IBRAHIM ISA dari BIJLMER ------------------------ 04 April 2006
BACA ASWI ADAM - SEKITAR TERORISME NEGARA ORBA SAMPAI KE- LIANG KUBUR <Resensi Atas Buku Ariel Heryanto> Membaca resensi yang dibuat oleh cendekiawan sejarah Dr Aswi Warman Adam, ahli peneliti utama LIPI, membuat hatiku tergerak minta perhatian pembaca untuk juga ikut membaca resensi yang dibuat oleh Aswi Adam tentang buku studi yang ditulis oleh Ariel Heryanto. Tentunya nanti kalau pembaca berhasil memiliki atau meminjamnya lebih interesan lagi untuk membaca langsung buku Ariel Heryanto tsb. Dalam suatu resensi biasa dikemukakan, diangkat dan ditonjolkan oleh penulis resensi apa yang baginya paling menarik, penting dan perlu diketahui dan difikirkan bersama oleh pembaca. Sering bisa kita baca dalam resensi itu kritik dan atau pujian penulis resensi atas buku yang dibicarakan. Namun bisa juga yang dikemukakan ialah kesimpulan sang peresensi sendiri atas buku yang diresensinya. Meskipun buku Ariel Heryanto, dosen senior pada Melbourne Institute of Asian Languages and Societies, Australia, berjudul (dalam bahasa Inggris) -- "State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging -- belum kubaca sendiri, namun, karena yakin pada integritas Aswi Adam -- yang kebetulan sempat kukenal pribadinya ketika berdiksui di Leiden tempohari ----, aku berani kemukakan di sini bahwa kesan atau kesimpulan Aswi Adam mengenai buku Ariel Heryanto, ------ benar adanya! Ini yang a.l. ditulis Aswi Adam: (Kutip) "MODEL ORDE BARU --------------- "Terorisme negara telah berlangsung selama era Orde Baru. Berbagai kelompok masyarakat telah menjadi korban seperti preman (kasus pembunuhan misterius tahun 1980-an) dan kelompok Islam (kasus Woyla, Tanjung Priok dan Talangsari). "Namun terorisme yang paling lama dan paling intensif adalah teror terhadap mereka yang dianggap terlibat peristiwa 1965. Diawali dengan pembantaian setengah juta (menurut penulis buku ini sekitar satu juta) dan penahanan ratusan ribu orang lainnya, pencabutan paspor warga Indonesia di luar negeri pasca 1965, pembuangan ke pulau Buru (1969-1979), dilanjutkan dengan pemberian stigma terhadap korban 1965 dan keluarganya. "Tahun 1981 dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang melarang mereka dan keluarga untuk menjadi PNS, anggota militer dan polisi dan jabatan strategis lainnya di masyarakat. "Dendam sejarah diabadikan melalui film, pembuatan museum dan monumen dan pendidikan di sekolah. Pengambinghitaman PKI sebetulnya menjadi alat bagi elit penguasa militer dan pemerintah otoriter Orde Baru untuk melakukan represi terhadap politikus pembangkang, musuh potensial dan upaya untuk meletimasikan tanggungjawabnya terhadap pembunuhan masa lalu. (Kutipan selesai) Masih ada satu lagi kutipan resensi Aswi Adam yang kiranya perlu diperhatikan ialah sbb: (Kutip) "Untuk kasus 1965, terorisme negara itu tidak hanya dilakukan aparat tetapi juga didukung oleh kalangan Islam. Kelompok ini menjadi "pelaku" dalam peristiwa 1965 meski mereka juga menjadi "korban" dalam periode berikutnya. Akar konflik ini tentu bisa ditelusuri pada periode setelah Indonesia merdeka (peristiwa Madiun 1948, rivalitas politik dalam pemilu 1955, aksi sepihak PKI, dst). "Di Aceh, Jenderal Ishak Juarsa meminta pendapat ulama setelah meletus G30S. Ulama Aceh mengeluarkan fatwa bahwa "aliran komunisme haram dan anggota partai ini kafir" (prasaran Tgk Abdullah Ujong Rimba, 1965). Fatwa senada juga dikeluarkan Muhammadiyah November 1965 (makalah Hasan Ambary, 2001). "Wacana religius semacam ini yang menyebabkan penolakan terhadap jenasah korban 1965 untuk dimakamkan kembali di Temanggung, Jawa Tengah, Maret 2001. Jadi setelah mati pun sekian puluh tahun, jasad orang komunis itu masih belum terterima di bumi Pancasila. Teror terus berlangsung sampai ke liang kubur. (Kutipan selesai). Selanjutnya silakan pembaca menelusuri sendiri lengkapknya resensi Dr Aswi Adam atas buku Ariel Heryanto, sbb: (Disiarkan a.l. oleh HKSIS, sbb: DR ASWI WARMAN ADAM, Sebuah Resensi atas buku Ariel Heryanto STATE TERRORISM AND POLITICAL IDENTITY IN INDONESIA: FATALLY BELONGING ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Ariel Heryanto, London: Routledge, 2006, 242 pg. Resensi ini dimuat pada majalah Tempo, edisi 3-9 April 2006 dengan beberapa perubahan. Buku ini dapat dijadikan model tentang keseimbangan antara teori-teori sosial mutakhir dengan analisis berbasis empiris untuk mengkaji sebuah peristiwa yang mengubah sejarah Indonesia kontemporer. TERORISME ORDE BARU Bila belakangan ini pembicaraan tentang terorisme didominasi unsur warga sipil dan kelompok non-negara, Ariel Heryanto, dosen senior pada Melbourne Institute of Asian Languages and Societies membalik wacana dengan menginvestigasi terorisme negara yang tidak kalah brutal dan massif dampaknya. Terorisme negara itu merupakan upaya menciptakan identitas negara-negara kontemporer melalui rekonstruksi subversi. Di Indonesia ini didukung Undang-Undang Subversi yang baru dihapuskan setelah Soeharto jatuh. Undang-Undang tersebut menjadi sarana untuk menciptakan masyarakat yang relatif "stabil" menurut keinginan penguasa. Tetapi itu tidak cukup, mekanisme lain juga dijalankan di antaranya dengan terorisme negara. Terorisme negara adalah serangkaian kampanye disponsori negara untuk menciptakan dan mengembangkan teror terhadap warga. Prosesnya berawal dari rasa ngeri di dalam masyarakat yang timbul karena kekerasan aparat negara dan kroninya terhadap pribadi atau kelompok tertentu. Korban itu (dianggap) mewakili kelompok yang lebih besar. Kekerasan itu sengaja dipamerkan dan disiarkan berulang-ulang untuk melestarikan rasa takut dan saling curiga. Selanjutnya masyarakat sendiri menyebarkan kisah horor itu yang kadang-kadang juga ditambah-tambahi yang pada gilirannya akan menakutkan mereka juga. Diakui bahwa konsep "negara" itu sendiri bermasalah. Ariel menggunakan pengertian Weber yaitu a system of authority that has legitimate monopoly over institutionalized violence in a given territorry. Ariel memodifikasi istilah ini dengan konsep neo Marxist mengenai hegemoni. Ia juga menambahkan aspek internasional, misalnya militer di Indonesia era Orde Baru yang mendapat dukungan AS. Berlawanan dengan sependapat yang diterima selama ini, ternyata terorisme negara tidak hanya terjadi pada negara komunis, sosialisme dan otoriter tetapi juga di negara yang menganut paham "demokrasi liberal" termasuk di Amerika Serikat terutama sejak tahun 1980-an. Meskipun terdapat di mana saja, yang berbeda adalah ruang lingkup, intensitas, lama dan gaya. Model Orde Baru Terorisme negara telah berlangsung selama era Orde Baru. Berbagai kelompok masyarakat telah menjadi korban seperti preman (kasus pembunuhan misterius tahun 1980-an) dan kelompok Islam (kasus Woyla, Tanjung Priok dan Talangsari). Namun terorisme yang paling lama dan paling intensif adalah teror terhadap mereka yang dianggap terlibat peristiwa 1965. Diawali dengan pembantaian setengah juta (menurut penulis buku ini sekitar satu juta) dan penahanan ratusan ribu orang lainnya, pencabutan paspor warga Indonesia di luar negeri pasca 1965, pembuangan ke pulau Buru (1969-1979), dilanjutkan dengan pemberian stigma terhadap korban 1965 dan keluarganya. Tahun 1981 dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang melarang mereka dan keluarga untuk menjadi PNS, anggota militer dan polisi dan jabatan strategis lainnya di masyarakat. Dendam sejarah diabadikan melalui film, pembuatan museum dan monumen dan pendidikan di sekolah. Pengambinghitaman PKI sebetulnya menjadi alat bagi elit penguasa militer dan pemerintah otoriter Orde Baru untuk melakukan represi terhadap politikus pembangkang, musuh potensial dan upaya untuk meletimasikan tanggungjawabnya terhadap pembunuhan masa lalu. Itulah sebabnya, tiga orang pemuda di Yogyakarta pada akhir tahun 1980-an dihukum dengan pidana subversi lebih dari lima tahun meskipun hanya menjual buku Pramoedya Ananta Toer, melakukan diskusi dan memiliki novel Iwan Simatupang, Merahnya Merah. Buku ini memperlihatkan penguasaan penulis terhadap teori mutakhir dan kemampuan analisis yang mendalam, sungguhpun terkesan ia sangat berhati-hati menarik kesimpulan. Paling sedikit ada dua aspek yang dapat didiskusikan lebih lanjut yaitu keterkaitan terorisme dengan dukungan kelompok masyarakat dan koneksi antara terorisme dengan kapitalisme. Untuk kasus 1965, terorisme negara itu tidak hanya dilakukan aparat tetapi juga didukung oleh kalangan Islam. Kelompok ini menjadi "pelaku" dalam peristiwa 1965 meski mereka juga menjadi "korban" dalam periode berikutnya. Akar konflik ini tentu bisa ditelusuri pada periode setelah Indonesia merdeka (peristiwa Madiun 1948, rivalitas politik dalam pemilu 1955, aksi sepihak PKI, dst). Di Aceh, Jenderal Ishak Juarsa meminta pendapat ulama setelah meletus G30S. Ulama Aceh mengeluarkan fatwa bahwa "aliran komunisme haram dan anggota partai ini kafir" (prasaran Tgk Abdullah Ujong Rimba, 1965). Fatwa senada juga dikeluarkan Muhammadiyah November 1965 (makalah Hasan Ambary, 2001). Wacana religius semacam ini yang menyebabkan penolakan terhadap jenasah korban 1965 untuk dimakamkan kembali di Temanggung, Jawa Tengah, Maret 2001. Jadi setelah mati pun sekian puluh tahun, jasad orang komunis itu masih belum terterima di bumi Pancasila. Teror terus berlangsung sampai ke liang kubur. Terorisme negara juga mendukung atau jadi tumbal bagi masuknya kapitalisme seperti tergambar dalam artikel Hilmar Farid, "Indonesia's original sin: mass killings and capitalist expansion, 1965-66". Pembantaian massal, penahanan, penjarahan rumah serta tanah penduduk dan pengebirian kelas pekerja merupakan bagian integral dari strategi ekonomi Orde Baru. Jadi kapitalisme Orde Baru lahir dan diawali dari pembantaian massal tahun 1965. (Dr Asvi Warman Adam, ahli peneliti utama LIPI)*** .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/