Ada dua atau mungkin lebih pendapat soal apa yang di-beberkan dalam tulisan dibawah ini , yakni ber-business di Indonesia termasuk yang diwarnai dan pasti warna  per-korup-an melekat lengket.

Pendapat pertama yalah yang terurai dalam pendapat/sikap dibawah ini. Apakah penulis seorang pencemong Indonesia? Apa2 di cemong mengkaitkan bahwa ber-kiprah di Indonesia itu selalu harus dibarengi oleh rasa yang tidak sedap sebagai faktor yang harus sama2 ditelan untuk mewujutkan hasil.

Pendapat yang kedua yang ber-nada nasionalis dan ber-basis moral yakni kita harus mulai dari diri kita untuk memperbaiki keadaan amburadul a.l. dalam ber-business di Indonesia. Misale,ini contoh: kalau mau ngurus misale SIM jangan main short cut, alias nyuap. Jalani prosedurnya. Kalau kena tilang dijalanan, tantang itu pak pul untuk membawa kita ke pengadilan. Jangan diajak damai pak pul ini!

Jadi layaknya, apakah benar kalau kita harus punya sikap: berani melawan arus yakni jangan mau me-nyuap pejabat atau pegawai yang punya wewenang! Celakanya bagaimana tuh pak pul yang kerja dilapngan kalau diperhitungkan gajihnya yang tidak memadai, buat hidup 2 minggu saja mungkin tidak cukup. 

Celaka duabelasnya yalah pemegang atau dunia business itu tidak punya banyak waktu. Time is money!  Misale kita ketangkap pak pul lantas kita diajukan ke pengadilan belum tentu kita dapat solusi yang memadai. Misale atas suatu pelanggaran hukumnya kena denda Rp 15 ribu. Kita datang ke pengadilan tapi harus tunggu 1/2 hari. Belum lagi misale kita kena kemplangan lebih dari Rp 15 ribu karena misale hakimnya tahu ada loop-holenya untuk mem-persulit allias memeras pelanggar...wah bisa ber-abe urusannya. Mau nerusin "jalan lurus" mesti nyewa pengacara. Wah achirnya pengacara sama hakim kongkalikong memeras kita. Achirnya kita.....ketiban apa yang dinamakan ...double whammy!

Dalam alinea terachir dianjurkan untuk meniru cara ala S'pore yakni membuang pejabat yang korup. Walah walah ,..lah berapa pejabat yang harus kita tendang keluar....segedubrak....tahu2 kita hidup di-alam yang ngak ada pejabatnya, karena semua pejabat ya +/- semuanya korup. Kan negara lebih ungovernable alias semua orang bisa bertindak free for all! Syuuuusah gimana nih ya?.

Cara "mencemong" melulu , albeit ada alasan yang kredibel, ....mau jadi nasionalis sejati emoh menyuap karena ini merusak keadaan ,....ya achirulkalam dua2nya tidak mempan menghadapi negara yang segedubrak malingnya! Simple as that!

Harry Adinegara 



Sulitnya Berbisnis di Indonesia


ADA prinsip yang tidak beradab, tetapi dengan bangganya diterapkan di negeri ini, yaitu jika bisa dipersulit, mengapa dipermudah?

Akibatnya, yang lurus dibuat bengkok. Yang sederhana dibikin ruwet. Yang seharusnya selesai sehari, menjadi seminggu, sebulan, bahkan setahun. Sengaja diulur-ulur, sehingga membuka peluang untuk sogok, suap, dan pelicin.

Dengan prinsip itu, tidak ada urusan yang prosedurnya sederhana, pelayanannya cepat, ongkosnya murah, dan hasilnya memuaskan. Kalau mau hasil yang cepat dan memuaskan, satu-satunya jalan melalui pintu belakang. Urusan itu dijadikan transaksi di bawah meja, yang berarti harus membayar lebih mahal lagi.

Dengan cara mempersulit itulah para birokrat mengeruk rezeki. Pungutan liar itu dilakukan sangat telanjang, terang-terangan, tanpa tedheng aling-aling. Bahkan, di banyak instansi, praktik kotor itu tidak lagi dianggap sebagai penyimpangan dan aib. Uang haram itu justru dinilai sebagai 'uang terima kasih', yang dianggap wajar diminta dan diterima karena telah memberi pelayanan. Semakin cepat dan memuaskan pelayanan yang diberikan, semakin pantas pula mendapatkan 'uang terima kasih' yang semakin besar.

Karena itu, sama sekali tidak mengejutkan, hasil survei yang menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat bawah dalam kemudahan berbisnis. Dari 155 negara yang disurvei International Finance Corporation dan Bank Dunia, Indonesia menempati urutan ke-115. Posisi itu tertinggal jauh jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand yang menempati daftar 30 negara teratas.

Sebagai gambaran, untuk mengurus lisensi bisnis di Indonesia diperlukan 570 hari dan 34 prosedur, Malaysia butuh 300 hari dan 31 prosedur, sedangkan Singapura hanya 69 hari dengan 23 prosedur. Selisih yang luar biasa, yaitu urusan di Malaysia sembilan bulan lebih cepat. Membandingkannya dengan Singapura lebih memalukan lagi, karena di sana lebih cepat 16 bulan!

Lebih celaka lagi, selain mengurus lisensi bisnis lebih lama, perusahaan di Indonesia membayar pajak dari keuntungan kotor lebih mahal jika dibandingkan dengan perusahaan di Malaysia dan Thailand.

Jelas sekali negeri ini tidak probisnis. Masalahnya terang benderang. Solusinya pun sebenarnya gamblang. Yaitu, pangkas prosedur yang berbelit-belit, tiru saja Singapura, serta buang aparat yang mempersulit urusan yang mudah dari jajaran birokrasi.
Gamblang, tetapi memerlukan keberanian ekstra dari yang berkuasa.

[Non-text portions of this message have been removed]


Send instant messages to your online friends http://au.messenger.yahoo.com

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke