Jumat, 13 Januari 2006

Karya Pramoedya Jadi Sorotan
Beban Sejarah yang Tak Bermanfaat Harus Dilepaskan

Jakarta, Kompas - Saat pengarang Pramoedya Ananta Toer terbaring sakit, karya-karyanya jadi topik menarik dalam seminar tentang pengajaran bahasa dan dinamika budaya di Kampus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Kamis (12/1).

Karya-karya Pramoedya dinilai kaya dengan berbagai persoalan yang dapat menyadarkan manusia terhadap kedudukan mereka. Pramoedya juga sangat peka terhadap kekalahan bangsanya yang berpangkal dari kelemahan warisan bangsa sendiri.

Sebagai sastrawan yang mencintai kemanusiaan dan bangsanya, Pramoedya menegaskan perlunya suatu bangsa memiliki karya sastra yang dapat mengingatkan masyarakatnya pada keunggulan masa lampau. Karya- karyanya merupakan refleksi diri manusia Indonesia akan segala keunggulan dan kelemahannya, papar Koh Young Hun, pengkaji karya-karya Pramoedya dari Hankuk University of Foreign Studies (HUFS) Seoul.

Seminar hasil kerja sama FIB- UI dan HUFS itu menghadirkan lima narasumber dari masing- masing pihak. Di samping Koh, HUFS mengirim pembicara Byun Hae Cheol, Byungkuk Soh, Song Jeong Nam, dan Yoon Kyung Won. Adapun dari FIB-UI adalah Ibnu Wahyudi, I Ketut Surajaya, Letmiros, Lilysagita Tjahjadi, dan Siti Rohmah Soekarba.

Mengacu pada pendapat Pramoedya, Koh mengemukakan bahwa melepaskan beban sejarah yang tidak bermanfaat adalah salah satu jalan untuk memajukan bangsa yang pernah memiliki sejarah yang gemilang. Warisan budaya yang membebani itu, menurut Pramoedya, membawa penderitaan kultural yang berkepanjangan, ujar guru besar dan Ketua Jurusan Kajian Melayu-Indonesia HUFS itu.

Menurut Koh, penafsiran Pramoedya itu hendaknya diterima sebagai suatu tanggapan yang tersirat dalam hasil karya-karya sastra, tanpa prasangka.

Priayi Jawa

Koh mengungkapkan, tidak sedikit citra priayi yang buruk dalam novel-novel Pramoedya, karena Pramoedya menganggap ada golongan priayi yang tidak mematuhi nilai budaya mereka sendiri, misalnya sepi ing pamrih. Pramoedya menunjukkan sikap konflik antara dunia priayi yang feodal dengan tokoh-tokoh utama dalam karya-karya novelnya.

Bentrokan budaya ini berasal dari perselisihan persepsi tentang nilai kehidupan antara tokoh-tokoh utama dengan golongan priayi yang terikat dan berpegang teguh pada warisan budaya bangsa, yang dianggap Pramoedya sebagai salah satu hambatan utama kemajuan bangsa, tuturnya seraya menunjuk tokoh utama Minke dalam tetralogi Bumi Manusia yang dapat digolongkan sebagai priayi tetapi menolak feodalisme.

I Ketut Surajaya yang tampil bersama Byungkuk Soh dan Koh Young Hun, pada sesi pertama seminar, menerangkan bahwa dinamika budaya dipahami sebagai nilai-nilai dinamik yang senantiasa ber-interface dengan perubahan-perubahan nyata yang terjadi dalam masyarakat.

Kajian wilayah adalah seperangkat alat pendekatan akademik atas dinamika budaya, bahasa, sejarah, kebudayaan, susastra, pemikiran masyarakat, dan sebagainya, selain penggalian kandungan akademik, kata Surajaya. (LAM)



.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




SPONSORED LINKS
Indonesia Culture Chinese


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke