http://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=326669
Senin, 18 Feb 2008,
Karena Anwar Ibrahim atau Gesekan Politik Etnis?

Herdi Sahrasad 

Pemilu Malaysia yang Dipercepat 
Pada 8 Maret nanti, Malaysia akan mengadakan pemilu. Jadwal dipercepat karena 
pemerintah menghadapi banyak masalah. Pemilu ke-12 di Malaysia itu diikuti 10,9 
juta pemilih, termasuk 700.000 pemilih baru di antara 26 juta penduduk. Seluruh 
partai politik akan memperebutkan 222 kursi parlemen dan 505 kursi DUN (DPRD), 
kecuali di Sarawak. Sejak kemerdekaan pada 1957, koalisi Barisan Nasional 
selalu memenangi pemilu.

Dalam pemilu itu, akan bertanding dua kubu, yakni Barisan Nasional (BN) yang 
dimotori UMNO (United Malaysia National Organization), MCA (Malaysian Chinese 
Association), dan MIC (Malaysian Indian Congress) melawan Barisan Alternatif 
yang dimotori PKR (Partai Keadilan Rakyat), PAS (Pan Malaysian Islamic Party 
atau Partai Islam se-Malaysia), dan DAP (Democratic Action Party)

Tapi, BN dan media massa pro pemerintah selalu memberikan label kepada oposisi 
sebagai pembangkang, sedangkan oposisi memilih nama barisannya sebagai Barisan 
Alternatif.

Parpol yang menjadi motor di BN adalah partai yang keanggotaannya berdasarkan 
ras, seperti ras Melayu, Tionghoa, dan India. Sedangkan di barisan alternatif 
hanya PAS yang merupakan partai ras, yakni partai Islam. 

Sedangkan PKR dan DAP merupakan parpol multiras. 
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Malaysia Abdul Rashid Abdul Rahman 
menyatakan, pengumuman para kandidat wakil rakyat pada 24 Februari. 
Selanjutnya, kandidat bisa memulai kampanye pemilihan secara resmi untuk 
memperebutkan 222 kursi parlemen.

Mencegah Anwar Berpolitik 

Para akademisi dan aktivis UMNO di Kuala Lumpur dalam surat elektroniknya 
kepada saya mengakui, PM Malaysia dan Barisan Nasional (koalisi parpol yang 
dimotori UMNO, MCA, dan MIC) sengaja mempercepat pemilu paling lambat Maret 
2008. Alasannya, untuk mencegah Anwar Ibrahim ambil bagian. Alasan itu merujuk 
pada tokoh oposisi Anwar Ibrahim, mantan wakil PM Malaysia dan mantan wakil 
presiden UMNO, yang segera bisa berpolitik April 2008. 

Anwar Ibrahim dibebaskan dari penjara ketika Datuk Abdulah Badawi menjabat 
perdana menteri. Tapi, pengadilan memutuskan dia dilarang berpolitik hingga 
Maret 2008. Itulah sebabnya, banyak pihak yang menduga bahwa keputusan 
pemerintah Malaysia mempercepat pemilu 8 Maret itu untuk menutup peluang Anwar 
Ibrahim ikut bersaing dalam pemilu. 

Ada juga pandangan aktivis UMNO bahwa pemilu Malaysia sengaja dipercepat karena 
banyaknya masalah yang dihadapi pemerintah. Yang utama, maraknya perselisihan 
berbasis etnis. Misalnya, perselisihan antaretnis muslim Melayu dengan etnis 
minoritas Tionghoa dan India. 

Perselisihan itu merebak karena etnis minoritas tidak puas terhadap 
pemerintahan yang didominasi politisi etnis Melayu. 

Memang, dalam beberapa bulan terakhir, pemerintahan Datuk Seri Abdullah Ahmad 
Badawi diwarnai berbagai aksi demonstrasi. Pemicunya, tuntutan reformasi 
terhadap pemilu, anggapan diskriminasi dari etnis India, serta melambungnya 
harga bahan bakar dan makanan. 

Meski demikian, Badawi tetap optimistis bahwa pemerintahannya dapat memperoleh 
kemenangan mutlak di Negara Bagian Kelantan. "Tetap ada harapan untuk menang. 
Itu pasti. Kami punya dukungan kuat di wilayah itu," katanya belum lama ini.

Para analis menilai, kebijakan Badawi menghelat pemilu lebih awal itu sebagai 
antisipasi melonjaknya harga barang menyusul dicabutnya subsidi bahan bakar. 

Kritik serupa dilontarkan tokoh oposisi yang juga mantan Wakil PM Malaysia 
Anwar Ibrahim yang kini bermukim di Hongkong. Pak Lah -sapaan akrab Badawi- 
dinilai Anwar sangat kerepotan. Apalagi, dukungan terhadap Pak Lah terus 
menurun. 

Malaysia begitu terpukul oleh kenaikan harga barang, tindak kriminal yang 
menjadi-jadi, korupsi di berbagai tempat, dan ketegangan antaretnis. "Semakin 
lama Barisan Nasional menangguhkan pemilu mereka bisa semakin kehilangan banyak 
dukungan dalam pemilu," kata Anwar.

Masa empat tahun pemerintahan Badawi cukup menjemukan, mengecewakan, dan 
diwarnai banyak kegagalan. Sejak memenangi Pemilu 2004, koalisi yang dipimpin 
Badawi mendapatkan 90 persen dukungan di parlemen. 

Tapi, pemerintahan Badawi tak henti menuai berbagai kritik pedas. Di antaranya, 
dia dianggap lemah dan tidak bisa mewujudkan janji yang diucapkan saat 
kampanye, yaitu memberantas korupsi dari bumi Malaysia di bidang bisnis maupun 
politik. 

Hingga kini, konfigurasi hubungan sosial di Malaysia yang bersifat pluralis 
masih terasa kurang harmonis karena persoalan ketimpangan kemajuan ekonomi. 

Data statistik yang dipaparkan Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) 
mengungkapkan, sejak kerusuhan etnis 1969, disusul berlakunya New Economic 
Policy (NEP) untuk memberdayakan ekonomi puak Melayu, penghasilan warga etnis 
Tionghoa rata-rata dua kali lebih besar ketimbang pendapatan warga Melayu. 
Etnis Tionghoa hingga 2008 tetap mendominasi dua per tiga kegiatan bisnis meski 
puak Melayu mencakup 60 persen dari total 26 juta penduduk negeri itu. Etnis 
Melayu hanya menguasai 11,7 persen kegiatan bisnis, sedangkan etnis Tionghoa 71 
persen. 

Bahkan, pada 2005, Malaysia mencatat kesenjangan paling tajam di Asia Tenggara 
di belakang Indonesia dan Thailand. Mengikuti ukuran nisbah Gini (Gini 
coefficient), ukuran yang digunakan untuk mengukur ketidakmerataan pendapatan, 
Malaysia berada pada 0,47. Becermin pada data Bank Dunia, jurang pendapatan 
individu di Malaysia adalah kedua paling buruk di Asia. 

Paparan itu tidaklah dimaksudkan untuk menggelisahkan etnis Tionghoa yang 
meliputi 25 persen penduduk, atau keturunan India yang mencakup 10 persen 
penduduk. Pembelahan etnis di Malaysia dinilai analis jauh lebih tajam dan 
mengkhawatirkan dibandingkan dengan di Indonesia. 

Gerakan politik etnis oleh etnis India dan Tionghoa dalam bentuk protes dan 
demo makin menegaskan betapa politik etnis di Malaysia kian tajam karena kurang 
terakomodasi ke dalam sistem politik. Di sini, revitalisasi "politik inklusif" 
harus dilakukan Badawi kepada kaum minoritas India dan Tionghoa untuk meredakan 
suhu politik antaretnis yang membelah Malaysia itu agar "arang tidak menjadi 
abu".


Herdi Sahrasad, associate director Media Institute dan Pusat Studi Islam dan 
Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina 


Problematika Perbatasan Indonesia-Malaysia
KOMPAS - Senin, 18 Februari 2008 | 01:20 WIB 
Wahyu Susilo

Sepekan ini, kabar adanya rekruitmen warga negara Indonesia menjadi anggota 
pasukan paramiliter Malaysia (Askar Wataniah) di perbatasan Indonesia-Malaysia 
kawasan Kalimantan bergulir dan menjadi komoditas politik.

Tulisan ini sekadar mengungkap realitas tersembunyi (disembunyikan) seputar 
masalah perbatasan Indonesia-Malaysia, terutama di Kalimantan. Ini akan menjadi 
penjelas, mengapa kabar Askar Wataniah bergulir.

Akhir-akhir ini, masalah perbatasan antarnegara menjadi perhatian publik 
internasional saat masalah kejahatan transnasional dianggap sebagai ancaman 
serius. Salah satu kawasan yang dianggap rentan karena suburnya sindikat 
kejahatan transnasional adalah kawasan perbatasan di Asia Tenggara, baik di 
darat maupun perairan. Keseriusan (atau kecemasan) global ini dipicu serangan 
11 September 2001 dan kebijakan penangkalnya dalam war against terrorism regime.

