Pada tanggal 31 Agustus ini Malaysia akan merayakan 50 tahun 
kemerdekaannya dari Inggris yang disebutkan sebagai "Golden 
annivesary". Sebenarnya yang merdeka ketika   tahun 1957 itu baru 
semenanjung Malaya saja. Singapura, Sabah dan Serawak baru bergabung 
pada tahun 1963.

Menjelang peringatan perayaan 50 tahun kemerdekaan Malaysia ini, 
hubungan  antara Malaysia dan Indonesia  agak terganggu lagi 
dikarenakan insiden pemukulan  terhadap wasit olahraga karate 
Indonesia oleh polisi Malaysia, selain masalah TKI dan sengketa 
Sipadan serta Ligitan yang sempat  terjadi sebelumnya.

Malaysia memang kini  dapat berbangga dengan hasil pembangunannya, 
karena keberhasilannya dibidang ekonomi yang menjadikan  Malaysia 
menjadi  salah satu negara modern dan makmur  yang dinamis  di Asia 
dan bahkan di dunia dengan pertumbuhan sekitar 6 % setahun.

Dibidang olahragapun  Malaysia telah  dapat mengungguli Indonesia 
dalam perolehan medali emas baik  di Asian Games maupun SEA Games 
yang lalu.

Tetapi keberhasilan Malaysia ini tidak diiringi dengan keharmonisan 
hubungan antara mayoritas etnis  Melayu (bumiputra) yang merupakan  
60 % dari penduduk Malaysia  dengan etnis lainnya  yaitu  Tionghoa 
(25%) dan India (9%). Hubungan antara etnis Melayu dengan Tionghoa 
dan India  ini terpisah dan terpecah  berdasarkan  garis agama, ras 
dan golongan.

Golongan Tionghoa dan India  di Malaysia merasa diperlakukan sebagai 
warga negara kelas dua, karena  mereka merasa didiskriminasikan 
dibidang ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan  kepercayaannya.

Dibawah slogan "Malaysia Truly Asia"  dan `One Legacy. One Destiny" 
yang mengiklankan model keharmonisan hubungan antara etnis dan ras 
yang multi rasial  di Malaysia, tersembunyi ketegangan  antar etnis 
dibawah permukaannya.

Polarisasi  dan segregasi didalam tubuh  masyarakat Malaysia  
sekarang ini  dapat menimbulkan  resiko negatif  dan ancaman terhadap 
hubungan antara ras, pembangunan ekonomi dan  persatuan bangsa 
Malaysia (nation building) di masa depannya.

Latar belakang dari perpecahan ini dikarenakan oleh politik 
kebijaksanaan pemerintah Malaysia yang menjalankan "Kebijakan Ekonomi 
Baru" atau NEP (New Economic Policy)  sejak tahun 1971 sebagai bagian 
dari program"affirmative action" yang memprioritaskan dan berpihak 
kepada satu golongan etnis saja yaitu etnis Melayu atau Bumiputera.

Selain itu juga sikap yang  tidak toleran terhadap terhadap golongan 
yang non-Muslim dan  bertambahnya kegiatan Islam  konservativ  serta 
meluasnya ruang lingkup pengadilan syariah, menyebabkan  terjadinya 
ketegangan  etnis serta   ancaman atas  kebebasan beragama  lebih 
lanjut di dalam masyarakat yang multi rasial seperti di Malaysia 
(http://www.iht.com/articles/ap/2007/08/29/asia/AS-FEA-GEN-Malaysia-
Golden-Year.php)

Pemimpin UMNO (partai yang berkuasa)  mengatakan bahwa Malaysia 
adalah sebuah negara Islam dan Wakil Perdana Menteri Najib Razak 
dalam suatu konferensi pers  juga  mengatakan bahwa "Islam adalah 
agama resmi  dan kita  adalah sebuah negara Islam ("Islam is the 
official religion and we are an Islamic state"). 
(http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/IG28Ae01.html)

Dan  ironisnya Najib Razak ini diduga  kuat terlibat dengan 
pembunuhan seorang wanita  cantik Mongolia  (mayatnya dihancurkan 
dengan bom C4) yang menjadi kekasih gelap atau  terkait skandal sex 
dengannya, tetapi  karena Najib orang kuat, maka  dia rupanya tidak 
terjamah oleh hukum.

Pernyatan  Najib bahwa Malaysia sebagai sebuah negara Islam  telah 
menimbulkan protes  dan perdebatan dari berbagai lapisan masyarakat, 
baik dari yang  non-Muslim maupun dari  Muslim sendiri , karena dalam 
konstitusinya Malaysia dianggap  sebuah negara sekuler, yang  dasar 
hukumnya bukan berdasarkan hukum syariah.
(http://www.bangkokpost.com/breaking_news/breakingnews.php?id=121124)

Program Kebijaksanaan Ekonomi Baru   yang dijalankan selama 30 tahun  
itu memang memajukan etnis Melayu di dalam  hal kepemilikan, 
pendidikan dan ekonomi, terutama dari kelompok Bumiputera  tertentu 
yang dekat dengan pusat  kekuasaan,  tetapi   merugikan kelompok 
minoritas non-Bumiputera yang lain. 

Walaupun kebijaksanaan NEP ini telah mengangkat kelas menengah 
golongan Bumiputera, banyak kritikan yang dilontarkan ke arah 
kebijaksanaan yang diskriminatif ini, karena NEP ini telah 
menumbuhkan praktek korupsi, kronisme dan diskriminasi. Yang 
diuntungkan dengan NEP ini adalah golongan Melayu yang kaya dan dekat 
dengan pusat kekuasaan seperti UMNO (United Malays National 
Organization). 

UMNO sebagai partai yang berkuasa berkepentingan untuk tetap  
mempertahankan program NEP ini, karena takut kehilangan dukungan 
suara  dari golongan etnis Melayu yang telah menikmatinya  selama 30 
tahun. Bahkan UMNO memainkan isu rasial dan  mempolitikkan agama 
untuk tetap mempertahankan kekuasan dan kepentingannya (That racial 
divide has and continues to play into UMNO hands). 
http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/IG28Ae01.html

Seorang pemimpin pemuda  UMNO dan juga Menteri Pendidikan Malaysia 
Hishammuddin Hussein, dalam suatu pertemuan mengeluarkan Kerisnya dan 
mengancam  akan terjadi pertumpahan darah sekiranya  golongan 
Tionghoa dan India  masih mempertanyakan "supremasi " Melayu atau 
pernyataan bahwa Malaysia adalah sebuah negara sekuler.

Kebijaksanaan NEP ini juga  dikritik oleh EU (Europa Union) terutama 
politik yang hanya memberikan kepada  golongan Bumiputera dalam 
mengerjakan proyek-proyek  pemerintah. Hal ini terkait dengan rencana 
perundingan  FTA (Free Trade Agreement) antara Malaysia dengan EU.

Di Malaysia selain  diberlakukan  sistim kuota di sektor  pendidikan 
yang memprioritaskan golongan Bumiputera, di kawasan  industri  Johor 
Baru  berlaku  juga peraturan yang mempersyaratkan kepemilikan saham 
harus dimiliki oleh Bumiputera sebanyak  30%  kepada   industri yang 
akan membuka bisnisnya disana.

Karena posisinya termarjinal  maka sebagian  mulai   memikirkan untuk 
mencari negara baru  sebagai tempat tinggalnya. ("There is a growing 
number of Chinese and Indians who are starting to seek permanent 
residence in alternative countries"........"There  is a sense of 
insecurity in our citizenship, our right in this country which our 
parents and grandparents had fought to keep together. It's sad, but 
that's the situation now"). 
http://www.bangkokpost.com/breaking_news/breakingnews.php?id=121124

Ketua partai oposisi DAP (Democratic Action Party), Lim Kit Siang 
mengatakan  dalam wawancara dengan suratkabar "Sun" "Banyak orang 
yang mempertanyakan makna  dari 50 tahun peringatan kemerdekaan 
(Malaysia), dan apa artinya   bagi mereka kalau sekiranya mereka  
merasa tersingkir, terpecah dan terpolarisasi ("Many people are 
wondering what is the meaning of this 50th Merdeka annivesary if they 
are feeling more alienated, more divided and more polrized').

GH.





Kirim email ke