Lama tidak mengikuti diskusi di milis secara mendalam, baru hari ini 
saya mendalami topik "Kamp Konsentrasi Sujiatun" yang sedikit panas ini. 
Pertama, mendengar nama Sujiatun, mungkin langsung terpikir apakah ada 
hubungannya dengan kenalan orang Jawa di Klaten. Sujiatun itu mengikuti 
kaidah hanyu pinyin, kalau dilafalkan dengan lidah Indonesia, kira 
tulisan fonetiknya begini: Su-cia-thun. Harfiahnya berarti kampung 
keluarga Su (marganya Soe Hok Gie).

Pandangan saya mengenai peristiwa di kamp konsentrasi Sujiatun ini agak 
bias. Terkadang kita jangan cuma melihat pada permukaan permasalahan 
ini. Permukaan yang saya maksud tentu adalah tragedi kekejaman yang 
melanggar HAM, dengan pemerintah Tiongkok dituding di balik kekejaman 
ini. Jual beli organ tubuh di RRT itu adalah sesuatu yang dihalalkan, 
lain dibandingkan misalnya dengan Taiwan atau AS yang melarang jual beli 
organ tubuh dan cuma memperbolehkan transpalansi organ lewat donor 
sukarela. Lain negara, lain peraturannya, saya kurang tahu apakah di 
Indonesia boleh diperjual belikan secara bebas organ tubuh itu, namun 
setahu saya, di Indonesia walaupun menerima secara donor, tetap saja ada 
transaksi antara yang menerima dan yang menyumbangkan. Darah misalnya, 
saya masih ingat dulu sewaktu orang tua kecelakaan dan memerlukan darah 
dalam jumlah besar, tetap saja harus mengeluarkan beberapa ratus ribu 
rupiah untuk membeli darah dari sang donor melalui perantara pihak RS 
tentunya. Mengapa diambil contoh darah, tentu saja, karena darah itu 
dapat be-regenerasi, apakah ada orang hidup yang mau menjual jantungnya 
untuk pasien yang membutuhkan? Darah juga diperjualbelikan di RRT, ada 
sebuah desa yang mayoritas pendapatan penduduknya dari hasil menjual 
darah, sebulan sekali dengan pemasukan beberapa RMB dengan "mendonorkan" 
beberapa ratus cc darah mereka. Akibatnya, hampir seluruh penduduk desa 
tadi tertular virus HIV positif karena kondisi kesehatan yang minim 
sewaktu mendonorkan darah.

Kembali ke pasar organ tubuh di RRT, menurut statistik resmi kira2 ada 2 
juta pasien yang memerlukan transpalansi organ tubuh di RRT setiap 
tahunnya, dan organ yang tersedia hanya ada 20000. Hal yang sama 
sebenarnya juga ada di negara2 lainnya, seperti Jepang dan AS. Tak 
mendapat organ tubuh, pasien yang memerlukan tak akan dapat bertahan 
lama. Biasa, hukum ekonomi tentu juga merasuki pasaran ini, bila 
permintaan tinggi, harga akan melambung dan merupakan sebuah pasar yang 
menggiurkan bagi orang2 yang punya akses ke pasaran tadi.

Sampai di sini, masalah Sujiatun otomatis menjadi satu rantai dari 
pasaran organ ini, jadi masalah Sujiatun bukan hanya sebuah tragedi HAM 
kemanusiaan, namun juga menjadi satu titik tarik menarik antara HAM 
sekelompok pesakitan yang diambil organnya secara paksa dan sekelompok 
pasien lain yang menunggu kematian bila tak mendapat organ tubuh. Saya 
sebut pesakitan karena jelas Sujiatun hanya mengambil organ dari tubuh 
pesakitan yang terhukum, terlepas dari apakah hukum yang dilanggar oleh 
pesakitan tadi. Sujiatun tentu tidak sembarangan menculik orang2 yang 
lalu lalang di jalan kota Beijing tanpa sebab misalnya.

Kasus Sujiatun, saya kira sudah tidak usah diperdebatkan ada atau 
tidaknya, saya yakin peristiwa ini ada. Namun benar atau tidaknya info 
yang beredar di masyarakat harus ditanggapi secara skeptis. Mengapa saya 
berpendapat begitu?

