MULTIKULTURALISME dan MASALAH TIONGHOA
oleh: Kenken*

Di tengah-tengah arus perubahan dunia berakselerasi tinggi,
masyarakat Tionghoa menghadapi dilema-dilema yang bersifat
primordial seputar masalah eksistensinya sebagai salah satu suku
dalam ke-Bangsa-an Indonesia, posisinya sebagai warga negara
Republik Indonesia, pengakuan sosial dan penghormatan terhadap
identitas ke-Tionghoa-an, relasinya dengan struktur politik nasional
sebagai super-struktur yang turut berpengaruh dalam menentukan opini
publik terhadap masyarakat Tionghoa dsb.

Seakan-akan, jargon "Masalah Tionghoa" tidak pernah usang sejak
sebelum revolusi 17 Agustus 1945. Silang pendapat dan kontra
argumentasi mewarnai persepsi berbagai kalangan mengenai "Masalah
Tionghoa" ini. Mulai dari opini yang meletakan masyarakat Tionghoa
sebagai faktor masalah yang dipermasalahkan sampai pada usaha-usaha
pengabaian dan penolakan terhadap adanya "Masalah Tionghoa" dengan
sikap acuh tak acuh. "Masalah Tionghoa" tampaknya telah terlalu
sering dibicarakan dalam seminar-seminar atau bahkan telah mengalami
proses politisasi oleh sejumlah tokoh/tukang seminar hingga membuat
Kwik Kian Gie berpendapat bahwa "ketegangan antara pri dan nonpri
cenderung didramatisir".

Terlepas benar-tidaknya pendapat Pak Kwik tersebut, faktanya
komunitas Tionghoa seringkali mengalami pengalaman-pengalaman pahit
yang membingungkan rasionalitas dan menggoyahkan keyakinan akan
keagungan prinsip humanisme. Paling tidak tercatat mulai tahun 1740
sampai dengan 13-15 Mei 1998, masyarakat Tionghoa diharuskan
menghadapi kenyataan-kenyataan pahit, dengan gradasi berbeda, yang
berkaitan dengan dan dipicu oleh semangat rasialis anti-Tionghoa.
Mulai dari dikeluarkannya kebijakan negara di bidang ekonomi seperti
PP-10 yang legendaris sampai sederet panjang catatan kerusuhan
rasialis anti-Tionghoa yang meminta korban jiwa.

Berbagai tawaran solusi pernah pula diberikan sebagai respon
dari "Masalah Tionghoa". Mulai dari sekedar anjuran sinis untuk
berasimilasi dengan golongan mayoritas (entah siapa yang dimaksud
dengan `golongan mayoritas' tersebut) sampai pada bentuk-bentuk
pemantauan militer seperti dibentuknya Staf Chusus Urusan Tjina
(SCUT) dan Badan Kordinasi Masalah Cina (BKMC). Bahkan langkah
drastis pernah diambil oleh Presiden Soeharto, atas anjuran
Kristoforus Sindhunata dan pengaruh dari SCUT, dengan mengeluarkan
Instruksi Presiden No. 14/1967 tentang pelarangan Agama, Kepercayaan
dan Adat Istiadat Cina.

Bahkan para pemimpin bangsa seperti Ir. Soekarno, Moh. Yamin, Siauw
Giok Tjhan dan Gus Dur tidak mampu mengakhiri fenomena "Masalah
Tionghoa" ini. Sehingga tampaknya kita memerlukan konstruksi
paradigma baru yang menyertakan seluruh elemen masyarakat untuk
secara bersama-sama membangun kesadaran akan hak-hak asazi,
demokrasi, hukum, humanisme, keadilan dan kesejahteraan bersama.
Atau paling tidak sebuah paham yang berpendapat bahwa di mana pun
tempat tinggalnya, setiap individu memiliki sejumlah kekuatan dasar
yang tak dapat dicabut oleh kekuatan politik mana pun. Sehingga
memungkinkan seluruh bangsa Indonesia, bukan hanya masyarakat
Tionghoa, untuk berada dalam sebuah era di mana gerakan hak asazi
manusia tidak lagi, meminjam kata-kata Geoffrey Robertson, "memohon-
mohon kepada tirani, menulis surat-surat dan mengirimkan misi-misi
untuk memohon agar penguasa tidak bertindak kejam dan melanggar hak
asazi manusia".

