Ada sedikit cerita dari teman saya di Surabaya. Agak OOT tapi masih nyambung mengenai kebudayaan Tionghua. Silakan menyimak
Regards Petrus Gunadi Omas -----Original Message----- From: Herry S.W. @ milis [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Monday, January 16, 2006 7:59 PM To: [EMAIL PROTECTED] Subject: Banknya Bank Neraka, Ponselnya Motorola, Operatornya Sambungan Kilat Pergantian tahun kali ini saya lalui dengan aktivitas yang lain daripada biasanya. Ketika sebagian orang lebih suka turun ke jalan, ketika sebagian orang lain lebih suka mengikuti perayaan di hotel atau tempat umum yang menyajikan tontonan khusus, saya justru melewatkannya di sebuah tempat umum yang kondisinya berbeda 180 derajat. Detik terakhir 2005 dan detik pertama 2006 saya rasakan di sebuah tempat yang jauh dari hiruk-pikuk. Di sana tak ada suara klakson mobil dan sepeda motor. Tak ada pula musik yang dimainkan oleh pemutar digital atau live band. Tepat di pergantian tahun, tidak seorang pun yang meniupkan terompet. Seandainya saat itu ada yang meniupkan terompet, dia bisa jadi dianggap aneh, tidak waras, bahkan dicibir. Sebab, pergantian tahun kali ini saya jalani di tempat persemayaman jenazah Adi Jasa di kawasan Demak, Surabaya. Dua hari usai Natal, nenek saya meninggal dalam usia 96 tahun. Jasad ibu dari nyaris selusin anak itu dimakamkan tepat pada tahun baru. Ada berbagai hal menarik dalam proses persemayaman dan pemakaman nenek saya itu, yang sempat terekam dalam memori saya. Sebagian terkait budaya, sebagian terkait makanan, dan sebagian lagi gadget. Ada pula pantauan tak kalah menarik dari prosesi yang dijalankan oleh "tetangga sebelah" di tempat persemayaman jenazah terbesar di Kota Pahlawan itu. * MERAH, PUTIH, DAN MERAH PUTIH Merah berarti berani, putih berarti suci. Begitu hal yang diajarkan guru saya di sekolah dasar. Di kemudian hari, saya mendapatkan makna baru dua warna itu. Merah bisa dimaknai bersemangat dan gembira. Sedangkan putih menyerah atau berkabung. Dua warna itu seolah menjadi warna resmi di tempat persemayaman jenazah Adi Jasa di Jl Demak 92, Surabaya. Sedikit pengenalan untuk rekan yang tidak berdomisili di Kota Pahlawan, bangunan utama Adi Jasa berupa dua lingkaran besar yang masing-masing disekat menjadi 16 ruangan dengan dinding pemisah portabel. Lingkaran pertama terdiri atas ruang nomor 0-16, tanpa punya nomor 13 yang dianggap angka sial. Sedangkan lingkaran kedua, yang lebih baru, terdiri atas ruangan nomor 17-32. Di ruangan-ruangan itulah jenazah almarhum-almarhumah disemayamkan. Tentu saja raga tanpa nyawa itu diletakkan di dalam peti mati. Satu keluarga yang berduka minimal menyewa satu ruangan. Karena tamu yang ingin memberikan penghormatan terakhir kadang tak bisa ditampung dalam satu ruangan, tak jarang keluarga yang berduka menyewa dua ruangan atau lebih. Di sekeliling ruangan lazimnya dipasang kain semacam korden. Kebanyakan memasang warna putih sebagai tanda berduka. Namun, yang dipasang di ruangan tempat nenek saya disemayamkan justru berwarna merah. "Mengapa?" tanya saya kepada beberapa saudara. Pertanyaan penasaran itu saya lontarkan pula kepada petugas jasa layanan kematian yang memberikan one stop service ala event organiser. Ternyata warna merah sengaja dipilih karena Ama, begitu saya bisa memanggil nenek saya itu, telah berumur lebih dari 80 tahun ketika meninggal dunia. Kalau yang meninggal masih muda, kain putih-lah yang dipakai. Tetapi, kain putih bukan berarti sama sekali tidak dipakai. Anak, menantu, dan saya sebagai cucu tetap wajib mengenakan pakaian putih-putih sebagai tanda berkabung. Aturan itu berlaku lebih ketat untuk anak maupun menantunya. Sedangkan untuk cucu dan cicit, sedikit lebih longgar. Misalnya, boleh sedikit bermotif alias tak harus putih polos. Perhiasan emas dilarang keras dipakai. Penggunaan emas yang mengilap diyakini akan membuat roh yang meninggal kesulitan menuju alam baka. Perjalanannya bakal terhambat dan tak kunjung sampai ke nirwana. Khusus pada hari terakhir sebelum pemakaman dan saat pemakaman, dress code diperketat. Pakaian atas bawah harus putih polos sebagai tanda berkabung. Sesaat setelah peti mati dimasukkan ke liang lahat dan para anak, menantu, cucu, cicit, serta kerabat melakukan tabur tanah dan bunga, dress code kembali berubah. Pakaian putih-putih berganti menjadi merah-putih. Jadilah saya dan para saudara siang itu ibarat "bendera" berjalan. "Tinggal ditambah tali dan tiang, kita siap dikerek nih," gurau saya ke beberapa saudara. * MAHAL MANA: PETI MATI ATAU RUMAH SEDERHANA? Terus terang saya sempat terheran-heran ketika mama saya menginformasikan bahwa harga peti mati yang digunakan berharga Rp 140 juta. "Wah... sudah bisa dibuat beli rumah secara cash. Nggak perlu pakai KPR," ujar saya kepada adik saya. Peti mati atau yang oleh petugas jasa pemakaman disebut siupan itu berbobot sekitar setengah ton. Ia konon terbuat dari kayu jati gelondongan yang tengahnya dilubangi. BTW, ada yang bisa menjelaskan perbedaan antara peti mati dan siupan? Pemahaman saya selama ini, peti mati adalah nama generik. Peti mati yang berbentuk seperti gelondongan disebut siupan. CMIIW. Saya semakin terkesiap ketika mengetahui bahwa peti mati (selanjutnya saya sebut peti saja, red.) itu bukanlah yang terbaik atau termahal. Masih ada yang lebih premium. Harganya Rp 200 juta! Menurut kepercayaan Tionghoa yang masih dianut oleh saudara-saudara mama saya, peti yang dipilih idealnya yang tahan lama. Dalam arti, kayunya kuat, tak mudah lapuk, dan tak mudah bocor. Simbolisasi yang muncul, bila peti bocor dan hujan turun, jasad yang di dalam peti akan basah. Berarti pula, roh yang sejatinya telah berada di alam baka akan basah kuyup. Jadi, sedapat mungkin dipilih peti yang kokoh, meski harus berupaya keras mencari dana tambahan untuk membelinya. Sesuai tradisi, biaya pembelian peti ditanggung bersama oleh anak laki-laki almarhumah. Karena mama saya tentu saja bukan laki-laki, ia tak turut campur dalam proses pembayaran siupan tersebut. * BALIK KANAN..... GRAK! Seingat saya, saya terakhir kali mengikuti latihan baris-berbaris saat masih duduk di SMA, lebih dari 10 tahun silam. Akhir tahun lalu, selama proses persemayaman dan pemakaman nenek saya, kenangan lama itu kembali muncul. Bedanya, kali ini instrukturnya bukan guru. Bukan pula tentara atau marinir yang sengaja disewa untuk melatih. Pemberi aba-aba dalam "latihan" kali ini adalah penata acara dari perusahaan jasa pemakaman yang terlihat amat memahami budaya Tionghoa. Dalam berbagai kesempatan, mulai persiapan masuknya jenazah ke peti, penutupan peti, pengangkutan peti, hingga pemakaman. Dengan suara lantang, ia memberikan komando balik kanan atau hadap kiri-kanan pada momen-momen yang krusial dan dipercaya bisa mendatangkan kesialan. Misalnya, saat peti bergerak dari