Kementerian Luar Negeri Tiongkok minggu lalu telah mengakui bahwa memang 
ada pesakitan yang diambil organ tubuhnya di penjara2 di Tiongkok, namun 
hanya dalam jumlah kecil, juga ada beberapa syarat semisal harus 
merupakan terdakwa hukuman mati dan harus menyetujui donor organ tadi. 
Ini dapat dipercaya sebagian, karena bila seluruh terdakwa mati diambil 
organnya, tentu saja tidak boleh ada hukuman mati dengan senjata senapan 
(mayoritas hukuman mati di Tiongkok dengan cara ini). Senapan akan 
merusak organ vital seperti jantung, paru2, hati dan ginjal. Jadi dari 
sini, dapat disimpulkan bahwa tidak semua terdakwa mati diambil 
organnya. Yang saya ragukan itu, adalah pengakuan "dalam jumlah kecil". 
Seberapa kecil? Tak ada yang tahu. Lalu, walaupun Kementerian LN tidak 
langsung mengakui ada peristiwa seperti ini di Sujiatun, namun saya 
anggap ini sudah merupakan pengakuan tidak langsung. Kementerian 
Kesehatan RRT juga berencana melarang jual beli organ tubuh tahun ini, 
namun saya kira ini tak ada gunanya, karena pasaran organ tubuh ini 
malah akan menjadi tak terkontrol karena tenggelam sebagai pasar gelap. 
Harga organ akan semakin tinggi dan sulit didapat.

Namun, apakah kita langsung harus mempercayai informasi dari Epoch 
Times? Bagi yang melek sejarah Tiongkok secara objektif, Epoch Times 
sudah terkenal suka membesar2kan "dosa" PKT. Objektif menurut saya 
adalah membandingkan beberapa versi sejarah dari sumber2 berbeda. Banyak 
yang tahu KMT itu "musuh politik" PKT, namun tetap saja tidak ada 
sejarah yang terlalu berlebihan bila bicara mengenai sepak terjang PKT 
di Tiongkok. "9 Dosa Besar PKT" itu juga tak populer di Taiwan, karena 
ada bagian2 yang dibesar2kan. Epoch Times memang menyajikan banyak 
artikel bermutu, namun kalau sudah bicara tentang PKT, tiba2 saja mereka 
akan kehilangan objektivitas. Masa ada berita batu besar berusia jutaan 
tahun ditemukan dengan karakter Tionghoa "PKT akan musnah" dapat 
dijadikan dongengan berita yang memperkuat keyakinan mereka bahwa PKT 
akan runtuh beberapa tahun lagi? Batunya boleh berusia jutaan tahun, 
namun karakter Tionghoa itu umurnya baru 3400 tahun, lagipula tata cara 
penulisan karakter di batu tadi baru dikenal puluhan tahun lalu, soalnya 
memakai karakter sederhana yang baru ada sejak tahun 1950-an akhir. Yah, 
saya tidak mungkin mempercayainya, namun ini sangat manjur dan merupakan 
suntikan semangat bagi para pengikut FLG yang benci setengah mati sama 
PKT. Masih banyak contoh2 lainnya yang absurd menurut penalaran saya. 
Sederhananya, Epoch Times tiba2 bisa berubah wujud menjadi "koran 
mistis" bila membahas topik yang ada kaitannya dengan PKT.

Dari sini, saya sendiri berpendirian untuk tidak sepenuhnya menyetujui 
dan mempercayai berita dari 2 belah pihak. Pertama dari pihak Kemlu RRT, 
masalah jumlah kecil. Kalau tanya masalah statistik resmi di RRT, banyak 
yang tidak sepenuhnya benar. Kedua dari pihak Epoch Times, yang menyeret 
peristiwa Sujiatun ini menjadi masalah penindasan FLG. Jumlah 6000 
anggota FLG itu juga saya ragukan. Sujiatun bukan hanya menampung 
anggota2 FLG, saya tidak setuju Epoch Times memberitakan seakan2 hanya 
anggota FLG yang dapat diambil organnya secara paksa, menjadikan FLG 
sebagai korban terbesar di peristiwa ini. Anggota FLG memang ada, namun 
saya yakin hanya sebagian dari para pesakitan yang menjadi korban. Jadi, 
sebaik apapun niat pemberitaan ini, saya tetap saja tidak menyetujui 
politisir peristiwa seakan2 korbannya hanya FLG tok.

Demikian dulu dari saya.


Rinto Jiang



.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke