Karya Pramoedya Jadi Sorotan
Beban Sejarah yang Tak Bermanfaat Harus
Dilepaskan
Jakarta, Kompas - Saat pengarang Pramoedya Ananta Toer
terbaring sakit, karya-karyanya jadi topik menarik dalam seminar tentang
pengajaran bahasa dan dinamika budaya di Kampus Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia, Depok, Kamis (12/1).
Karya-karya Pramoedya dinilai kaya dengan berbagai
persoalan yang dapat menyadarkan manusia terhadap kedudukan mereka.
Pramoedya juga sangat peka terhadap kekalahan bangsanya yang berpangkal
dari kelemahan warisan bangsa sendiri.
Sebagai sastrawan yang mencintai kemanusiaan dan
bangsanya, Pramoedya menegaskan perlunya suatu bangsa memiliki karya
sastra yang dapat mengingatkan masyarakatnya pada keunggulan masa lampau.
Karya- karyanya merupakan refleksi diri manusia Indonesia akan segala
keunggulan dan kelemahannya, papar Koh Young Hun, pengkaji karya-karya
Pramoedya dari Hankuk University of Foreign Studies (HUFS)
Seoul.
Seminar hasil kerja sama FIB- UI dan HUFS itu menghadirkan
lima narasumber dari masing- masing pihak. Di samping Koh, HUFS mengirim
pembicara Byun Hae Cheol, Byungkuk Soh, Song Jeong Nam, dan Yoon Kyung
Won. Adapun dari FIB-UI adalah Ibnu Wahyudi, I Ketut Surajaya, Letmiros,
Lilysagita Tjahjadi, dan Siti Rohmah Soekarba.
Mengacu pada pendapat Pramoedya, Koh mengemukakan bahwa
melepaskan beban sejarah yang tidak bermanfaat adalah salah satu jalan
untuk memajukan bangsa yang pernah memiliki sejarah yang gemilang. Warisan
budaya yang membebani itu, menurut Pramoedya, membawa penderitaan kultural
yang berkepanjangan, ujar guru besar dan Ketua Jurusan Kajian
Melayu-Indonesia HUFS itu.
Menurut Koh, penafsiran Pramoedya itu hendaknya diterima
sebagai suatu tanggapan yang tersirat dalam hasil karya-karya sastra,
tanpa prasangka.
Priayi Jawa
Koh mengungkapkan, tidak sedikit citra priayi yang buruk
dalam novel-novel Pramoedya, karena Pramoedya menganggap ada golongan
priayi yang tidak mematuhi nilai budaya mereka sendiri, misalnya sepi ing
pamrih. Pramoedya menunjukkan sikap konflik antara dunia priayi yang
feodal dengan tokoh-tokoh utama dalam karya-karya novelnya.
Bentrokan budaya ini berasal dari perselisihan persepsi
tentang nilai kehidupan antara tokoh-tokoh utama dengan golongan priayi
yang terikat dan berpegang teguh pada warisan budaya bangsa, yang dianggap
Pramoedya sebagai salah satu hambatan utama kemajuan bangsa, tuturnya
seraya menunjuk tokoh utama Minke dalam tetralogi Bumi Manusia yang dapat
digolongkan sebagai priayi tetapi menolak feodalisme.
I Ketut Surajaya yang tampil bersama Byungkuk Soh dan Koh
Young Hun, pada sesi pertama seminar, menerangkan bahwa dinamika budaya
dipahami sebagai nilai-nilai dinamik yang senantiasa ber-interface dengan
perubahan-perubahan nyata yang terjadi dalam masyarakat.
Kajian wilayah adalah seperangkat alat pendekatan akademik
atas dinamika budaya, bahasa, sejarah, kebudayaan, susastra, pemikiran
masyarakat, dan sebagainya, selain penggalian kandungan akademik, kata
Surajaya.
(LAM)