http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/18/tanahair/1866433.htm
 

Orang Darat yang Tersisih dari Keriuhan Batam

Oleh: B Josie Susilo Hardianto

”Oman telah meninggal,” ucap Egoi, warga Kelurahan Mongga, Pulau Rempang, Batam. Berita tentang kematian selalu menyedihkan meskipun yang meninggal tidak selalu memiliki kaitan kekerabatan dengan kita.

Oman adalah warga suku asli Pulau Rempang-Galang yang oleh umumnya masyarakat di kawasan itu dipanggil dengan sebutan suku Hutan. Oman meninggal karena sakit kuning. ”Semua obat dari akar tumbuhan sudah tidak lagi mampu menolongnya,” tutur Lamat ipar Oman.

Obat menteri pun, begitu mereka menyebut obat-obatan dari puskesmas, tidak mempan melawan penyakit yang diderita Oman. Berita kematian Oman tentu menyedihkan bagi keluarganya. Namun, yang lebih menyedihkan, tanpa disadari berita kematian Oman itu seakan menandai pula tentang punahnya cara berpikir dan bersikap sebuah komunitas masyarakat asli setempat.

Dalam komunitas suku asli Rempang bila seorang anggota keluarga meninggal dunia, maka mereka harus meninggalkan tempat itu dan berpindah ke daerah lain. Mereka mempunyai kepercayaan bahwa tempat jenazah disemayamkan harus ditinggalkan sejauh perjalanan dari saat dikubur hingga matahari terbenam supaya terhindar dari gangguan rohnya. Bahkan, menurut tradisi lama, jenazah itu harus ditinggalkan begitu saja di gubuk tempat ia meninggal.

Ketakutan kepada roh orang yang telah mati itu menjadi salah satu sebab mereka hidup secara nomaden. Namun, cara hidup berpindah-pindah itu saat ini sudah tidak lagi dapat mereka lakukan. ”Sejak banyak hutan dibuka untuk perkebunan dan banyak orang baru datang, kami tidak lagi dapat berpindah,” ungkap Kosot, seorang warga suku Hutan.

Ia menyatakan, kebiasaan mereka dulu yang selalu berpindah-pindah, baik karena cara mereka berkeyakinan dan cara mereka menghidupi diri, yaitu mendekati sumber-sumber makanan dan mata pencaharian, sudah tidak lagi berlaku.

”Mencari kayu sekarang sulit, mencari daun pandan untuk atap juga sudah sangat sulit. Mau pindah karena ada yang meninggal pun sudah tidak mungkin lagi. Sudah tidak ada hutan lagi. Semua menjadi milik orang kota. Hutan tempat leluhur kami dulu berpindah-pindah sudah dibuka untuk kebun dan ladang milik orang kota,” ungkap Kosot.

Padahal, dulu hutan di seantero Pulau Rempang dan Galang adalah halaman tempat mereka tinggal. Dari semua itu yang tersisa saat ini adalah sisa restlement (pemukiman ulang) tahun 1974 yang dihuni oleh keluarga Kosot. Warga suku yang lain tinggal di rumah-rumah gubuk yang sungguh sangat sederhana, bahkan nyaris tidak lebih baik dari kandang ayam.

Gubuk yang mereka bangun itu terbuat dari cabang-cabang pohon yang ditutup dengan sisa lembaran karet mentah atau kain perca. Tanpa penerangan sama sekali, tak ada perabot lain selain alat masak berupa belanga dan panci.

Pandai menghilang

Untuk mencapai permukiman komunitas suku yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Kota Batam itu bukan mudah, tetapi juga tidak sulit. Tidak mudah karena bagi siapa pun yang hendak bertemu dengan komunitas mereka sebaiknya mengajak orang yang telah dikenal baik oleh suku tersebut.

”Jika tidak, begitu mendengar langkah kaki kita saja mereka sudah lari ke dalam hutan dan kita akan kesulitan untuk menemukannya kembali,” tutur Den, warga Kelurahan Cate, yang siang itu mengantar menemui komunitas suku Hutan yang tinggal di Sungai Tiang, Rempang.