Masalah kesejarahan

Merunut ke belakang, masalah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan 
menyisakan persoalan historis dan berakibat hingga kini. Perbatasan Kalimantan 
merupakan kawasan konflik saat Soekarno melancarkan konfrontasi mengganyang 
Malaysia. Ribuan pasukan reguler dan paramiliter dikerahkan untuk menyokong 
politik konfrontasi itu.

Namun, ketika pendulum politik bergeser seiring kejatuhan Soekarno, para 
relawan yang merupakan elemen pendukung politik konfrontasi dikorbankan menjadi 
political dissident sebagai tumbal kemesraan hubungan politik serumpun 
Indonesia-Malaysia (Iwan Santosa, 2008).

Dengan klaim kawasan perbatasan harus disterilkan dari pengaruh political 
dissident yang dituding berhaluan komunis, pengelolaan perbatasan jadi tanggung 
jawab militer Indonesia. Dari sinilah militer terlibat bisnis pengelolaan 
kawasan hutan.

Pada tahun 1967, Menteri Pertahanan dan Keamanan menetapkan hak pengusahaan 
hutan kepada Jajasan Maju Kerja (PT Jamaker), sebuah yayasan yang didirikan 
ABRI. Yayasan ini mengelola hutan 843.500 ha di Kalimantan Barat dan 265.000 ha 
di Kalimantan Timur.

Kenikmatan dalam mengelola hutan membuat lupa akan tugas utama menjaga 
kedaulatan negara di perbatasan. Secara fisik, postur pertahanan di kawasan 
perbatasan yang diwujudkan dalam pos militer perbatasan amat memprihatinkan. 
Ini amat kontras dengan pertahanan kawasan perbatasan Malaysia yang secara 
fisik amat memadai. Kontrasnya kondisi pos pertahanan antara Indonesia dan 
Malaysia dapat ditemui di kawasan perbatasan Long Bawan dan Pulau Sebatik. 
Jadi, tidak mengherankan jika Indonesia selalu tergagap-gagap dalam merespons 
manuver Tentara Diraja Malaysia dalam sengketa Blok Ambalat.

Memang, penjagaan kawasan perbatasan bukan satu-satunya jalan untuk 
mempertahankan kedaulatan negara. Yang tak boleh dilupakan adalah 
menyejahterakan masyarakat di kawasan perbatasan karena merekalah pemangku 
utama kawasan perbatasan. Berdasarkan studi pencapaian MDGs kawasan perbatasan 
yang dilakukan INFID dan sebuah NGO di Kalimantan sepanjang 2007, ditemukan 
fakta bahwa mayoritas masyarakat di kawasan perbatasan Kalimantan ada di bawah 
garis kemiskinan.

Tidak mengada-ada

Dalam identifikasi Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, wilayah 
sepanjang perbatasan masuk kategori kabupaten tertinggal. Jurang kemakmuran 
amat lebar jika dibandingkan tingkat kesejahteraan masyarakat di negara 
tetangga. Karena itu, pesona kemakmuran di seberang perbatasan membuat WNI di 
kawasan perbatasan harus menyeberang untuk mengadu nasib. Maka, spekulasi 
masuknya warga negara Indonesia menjadi pasukan paramiliter Askar Wataniah 
karena alasan ekonomi tidak mengada-ada.

Realitas kawasan perbatasan Kalimantan yang rentan dan pertahanan yang rapuh 
menyuburkan bisnis-bisnis ilegal yang terkait kejahatan transnasional, misalnya 
illegal logging, perdagangan perempuan, dan pengerahan buruh migran tak 
berdokumen (undocumented migrant workers).

Ironinya, banyak perkebunan swasta dan BUMN Malaysia memanfaatkan buruh migran 
Indonesia tak berdokumen yang diselundupkan lewat jalur-jalur tikus yang 
jumlahnya ratusan di sepanjang perbatasan Kalimantan (Investigasi Migrant CARE, 
2004-2005). Kajian Sidney Jones (ICG) mengindikasikan, kawasan perairan Laut 
Sulawesi atas yang membatasi Indonesia, Malaysia, dan Filipina adalah pasar 
gelap senjata dan amunisi untuk konflik di Ambon, Poso, dan Moro (Filipina 
Selatan).

Dengan menelisik kompleksnya masalah di perbatasan Indonesia-Malaysia, kabar 
rekruitmen warga Indonesia menjadi paramiliter Askar Wataniah tidak harus 
ditanggapi secara reaksioner dan menjadi komoditas politik, tetapi harus 
menjadi pembelajaran dari kegagalan kita mengelola perbatasan. Masalah 
perbatasan bukan hanya masalah menjaga, tetapi juga menyejahterakan masyarakat 
pemangku perbatasan.

Wahyu Susilo Pengkaji Masalah Perbatasan; Bekerja di INFID; Analis Kebijakan di 
Migrant CARE


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to