Hal ini terasa menjadi kebutuhan mendesak pada saat masyarakat dunia
berada dalam pergolakan dan pergeseran kebudayaan seperti saat ini.
Ketika modernisme tiba-tiba runtuh dan mati di sekeliling kita dan
kita diharuskan memasuki sebuah era baru. Beberapa ahli sosial telah
mencapai kesepekatan bahwa fenomena saat ini menandai berakhirnya
sebuah cara pandang "universal" yang menekankan konsep kesatuan dan
keseragaman (uniformity). Mereka mencoba menggantikan keseragaman
itu dengan sikap hormat kepada perbedaan dan penghargaan kepada yang
khusus (partikular dan lokal) didasari oleh kesadaran terhadap
keanekaragaman budaya di bumi ini. Dengan kata lain, mereka
memunculkan sebuah etos baru yang merupakan sebuah perceraian
radikal dengan pola pikir masa lalu.

Bagi Indonesia, jatuhnya rezim sentralisme-otokratik Soeharto
menandakan hilangnya "titik pusat" yang mengontrol segala sesuatu
untuk "menjadi seragam". Tidak ada lagi standar umum yang dipakai
mengukur, menilai atau mengevaluasi konsep-konsep dan gaya hidup
tertentu. Ketiadaan "titik pusat" ini mungkin setara dengan istilah
yang ditawarkan oleh Michel Foucault yaitu "heterotopia". Istilah
Foucault ini menggarisbawahi perubahan besar yang sedang kita alami
dan membuang jauh-jauh impian kosong tentang keteraturan yang
seragam. Ia menawarkan keanekaragaman yang tak terhitung
banyaknya, "multiverse, multi-etnik, multikultural" telah
menggantikan model "universal" yang monolitik.

Tentu saja, relativisme dan pluralisme bukanlah istilah baru. Tetapi
bagi Indonesia, menurut Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, tantangan
paling besar justeru pluralisme itu sendiri. Relatif Pluralisme
seringkali diterjemahkan oleh kaum modernis sebagai paham yang
bersifat individualistik: pilihan dan cita rasa pribadi diagung-
agungkan dengan motto "setiap orang berhak mengeluarkan pendapat"—
sesuatu yang dianggap sangat tabboo di masa pemerintahan Presiden
Soeharto yang memandang hak-hak asazi manusia adalah produk
liberalisme Barat yang asing terhadap "keperibadian Indonesia".

Tetapi karena seorang manusia selalu termasuk dan menjadi bagian
dari komunitas tertentu maka relatif pluralisme itu dapat diperluas
hingga menjadi pluralitas `komunitas-komunitas'. Sehingga kita pun
perlu mengembangkan pola pikir yang bukan hanya bersikap toleran
kepada kelompok lain tetapi juga menegaskan dan merayakan
keanekaragaman bahasa, keyakinan, budaya dan nilai-nilai tersendiri
yang hidup dalam komunitas masing-masing.

Mungkin, sudah saatnya kita lagi berpolemik tentang kebenaran
absolut dengan menyerahkan kebenaran itu dalam konteks komunitas
yang menyakininya. Kita tidak perlu lagi membuktikan diri benar dan
orang lain salah. Dan semoga Bhineka Tunggal Ika dapat benar-benar
kita hargai.


*Penulis adalah anggota Institute Multikulturalisme Indonesia








------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give at-risk students the materials they need to succeed at DonorsChoose.org!
http://us.click.yahoo.com/Ryu7JD/LpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




Kirim email ke