ruang persemayaman ke mobil pengangkut jenazah dan ketika menuju liang lahat. Mengikuti berbagai aturan yang dijalankan itu, tiba-tiba muncul ide di benak saya. Seandainya ada lembaga pendidikan yang membuka jurusan tata-cara pemakaman mungkin laris juga ya. Kurikulumnya seputar tradisi pemakaman menurut agama atau keturunan tertentu. Trus, diberikan pula materi psikologi, konseling, dan pendampingan atas keluarga yang berduka. Dengan materi seperti itu, minimal bisa jadi program pendidikan setara diploma 2. :) * DI NERAKA ADA BANK Tahukah Anda kalau di neraka ada bank? Saya juga baru tahu. Meski, belum pernah membuktikannya sendiri. Sesuai tradisi, almarhum-almarhumah akan diberikan bekal rumah lengkap dengan perabotannya, kendaraan, pembantu, lantakan emas, dan gebokan uang. Benda-benda yang seluruhnya terbuat dari kertas itu dikirimkan bukan via FedEx atau Tiki, melainkan dengan cara dibakar. Rumah untuk bekal itu dibuat dengan cukup presisi. Ranjang, sofa, meja rias, lemari, dan perabot lain dibuat dengan skala yang tidak asal-asalan. Di ruang tamu ada sofa, TV plasma layar lebar, dan perangkat home theatre. Kamar mandinya dilengkapi bath tub segala. Di atap terpasang antena parabola. Sama dengan di bumi, antena parabola itu menghadap ke atas. Entahlah, apakah di atas langit sana masih ada langit lain yang dijadikan tempat lewat siaran TV. :) Bila ternyata tidak ada, seharusnya antena parabola itu dihadapkan ke bumi. Kendaraan yang dikirimkan sepeda motor yang desainnya mirip sebuah sepeda motor bermerek terkenal. Ada mobil Mercy lengkap dengan pengemudi bernama Bejo. Lalu, ada pesawat terbang yang berulang kali saya intip namun tak terlihat pilotnya. Kendaraan tradisional beroda tiga, becak, tak lupa disertakan. Terakhir, tandu seperti yang seringkali dijumpai di film silat. Hal kecil namun tak boleh dilupakan, telinga seluruh pemikul tandu, pesuruh di rumah kertas, maupun pengemudi kendaraan harus dilubangi menggunakan jarum. Di dada mereka juga harus dituliskan nama. Tanpa dua hal itu, mereka akan tuli dan terkirim ke alam baka tanpa nama. Seluruh barang yang dikirimkan juga harus ditempeli foto orang yang meninggal. Filosofinya, agar barang tersebut setiba di tempat tujuan tidak menjadi barang tak bertuan. Satu hal menarik lagi, di lembaran uang yang dikirimkan tertulis penerbitnya adalah The Hell Bank Corporation. Tentu sejak semula saya tak pernah berpikir kalau yang tercetak di sana adalah Bank Indonesia. Namun, kenyataan bahwa yang tertulis adalah Bank Neraka sungguh mengherankan. Mengapa bukan The Heaven Bank Corporation atau The Nirvana Bank Corporation? * PONSEL MOTOROLA, OPERATOR SAMBUNGAN KILAT Barangkali karena teknologi makin maju, orang yang meninggal pun perlu dibekali aneka perangkat teknologi. Yang sempat saya lihat di antaranya TV layar lebar dan VCD player. Yang sedikit kuno ada mesin jahit elektrik bermerek Singer. Yang paling menarik perhatian saya adalah disediakannya sebuah ponsel. Sepintas melihat tampilan fisiknya, saya mengidentifikasi ponsel itu adalah Motorola E365 yang kali pertama beredar di Indonesia beberapa tahun silam. Tampilan fisiknya lagi-lagi bukan asal-asalkan. Dimensi fisiknya boleh dibilang sama dengan ponsel asli yang berlayar warna, bernada dering 16 polynote, dan dilengkapi kamera terintegrasi itu. Sebagai pelengkap, disertakan sebuah kartu SIM dengan nama operator beraksara China/Mandarin. Adik dan seorang saudara saya yang iseng menanyakannya ke saudara lain yang memahami aksara China. Ternyata, deretan karakter yang seringkali saya sebut "bahasa dewa" karena saya tak mampu membacanya itu bermakna Sambungan Kilat. * KETIKA DUKA MENJADI LAKSANA SUKA Saya yakin siapa pun takkan memungkiri kalau ditinggal orang tercinta akan berbuah duka. Tetapi, tentu saja kita tak boleh lantas terlarut dalam duka. Tamu yang memberikan penghormatan terakhir kepada keluarga kita yang meninggal, baik saat di tempat persemayaman maupun pemakaman, patut dihargai. Barangkali berpijak pada dua hal itu, mulai terjadi "inovasi". Setelah pemakaman tuntas, para pelayat diajak makan bersama di sebuah restoran. Menurut petugas EO pemakaman, hal ini telah semakin lazim dilakukan oleh keluarga yang berduka. Hal serupa seingat saya sudah menjadi kebiasaan di beberapa negara. Saya lupa di negara mana saja dan sejak kapan, namun yang pasti pernah dijadikan bahan diskusi di milis Jalansutra. "Inovasi" baru itu saya amati dilakukan pula oleh "tetangga" di Adi Jasa. Keluarga itu menyewa empat ruangan sekaligus. Ruangan tersebut lantas ditutupi dengan kain putih. Beberapa pita hijau sengaja diatur berjuntai. Bila di ruang lain, termasuk di ruang nenek saya, kursi yang digunakan sekadar kursi lipat, yang terjadi di empat ruangan itu sungguh berbeda. Setiap kursi disarungi kain putih dan diikat dengan pita hijau. Mirip sekali dengan kursi yang kita jumpai dalam pesta pernikahan di hotel berbintang. Bedanya, kalau di pesta pernikahan digunakan pita berwarna merah atau merah muda, kali ini dipakai pita hijau. Seluruh meja beralaskan taplak berwarna senada. Seluruh lantai dilapisi karpet. Dan... agar tamu tak kegerahan, didatangkan AC-AC portabel berukuran besar yang dipasang di beberapa sudut ruangan. Diam seribu bahasa di tempat persemayaman jenazah tentu tak nyaman. Karena itu, di atas meja diletakkan rak-rak kecil seperti yang lazim digunakan dalam parsel. Di bagian atas ada berbagai buah segar. Sedangkan di bagian bawah ada beberapa makanan ringan bermerek tertentu. Semua disiapkan untuk tamu yang turut berbela sungkawa. Di bagian tengah ruangan disajikan "makanan berat" prasmanan yang bisa dinikmati tamu. Beberapa petugas dari sebuah katering siap melayani. Di tengah ruangan itu pula, kata seorang saudara saya, ada taman yang tertata apik. Di luar ruangan yang berpenyejuk udara itu ada banyak sekali karangan buka. Ditambah dengan yang dipasang di dinding sekitar lahan parkir, saya yakin jumlahnya lebih dari 200 buah. Pengirimnya bukan orang sembarangan. Ada yang dari jenderal tertentu, pejabat pemerintah tertentu, dan banyak lagi. Walaupun mayoritas berdesain konvensional, ada pula yang telah modern. Beberapa di antaranya berupa banner yang biasa digunakan untuk berpromosi di mal, yang pembuatannya lazim dilakukan oleh biro iklan atau minimal percetakan digital. Belakangan saya baru tahu, almarhum di ruangan tersebut adalah salah satu tokoh Tionghoa di Surabaya. Beliau sekaligus ayah dari pemilik sebuah produsen kacang kulit di Pati. Saya yakin, sebagian di antara Anda sudah bisa menebak nama perusahaan tersebut. Mengingat status dan banyaknya relasi almarhum, tampaknya wajar kalau keluarga almarhum sampai harus menyiapkan sarana khusus, yang bagi sebagian orang mungkin sudah layak disebut pesta. Salam, Herry SW .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/