Bagi warga sekitar tempat tinggal di sekitar hutan di Pulau Rempang, suku Hutan memiliki kelebihan dan kemampuan untuk menyelinap dan menghilang di balik rerimbunan pohon.

”Bahkan kami pun percaya mereka mampu bersembunyi di balik sebatang ranting yang besarnya sama dengan jari telunjuk. Lari mereka sangat cepat,” tutur Den menambahkan.

Alm R Hamzah Yunus, mantan Kepala Seksi Kebudayaan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Riau, mencatat: Istilah suku Hutan merupakan panggilan sehari-hari orang kampung yang tinggal di sekitar komunitas mereka.

Menurut Hamzah, istilah itu tidak tepat. Menurut dia, yang tepat adalah Orang Asli atau Orang Darat sebagaimana disebutkan oleh peneliti lain seperti Muhamad Apan (1937), W Shols (1939), dan P Wink (1930) dalam laporan dan buku-buku yang mereka tulis. Dengan cara yang lebih positif mereka menyebut dengan istilah Orang Darat.

Terancam kepunahan

Suku Hutan atau Orang Darat yang saat ini tinggal di perkampungan Sungai Sadap merupakan bagian dari komunitas yang dulu pernah direlokasi oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau pada tahun 1974. Kala itu ditampung tiga kepala keluarga dengan jumlah mencapai 20 orang. Langkah itu diambil sebagai salah program memasyarakatkan suku terasing. Prakarsa itu diambil guna menyelamatkan keberadaan suku itu dari kepunahan.

Ketakutan itu berawal dari makin menyusutnya jumlah komunitas Orang Darat itu dari 402 jiwa pada tahun 1926 menjadi hanya 57 jiwa pada tahun 1962. Pada tahun 1974 jumlahnya makin menyusut hingga hanya sebanyak 19 jiwa. Saat ini jumlah mereka hanya tinggal empat kepala keluarga dengan jumlah anggota 13 jiwa. Terdiri dari lima orang perempuan dan delapan laki-laki.

Mereka semua berkerabat dekat karena itu nyaris tidak mungkin untuk melakukan pernikahan. Apalagi dari lima perempuan yang ada, satu orang telah berusia 70 tahun lebih, dua orang berusia 30 tahun dan telah bersuami, seorang gadis belia, dan seorang bayi. Dua orang bujang yang masih tersisa pun telah berusia lebih dari 30 tahun.

”Mereka sudah sulit untuk berkembang karena mereka semua sedarah. Dulu ada beberapa anak tetapi juga meninggal sebelum besar,” tutur Den, warga Cate yang pernah tinggal bersama dengan komunitas suku hutan itu.

Padahal, dulu mereka banyak tersebar di Pulau Galang dan Sembulang bahkan di Batam. Namun, cara hidup yang sejak dulu memencilkan diri dari pergaulan dengan penduduk biasa membuat mereka sulit mengembangkan diri.

Tingkat kebudayaan mereka masih sangat rendah dan hidup berpindah-pindah di hutan-hutan belukar. Mereka hidup dengan cara meramu, mengumpulkan bahan makanan dari hutan dan hasil buruan.

Setelah Perang Dunia II, ketika Pulau Galang dan Pulau Rempang digunakan sebagai tempat pengumpulan bala tentara Jepang yang kalah perang, lokasi komunitas Orang Darat hanya bisa ditemui di Pulau Rempang. Proses kepunahan Orang Darat pun sangat cepat karena deraan penyakit, kelaparan, dan kehilangan daya tahan. Mereka yang saat ini masih bermukim di Sungai Dadap adalah sisa-sisa dari satu suku yang dulu hidup tersebar cukup luas di Rempang dan Galang.

Mereka yang masih tersisa itu pun harus berjuang untuk hidup di tengah impitan daya dukung hidup yang makin menyempit.

Agaknya perlu pendekatan baru agar mereka yang masih hidup dapat kembali menemukan harapan. Setidaknya keberadaan mereka tetap terjaga. Kematian sebuah suku adalah sebuah kehilangan besar dari catatan panjang sebuah sejarah peradaban.

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around
http://mail.yahoo.com

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke