata.

Meski tajuk pameran ini menyebut angka 45 tahun, karya tertua yang ditampilkan yaitu tiga buah lukisan potret perempuan Bali berangka tahun 1969. ”Angka 45 tahun itu diambil dari masa saya berkarya,” kata Huang Fong, pria kelahiran Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur, 14 April 1936 dengan nama Oey Peng Liang, yang ikut memprakarsai berdirinya kelompok lukis Sanggar Kamboja di Bali tahun 1986.

”Saya tetap cinta Bali, dan tidak berpikir untuk pindah,” tuturnya.



.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




YAHOO! GROUPS LINKS




Reply via email to