Kompas, Jumat, 03 Februari 2006 
  Refleksi di Tapal Batas Agama 
  Tahun-tahun belakangan ini semangat pluralisme agama di Tanah Air banyak 
diuji. Yang terpenting untuk dikenang, kita mampu melewati semua itu. Ke depan, 
keberlangsungan pluralisme agama tampaknya banyak ditentukan kemampuan menggali 
apa yang oleh Hick disebut family resemblances (kemiripan-kemiripan keluarga).
  Kita hidup dalam ruang dan waktu yang membuat relasi dengan sesama, alam, dan 
Tuhan menjadi relatif. Disadari atau tidak, keterbatasan ini membuat manusia 
menjadi boundary maker (pembuat batas). Ketika seseorang menyebut dirinya 
Muslim, Kristen, Katolik, Hindu, atau Buddha, ia menunjukkan batas dirinya yang 
perlu dibedakan dari pemeluk-pemeluk agama lain.
  Bila batas ini direnungkan lebih jauh, terbuka dua kemungkinan untuk memahami 
eksklusivitas dan inklusivitas agama. Mereka yang bisa menerima perbedaan 
menganggap batas keagamaannya sebagai batas yang fleksibel, bisa ditembus, dan 
terbuka untuk perluasan (permeable boundary). Sebaliknya, mereka yang menolak 
perbedaan menganggap batas keagamaannya sebagai batas yang kaku, tidak bisa 
ditembus, dan tertutup rapat (impermeable boundary).
  Eksoteris dan esoteris
  Refleksi di atas semakin tajam bila diajukan pertanyaan: Apakah agama secara 
intrinsik menyebabkan perbedaan itu? Jawabannya bersyarat: ”Ya”, bila kita 
menerima bahwa nilai-nilai agama bisa mengalir dari dua sumber, yaitu 
eksoteris/dogmatis dan esoteris/eksperiensial.
  Pandangan eksoteris/dogmatis menekankan dimensi luar (exo-) yang rasional dan 
obyektif sehingga berorientasi pada aturan-aturan keagamaan, dogma, dan 
interpretasi atas dogma. Sebaliknya, pandangan esoteris/eksperiensial 
menekankan dimensi dalam atau batin (eso-) yang intuitif dan subyektif sehingga 
berorientasi pada pengalaman dan praktik pribadi.
  Pembicaraan yang bernuansa eksoteris-dogmatis sangat mungkin menyebabkan 
kepala dan hati menjadi panas. Masing-masing pihak pulang sambil menjaga 
”kestabilan suhu panas” di pikiran mereka. Ini wajar karena adanya dinamika 
winner-looser (pemenang-pecundang).
  Dalam dialog esoteris-eksperiensial, masing-masing pihak hanya membagikan 
pengalaman mendekatkan diri dengan Yang Ilahi. Syarat dialog ini amat 
sederhana. Pendengar cukup menjiwai perannya sebagai pendengar yang baik. 
Masing-masing pengalaman diterima sebagai valid dan benar.
  Dialog antaragama semestinya sensitif dengan dua kecenderungan ini. Jika 
tidak, dialog akan mudah bergeser menjadi diskusi yang sarat dengan perdebatan 
intelektual. Sentralitas makna dialog terletak pada komunikasi hati ke hati. 
Karena itu, dialog antaragama adalah bertukar pengalaman di antara Homines 
religiosi (makhluk-makhluk religius).
  Bila ini diterapkan, relasi antaragama berarti pemerkayaan spiritual 
(spritual enrichment). William Johnston mengatakan, ”We found that dialogue 
based on theology and philosophy did not achieve much; but when we talked from 
experience we suddenly discovered how closely united we really were.”
  Fenomenologi pluralisme
  Dialog antaragama selalu perlu didasarkan pada pengalaman religius. Kita 
sering terlalu sibuk dengan konsep dan pemikiran pribadi kita tentang penganut 
agama lain. Proses mental ini sering kali memburamkan pandangan kita akan 
saripati pengalaman religius itu sendiri.
  Menyadari keterbatasan manusiawi ini, ada baiknya mendengarkan seruan pendiri 
fenomenologi, Edmund Husserl, ”Zurück zu den Sachen selbst (Kembali ke 
fakta-fakta itu sendiri)!” Artinya, prasangka dan prapenilaian terhadap agama 
lain perlu dikurung terlebih dulu (eingeklammert). Dengan begitu, kita bisa 
melihat lebih jernih fakta-fakta yang ada dalam dunia pengalaman (lebenswelt) 
orang lain.
  Bagaimana dengan nuansa subyektifnya? Itu bukan masalah, bahkan harus 
dihargai. Manusia pada dasarnya subyektif dalam pengertian bahwa dunia 
pengalamannya selalu menyertai persepsinya terhadap realitas. Semua 
subyektivitas itu pada akhirnya bisa dicek kebenarannya secara intersubyektif.
  Mari melihat sekilas pengalaman ini. Masing-masing agama secara berbeda 
merumuskan tahap-tahap kejiwaan dalam berelasi dengan Yang Transenden atau 
Tuhan.
  Huston Smith merangkumnya sebagai berikut: dalam Islam, pergerakan bermula 
dari jism (jasmani) ke nafs (nafsu) ke ruh (roh) ke qalb/fitrah (kalbu/fitrah); 
dalam Kristen, dari body (badan) ke psyche (psike) ke soul (jiwa) ke spirit 
(roh); dalam Buddha dari lima skandha ke gross mind (pikiran kasar) ke subtle 
mind (pikiran halus) ke Buddha nature (Buddha dalam setiap orang); dalam Hindu 
dari gross body (badan kasar) ke subtle body (badan halus) ke causal body 
(badan kausal) ke atman (diri terdalam).
  Tidak hanya itu, praktiknya pun tampil berbeda. Kita mengenal zikir dalam 
Islam, kontemplasi dalam Kristen, meditasi Zen atau Ch’an dalam Buddhisme, dan 
Yoga dalam Hinduisme.
  Bagaimanapun, proses dan akhir perjalanan spiritual ini punya kemiripan. 
Masing-masing butuh penarikan diri dari kesibukan pikiran dan keterikatan 
dengan dunia untuk selanjutnya masuk dalam kekusyukan lewat konsentrasi 
mendalam.
  Puncak perjalanan spiritual ini adalah pengalaman mistis yang dilaporkan 
banyak mistikus yang berbeda agama, seperti Jalaluddin Rumi, Sakyamuni, Theresa 
dari Avila, atau Sankara. Pengalaman menggetarkan dan mencengangkan (tremendum 
et fascinosum) ini, menurut William James, bercirikan: waktu yang singkat, tak 
terekspresikan dalam kata-kata, perasaan melayang-layang karena sentuhan ilahi, 
penyatuan dengan segala sesuatu, pengetahuan akan diri sesungguhnya, dan 
pemahaman akan kebenaran terdalam.
  ”Bhinneka Tunggal Ika”
  Pengalaman mistis memang eksklusif pada segelintir orang karena tuntutan 
kedisiplinan dan ketelatenan yang keras dalam kurun waktu yang lama. Ini jelas 
agak bertentangan dengan masyarakat kita yang semakin pragmatis dan serba 
instan. Perbedaan ini bisa diatasi dengan mentransfer kebijaksanaan mistikus ke 
skema kognitif masyarakat yang menjadi kelompok mayoritas. Dalam kaitan ini, 
para pemuka agama adalah jembatan yang sangat baik.
  Di kalangan awam, psikologi transpersonal sudah menangkap pentingnya transfer 
itu bagi kesehatan dan kesejahteraan psikologis individu dan masyarakat. Para 
psikolog transpersonal percaya, setiap orang bisa belajar dan menarik manfaat 
dari kebijaksanaan yang dialirkan para sufi, santo/santa, jivanmukta, atau 
bodhisattva.
  Oleh karena itu, gerakan pluralisme agama di Indonesia perlu disikapi sebagai 
niat baik untuk mengurung perdebatan dogmatis sembari berusaha menghanyutkan 
diri ke muara yang menjadi esensi dari hubungan intim antara manusia dan Yang 
Tak Berhingga.
  Pertanyaan akhir, apakah dogma harus disingkirkan? Tentu saja tidak. Dogma 
adalah petunjuk dan panduan yang tak terlepaskan dari dunia pengalaman religius.
  Perjalanan apa pun selalu membutuhkan petunjuk atau panduan. Secara dogmatis 
kita berbeda, secara eksperiensial kita satu.
  Inilah makna religius dari Bhinneka Tunggal Ika sekaligus pesan universal 
yang ingin disampaikan para mistikus, seperti Ibn Arabi ketika ia berpendapat, 
semua agama—baik yang tergolong samawi maupun nonsamawi—tidak memiliki 
perbedaan.
  Mengapa? Karena semua pemeluk agama menyembah Tuhan yang satu, yang muncul 
dalam keberagaman mereka dan keberagaman sesembahan mereka.
  Masih diperlukan sinergi, kerja lebih keras, dan semangat optimistis untuk 
membawa pesan keberagaman ini dari otak ke hati dan dari hati ke otak. Paling 
tidak, tahun yang baru ini bisa dijadikan babak baru untuk melihat bahwa 
perbedaan itu indah untuk dijalani, seperti indahnya keberagaman bunga di satu 
taman.
  YF La kahija
Pengajar pada Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro
   



                        
---------------------------------
 Yahoo! Mail - Helps protect you from nasty viruses.

[Non-text portions of this message have been removed]






.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke