MENGUBAH PECITRAAN NEGATIF  
oleh : Kenken

Setiap orang dan komunitas etnis suka tidak suka memperoleh sebentuk 
stereotyping sebagai identifikasi dirinya. Stereotyping itu dapat 
diperoleh lewat serangkaian habitus sehingga bangunan stereotyping 
itu bersifat alamiah. 

Dalam kasus stereotyping komunitas Tionghoa, proses itu lebih banyak 
dipengaruhi oleh langkah-langkah tersistematis dan terarah. 
Ironisnya, stereotyping terhadap komunitas Tionghoa itu pekat 
diwarnai oleh stigmatisasi negatif yang bersifat general. 

KOMPOSISI KOMUNITAS TIONGHOA

Para ahli sinologi seperti Thun Ju Lan, I. Wibowo, Melly G Tan dan 
penulis-penulis lepas seperti Rene L. Pattiradjawane, Andreas 
Susanto, Rizal Sukma dll berulang kali menggambarkan heterogenitas 
intern komunitas Tionghoa. Heterogenitas itu seputar kategorisasi sub-
etnis e.g. Hakka, Teochiu, Hokkian, dll. 

Kategorisasi itu disempurnakan dengan pembagian berdasarkan "wilayah 
asal Indonesia". Maka terciptalah sub-kategori kelompok seperti Cina 
Bangka, Cina Medan, Cina Benteng, Cina Jawa dsb (catatan: penggunaan 
istilah `Cina' dalam tulisan ini tidak berarti penulis mendukung 
penggunaan istilah tersebut).

Berlanjut dengan pembagian berdasarkan kategori agama yang dianut 
i.e. Kristen, Katolik, Islam, Budhis dan Konghucu. Dilengkapi dengan 
stratifikasi usia. Bahkan ruang pemukiman Tionghoa pun dikaji dengan 
teliti. 

Di samping itu, fakta partisipasi dan orientasi politik orang-orang 
Tionghoa pun sangat beragam. Bambang Sungkono pernah mengabdi sebagai 
bendahara DPP PKB. Kwik Kian Gie dikenal sebagai PDI Perjuangan 
tulen. Alvin Lie sampai saat ini masih diberi kepercayaan sebagai 
anggota legislatif fraksi PAN. Di samping tokoh-tokoh non-partisan 
seperti Arief Budiman, Ariel Heryanto dan pendiri Partai Politik 
seperti Nurdin Purnomo, Lius Sungkarisma, Frans Tsai, Handoko Yudha 
Prawira dll. 

Kategorisasi heterogenitas kelas sosial tampak tidak mendapat porsi 
yang cukup. Padahal, watak dan perilaku seseorang, apa pun golongan 
etnisnya, juga ditentukan oleh asal strata kelas sosial. 

Perilaku para putra raja minyak, apa pun etnisnya, akan identik. Pola 
kehidupan jetset golongan selebritis, apa pun etnisnya, tidak akan 
berbeda jauh. Demikian pula dengan pola pikir dan aktivitas kalangan 
aktivis pro-dem yang berasal dari kalangan sederhana, apa pun 
identitas etnisnya, juga akan identik. 

Dan ternyata Tionghoa terdiri dari tingkat strata sosial berlapis dan 
jauh dari kedudukan "ekonomi istimewa". Ia tetap terfragmentasi ke 
dalam lapisan-lapisan heterogenitas. 

Di balik seluruh heterogenitas itu, semua orang Tionghoa menghadapi 
satu permasalahan i.e. sentimen anti-Tionghoa dalam proses nation 
building Indonesia. Kerusuhan Mei 98, sampai batas tertentu, meminta 
korban sejumlah orang Tionghoa apa pun latar belakang sub-etnis, asal 
geografis, ruang pemukiman, agama dan strata kelas sosial. Berbagai 
praktek diskriminasi rasial hanya melihat kesatuan ras tanpa melirik 
pada heterogenitas sekuder faktuil lainnya. 

PROSES PERUBAHAN CITRA

I. Wibowo menganalisa bahwa terdapat praktek "tiga gugus" sebagai 
akibat `masalah cina' yaitu gugus "stigmatisasi", "marjinalisasi" 
dan "viktimisasi".  

Proses pencitraan (negatif) terhadap Tionghoa harus diakui 
beradaannya. Buku-buku yang membahas `masalah cina' sepanjang era 
Orde Baru sangat sedikit bercerita tentang segi positif komunitas 
Tionghoa. Maka terciptalah "stigma" bahwa Tionghoa itu ekslusif, 
tidak patriotik, anti-sosial, pemakan babi dsb.

Buku-buku itu mengutarakan keburukan orang Tionghoa tanpa basis 
analisa dan kajian yang jelas. Sedikitnya, berisi anjuran-anjuran 
asimilasi sebagai `obat mujarab' bagi penyakit ekslusifisme komunitas 
Tionghoa. Term `obat mujarab' secara implisit mengatakan bahwa 
Tionghoa itu sakit (baca: buruk). Dengan demikian sebuah `obat 
mujarab' diperlukan. Karena Tionghoa itu buruk maka sudah selayaknya 
Tionghoa di-"marjinal"-kan. 

Secara singkat, pecitraan negatif terhadap Tionghoa sebagian besar 
dilancarkan lewat media buku, desas-desus dan berbagai pemberitaan 
sepihak sebagai bentuk propaganda hitam. Muncullah sebuah keyakinan 
negatif terhadap Tionghoa. Dampak dan tingkat keberhasilan pencitraan 
itu cukup efektif. Kerusuhan Mei 98 yang pekat dengan motive rasialis 
anti-Tionghoa adalah titik kulminasinya. Dan gugus "viktimisasi" 
tercapai. 

Perubahan positif mulai terasa pasca reformasi. Terbitnya buku-buku 
karya I. Wibowo, Leo Suryadinata, Beni G Setiono, Siauw Tiong Djin 
dsb menjelaskan sejumlah sisi positif komunitas Tionghoa yang 
sebelumnya lepas dari pandangan. 

Artikel-artikel simpatik dari tokoh-tokoh pluralis seperti Gus Dur, 
Pramoedya Ananta Toer, Myra Sidharta, Anom Surya Putra, Arif Budiman, 
Alexander Irwan dsb jelas mampu membesarkan hati orang Tionghoa. 

Adanya ruang kebebasan berekspresi sangat membantu untuk menjelaskan 
masalah dengan sebenarnya; sebuah penjelasan bahwa komunitas Tionghoa 
pada hakekatnya tidak berbeda dengan komunitas etnis lain. Sehingga 
tak pantas untuk diekslusifkan dan didiskriminasi.  

PENUTUP

Penyelesaian "masalah Tionghoa" tak bisa terjadi hanya karena sebuah 
buku, pamflet atau sekumpulan puisi bersyair. Diperlukan kesadaran 
dan penerimaan bahwa memang terdapat `masalah' mengenai Tionghoa 
terkait dengan keberadaannya. Bukan keyakinan imaginatif bahwa 
Tionghoa adalah masalah. "dipermasalahkan" dan "menjadi sumber 
masalah" merupakan dua hal 
berbeda.                                                              
                                                                      
                                                                      
                                                                      
                                                                      
                                                                      
                                                                      
                                                                      
                                 

Karena proses pencitraan negatif itu telah berlangsung lama dan pada 
akhirnya citra itu telah tersolidifikasi menjadi sebuah "keyakinan 
umum" maka diperlukan sebuah upaya keras, berkesinambungan dan 
kesabaran tinggi untuk mengkomunikasikan citra positif komunitas 
Tionghoa. Secara singkat, perubahan membutuhkan teori, strategi, 
pengorganisasian, keringat dan kesabaran. Kerja kongkrit, sekecil apa 
pun itu. Seperti kata pepatah "1000 Li diawali oleh satu langkah 
kecil". Terutama adalah kesadaran bersama bahwa kita menghadapi 
persoalan bersama. 
 












------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Yahoo! Groups gets a make over. See the new email design.
http://us.click.yahoo.com/U0DZdC/lOaOAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke