Bagi yang  kepingin tahu ,setelah mendapat input dari  pelbagai sumber, ada 
baiknya lukisan yang digambarkan oleh Prof.Ben Anderson dari Cornell University 
 yang menelaah peristiwa apa yang dinamakan Gestapu-PKI(phrasing propagandanya 
Orba), kiranya akan mendapat pandangan baru sebagai "studi banding" dan bisa 
lebih siap apabila nanti, dikemudian hari ada penuntasan soal peristiwa 
berdarah September 65.

Sudah 40 tahun sekarang misteri peristiwa September 65 ini belum mendapatkan 
tempat sebenarnya yang jujur dalam perkembangan sejarah Indonesia.

 

Wawancara Prof B.Anderson dengan Radio Nederland ini sangat menarik bagi 
pelaku2 dalam peristiwa September 65. Dari strata horizontal seperti Pres. 
Soekarno, mentri2nya , juga DN Aidit, militer dan bahkan parpol2 seperti NU, 
Muhammadyiah dan pelaku2 individuil yang bisa dikatakan mewakili golongan 
Katolik, Protestan, sedikit banyak diuangkap dalam wawancara ini.

 

Aku ada referensi yang patut diketahui yalah kiprahnya Harrytjan Silalahi di 
TimTim yang mendapat backing-an dari Jendral Benny Murdani. Buku ini ditulis 
oleh pengamat asing juga. Coba nanti aku cari dan akan aku tulis nama bukunya 
dan halaman berapa soal individu ini waktu membangun business di TimTim.

 

 

Subject: PENENTANG PERTAMA PERISTIWA G30S VERSI SOEHARTO



WARTA BERITA RADIO NEDERLAND WERELDOMROEP
Edisi: Bahasa Indonesia

Ikhtisar berita disusun berdasarkan berita-berita yang disiarkan oleh
Radio Nederland Wereldomroep selama 24 jam terakhir.

---------------------------------------------------------------------

Edisi ini diterbitkan pada:

Senin 26 September 2005 14:00 UTC* CORNELL PAPER: 
PENENTANG PERTAMA PERISTIWA G30S VERSI SOEHARTO

Intro: Hari Jum'at 30 September mendatang, tepat 40 tahun lalu terjadi peristiwa
G30S yang mengubah sejarah Indonesia. Dalam rangka mengenangnya pada Gema Warta
edisi pagi Selasa sampai Jum'at mendatang bisa diikuti berbagai wawancara 
mengenai
peristiwa penting itu. Selasa pagi ini bisa diikuti wawancara pertama, dengan 
Profesor
Benedict Anderson guru besar emeritus pada Cornell University di Ithaca, Amerika
Serikat. Profesor Anderson adalah salah satu pengarang apa yang disebut Cornell
Paper atau Makalah Cornell, yaitu risalah pertama yang meragukan versi Soeharto
terhadap peristiwa yang dikenal sebagai G30S/PKI itu. Apa itu sebenarnya Cornell
Paper dan penemuan-penemuan lebih lanjut apa yang didapatkan oleh Profesor Ben 
Anderson?

Ben Anderson [BA]: Apa yang terjadi begini. Kebetulan pada waktu itu saya masih
mahasiswa di Cornell terus ada dua teman lagi. Satu cowok namanya Fred Bunnell 
masih
mahasiswa dan mbak Ruth McVey yang sudah lulus dan senior kita. Kami mengikuti 
apa
yang terjadi di Indonesia dengan sangat cermat karena bingung. Kok ini bisa 
terjadi?
Apa asal usulnya? Dan kebetulan pada waktu itu Cornell satu-satunya tempat di 
Amerika
di mana hampir semua koran, majalah masuk dengan cukup cepat. Majalah dalam 
bahasa
Indonesia, majalah dalam bahasa Jawa. Jadi kita dapat koran dari Medan, dari 
Balikpapan
dari Solo dari Bali, dari Surabaya dan sebagainya. Ini luar biasa. Jadi kami 
bisa
mengikuti apa yang terjadi pada bulan Oktober-November-Desember 1965, bukan 
bergantungan
pada sumber-sumber di Jakarta yang dikuasai sepenuhnya oleh Soeharto. Tapi di 
lain-lain
daerah.

Dan dari situ kami melihat bahwa apa yang dikatakan oleh Jakarta, sama sekali 
tidak
masuk akal. Karena mengikuti apa yang terjadi di Solo, Yogya dan  sebagainya, 
kita
lihat bahwa pembunuhan massal mulai di Solo, Jawa Tengah, persis pada hari itu 
baret
merah masuk. Sebelumnya tidak ada. Terus satu bulan lagi kira-kira tanggal 17 
November
1965 itu sudah mulai di Surabaya persis pada waktu RPKAD masuk. Dan sebaliknya,
baru di pertengahan Desember 1965, dus hampi tiga bulan setelah G30S, pembunuhan
mulai di Bali. Sekali lagi, ketika baret merah masuk.

Jadi itu jelas sekali bahwa pembunuhan ini bukan sesuatu yang spontan, yang 
timbul
karena kemarahan rakyat dan sebagainya. Tapi timbul dalam situasi di mana 
tentara
masuk dan memberi sokongan kepada golongan-golongan yang anti PKI. Malah di 
beberapa
kasus yang saya tahu betul pada waktu itu, mereka masuk di salah satu desa. 
Terus
bilang pada salah satu orang di situ, mana itu orang komunis di sini. Orang 
dalam
desa ingin menjaga mereka punya keluarga dan sanak saudara, bisanya bilang, ya 
tidak
ada. Tapi tentara bilang ini daftarnya, mana orangnya? Lalu orangnya didorong ke
depan. Terus tentara itu bilang sama salah satu orang di sekitarnya, kamu anti 
komunis
atau tidak? Ya, saya anti komunis. Baik, untuk membuktikan, silahkan membunuh 
empat
orang ini. Jadi orang seperti ini, tani biasa, antara dibunuh oleh tentara, atau
membunuh temennya sendiri atau keluarga sendiri, ya akhirnya harus cari selamat.

Nah, cara yang begini yang sangat sadis, itu kami sudah tahu pada waktu itu. 
Jadi,
timbul usaha untuk coba membongkar rahasia apa sebenarnya yang terjadi pada 
waktu
itu. Kami mencek beberapa hipotesa. Seandainya ini Bung Karno di belakangnya, 
PKI
di belakangnya, tentara di belakangnya. Dan walaupun kita tidak dapat suatu 
kepastian
yang jelas, tapi berdasar informasi yang ada pada waktu itu, versinya Soeharto 
jelas
tidak masuk akal.

Kami dapet kesimpulan bahwa ini mulainya dengan perselisihan di dalam tentara 
sendiri.
Itu selesai kira-kira tanggal 3 Januari atau 4 Januari 1966. Kami kerja siang 
malam.
Bertiga. Setelah selesai, kami merasa bahwa ini suatu dokumen yang berbahaya. 
Bukan
untuk kita sendiri. Tapi kalau tentara di Jakarta tahu bahwa dokumen ini ada, 
mungkin
orang-orang yang pernah ke Cornell, orang-orang yang pernah menjadi teman kita,
walaupun mereka sama sekali tidak ada hubungan dengan apa yang kita tulis, toh 
bisa
dikorbankan.

Tapi di lain pihak kami ingin supaya orang-orang yang kami percaya, orang-orang
seperti Pak Wertheim, Pak Dan Lev, bisa melihat hasil riset kami. Kami menulis 
pada
mereka, bilang, ini kalian bisa pakai fakta-fakta yang kami sudah dapatkan, 
kalau
kalian ingin menulis, terserah. Tapi jangan sebut dokumen ini. Pada waktu itu 
kami
amatiran. Ternyata itu akhirnya bocor dan tentunya bukan golongan Ali Moertopo 
cs
yang marah, tapi banyak orang Amerika di pemerintah Amerika juga marah. Karena 
ini
seolah-olah cerita bahwa tentara berhak untuk membunuh banyak orang. Karena 
memang
PKI yang mau bikin kup sebelumnya, mungkin tidak benar. Dan legitimasi 
pemerintah
Soeharto yang sudah jelas menuju ke diktatoran harus direstui. Dan memang itu 
maksudnya
pemerintah Amerika pada waktu itu.

Yang tidak lama setelah itu saya diusir dari Indonesia. Dan dalam satu hal 
sebenarnya
saya merasa salah sendiri. Artinya, karena itu saya sudah merasa tidak ada 
harapan
untuk meneruskan riset itu tadi karena gak ada akses ke Indonesia. Dan pada 
waktu
itu belum ada orang lain yang bersedia untuk meneruskannya. So ini proyek 
tentang
saat yang sangat penting di Indonesia, tidak sampai terlaksana. Itu ceritanya.

Radio Nederland [RN]: Tapi menurut Profesor Anderson bahan untuk melanjutkan 
studi
Cornell Paper itu masih banyak dan ada dan bisa dilakukan ya?

BA: Ya. Bahan yang utama adalah segala macem dokumen-dokumen dari Mahmilub yang
ada. Entah berapa, mungkin 20 jilid. Yang walaupun banyak sekali informasi 
lainnya,
jelas itu hasil dari siksaan, toh juga cukup banyak yang menarik. Apalagi kalau
dibandingkan satu sama yang lain. Nah ini memerlukan pekerjaan yang lama dan 
berat.
Untuk memeriksa ini semua, membandingkannya satu sama yang lain. Mencari 
kunci-kunci
yang ada. Itu sampai sekarang belum dilakukan.

Tetapi betapa pentingnya sumber ini bisa dijelaskan oleh suatu insiden yang 
terjadi
waktu saya kebetulan periksa ratusan halaman dari salah satu Mahmilub. Dan di 
sana
saya ketemu satu dokumen yang sangat penting. Yaitu visum et repertum tentang 
meninggalnya
Ahmad Yani dan teman-temannya yang dituduh sebagai dewan jenderal.

Pemeriksaan terhadap tubuh-tubuh jenderal-jenderal ini sangat teliti. Dikerjakan
oleh dokter-dokter militer dan dokter-dokter sipil di Universitas Indonesia. 
Diselesaikan
tanggal 3 Oktober 1965. Dan laporannya ditujukan kepada Soeharto sebagai 
Pangkostrad
pada waktu itu. Dari laporan ini jelas sekali bahwa cerita yang dikeluarkan oleh
Soeharto cs pada tanggal 5-6 Oktober 1965, di koran dan di massa media bahwa 
orang-orang
ini disiksa oleh PKI. Kemaluan mereka dipotong-potong oleh Gerwani yang gila 
seks
dan gila drugs. Bahwa ada segala macam horor, dicungkil matanya dan sebagainya.
Itu sama sekali tidak bener.

Itu sangat sengaja. Jadi laporan tentang apa yang sebenarnya terjadi sudah ada 
di
tangan Soeharto tiga hari sebelum kampanye horor anti PKI mulai. Jadi itu sangat
sinis, sangat dingin. Anehnya, laporan ini menjadi lampiran entah keberapa pada
akhir dari jilid Mahmilub ini itu. Dan jelas masuk dengan tidak sengaja oleh 
seorang
tentara kecil-kecilan yang dengan lugunya mungkin merasa bahwa ini dokumen yang
tidak penting.

Padahal itu satu dokumen yang sangat penting dan sangat menghancurkan konsep 
bahwa
Moertopo, Soeharto dan sebagainya itu bertindak atas dasar keyakinan. Tidak. 
Justru
sebaliknya, itu suatu kampanye yang sangat Machiavellis, yang dilaksanakan 
dengan
penuh kesadaran.

Jadi ini suatu contoh bagaimana kalau orang rajin mencari informasi itu bisa 
ketemu.
Jadi orang-orang tua, baik dari pihak yang menang, maupun dari pihak yang kalah,
juga bisa diusahakan. Orang-orang yang mengunjungi tapol-tapol dalam penjara 
pada
waktu itu mungkin mereka bikin catatan dan sebagainya, itu belum ditelusuri.

Saya masih ingat, sangat kebetulan pada waktu, mungkin tahun 1972,  saya membeli
suatu bungkusan, apa saya ngak tahu di jalan Surabaya di Jakarta. Itu memang 
daerah
loak. Dan saya heran karena bungkusan itu, ternyata itu dokumen-dokumen intel 
Jawa
Timur, yang setelah itu saya terjemahkan dan memang sudah diterbitkan di majalah
Indonesia. Ini semacam mata-mata dari Jakarta yang putar-putar di Jawa Timur, 
untuk
lapor tentang apa yang terjadi di Jawa Timur pada waktu itu.

Dia cerita tentang perselisihan antara perwira-perwira tinggi di situ. Dia 
melihat
bahwa pembersihan yang jalan sangat baik di Jombang, kok ada masalah umpamanya 
di
Jember dan sebagainya. Banyak orang dibunuh di situ, tapi kok sayang di daerah 
Bojonegoro
tidak ada, dan kemungkinan sebab-sebabnya begini begini. Kan bagaimanapun 
pemerintah
itu suatu birokrasi yang selalu tulis menulis, selalu ada laporan, selalu ada 
ini
ini.

Dan saya yakin ada gudang yang penuh dengan segala macam dokumen, yang orang 
sekarang,
malah tidak tahu ada apa di situ. Memang pada waktu reformasi lagi bergejolak, 
salah
satu harapan tersembunyi dalam hati saya adalah bahwa anak-anak muda yang pergi
rame-rame akan membongkar gudang-gudang ini dari tangan tentara dan tangan 
pemerintah.
Seperti yang terjadi pada tahun 1965, di mana Deplu dibongkar, waktu itu banyak
dokumen-dokumen dari zamannya Soebandrio, kan masuk gelanggang umum.

Demikian Profesor Benedict Anderson dari Cornell University.WARTA BERITA RADIO 
NEDERLAND 
WERELDOMROEP
Edisi: Bahasa Indonesia

Ikhtisar berita disusun berdasarkan berita-berita yang disiarkan oleh
Radio Nederland Wereldomroep selama 24 jam terakhir.

---------------------------------------------------------------------

Edisi ini diterbitkan pada:

Selasa 27 September 2005 15:00 UTC
* 40 TAHUN G30S, KASUSNYA MASIH MISTERI

40 tahun sudah Peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965, tapi kasusnya sendiri
masih belum terang. Banyak tokoh seputar itu, membawa rahasianya ke liang kubur,
seperti Ali Moertopo, Umar Wirahadikusumah, dan, mungkin juga, beberapa pimpinan
CC-PKI. Yang pasti, di pagi 1 Oktober 1965 itu, pihak tentara sudah bisa 
menyimpulkan
PKI berada di balik G30S. Mereka berkumpul di Kostrad, antara lain, untuk 
merebut
RRI, demikian profesor Salim Said, waktu itu wartawan bulletin tentara.

Sebaliknya, Sobron Aidit, waktu itu guru besar Bahasa Indonesia di Beijing, 
mengungkap
bahwa kakaknya, Ketua CC-PKI, D.N. Aidit atau Bang Amat, sudah memperingatkan, 
bakal
ada "keguncangan" di Jakarta, tapi tak satu pun pendukung PKI tahu apa-apa.
Juga Ibu Sulastri, mantan pimpinan Gerwani Jawa Timur, tidak mengerti sedikitpun
tentang G30S, tapi dia harus mendekam di penjara, tanpa diadili, tanpa udara 
segar,
tanpa telor, dan tanpa daging, selama 11 tahun.

Berikut ini berturut-turut penuturan profesor Salim Said, Sobron Aidit dan Ibu 
Sulastri.

Salim Said [SS]: 40 tahun lalu, waktu kejadian Gestapu, umur 22 tahun. Saya 
waktu
itu wartawan muda, dan sudah mengikuti perkembangan ketegangan-ketegangan yang 
memuncak
pada 30 September itu. Jadi siapapun yang berada di Jakarta khususnya, Indonesia
umumnya, pada waktu itu dengan perhatian kepada perkembangan politik yang makin
lama makin tegang, sebenarnya tidak terkejut kalau pada tanggal 1 Oktober 1965 
pagi,
ada berita mengenai apa yang disebut Gerakan 30 September.

Pagi hari saya datang ke sekolah. Saya diberitahu oleh teman-teman bahwa 
bapaknya
Ruli, itu diculik. Ruli itu adalah anak sulung Jenderal Yani, katanya CIA. Jadi,
saya langsung menyimpulkan, ini PKI mesti terlibat di sini. Sebab beberapa hari
sebelumnya sudah beredar isyu macem-macem bahwa akan ada Dewan Jenderal yang 
melakukan
kup.

Ya, kita ke Kostrad. Karena kita sudah tahu, setelah komunikasi kiri kanan, 
bahwa
ini PKI. Nah saya termasuk wartawan pertama yang tiba di Kostrad hari itu. 
Kira-kira
jam 11 siang. Wah, saya melihatlah usaha konsolidasi waktu itu. Hari itu sampai
sore, di antara orang-orang, para jenderal dan para petinggi di situ, tidak ada
yang tahu seluk beluk RRI itu.

Saya katakan kepada seorang jenderal, saya ini pernah kerja di RRI, saya tahu 
itu
RRI. Jadi saya memberi masukan kepada jenderal itu. Ada dua jenderal waktu itu 
yang
mengurusi penerangan, almarhun Jenderal Sugandhi dan almarhum Jenderal Soebroto.
Saya sarankan agar kita mencari Darmo Sugondo, komentator/reporter televisi 
terkemuka
waktu itu yang selalu menjadi komentator kalau Bung Karno muncul di publik.

Saya bilang kalau ada Darmo Sugondo, asosiasi orang Bung Karno. Karena waktu itu
tidak banyak yang tahu di mana Bung Karno. Pertanyaan orang di mana Bung Karno?
Nah Bung Karno jadi rebutan waktu itu. Akhirnya bersama Darmo Sugondo kami 
dikawal
oleh pasukan RPAD waktu itu, Kopassus namanya sekarang, merebut RRI.

RRI bisa dikuasai, dan tidak lama kemudian rekaman pidato Jenderal Soeharto 
disiarkan
di RRI.

Demikian profesor Salim Said.

Radio Nederland [RN]: Pak Sobron, 30 September 1965 ada di mana?

Sobron Aidit  [SA]: Saya ada di Peking. Kami ketika itu bang Amat saya selalu 
memanggil
bang Amat, ya, ada briefing sebelum itu dia mengatakan kepada kami semua. 
Artinya
kami di sini ialah orang-orang Indonesia yang ada di Peking, bahwa akan ada 
kejadian
yang menggoncangkan tanah air. Tetapi dia tidak bilang kejadian apa.

RN: Kapan itu DN Aidit mengatakan itu?

SA: Agustus, menjelang 17 Agustus. Jadi waktu dia terakhir ke Peking. Pesan dia
itu mengatakan bahwa sekarang ini sedang panas-panasnya keadaan tanah air. 
Pertentangan
antara tentara sama sayap-sayap Bung Karno, maksudnya orang-orang kiri terutama,
itu akan ada hal-hal mungkin di luar dugaan, dia bilang. Tapi sama sekali dia 
tidak
bilang apa-apa.

RN: Lalu pak Sobron, menanggapi itu bagaimana ?

SA: Kami betul-betul tidak tahu. Tetapi waktu itu kami sudah mendengar keadaan 
tanah
air begitu panas. Begitu cepat berubah, apalagi pidato sana-sini itu saling 
mengganyang.
Artinya ganyang ini, ganyang itu ya. Nah kami dianjurkan ketika itu mendengarkan
radio baik-baik, artinya teliti-teliti. Radio yang dimaksud ialah radio dari 
Australia,
Amerika dan Jepang.

RN: Jadi kira-kira pertengahan Agustus, pak Sobron sudah mendengar radio secara
mental sedikit banyak siap begitu ya, ada sesuatu nih?

SA: Ya, tapi ndak jelas apa begitu?

RN: Ndak ada dugaan apa begitu?

SA: Rasanya begini, ini mungkin ada apa-apa. Maksudnya ini entah pertempuran, 
entah
huru-hara namanya waktu itu kan sudah ada jor-joran revolusi.

RN: Tapi tidak ada dugaan sedikitpun? tidak ada clue tidak ada indikasi dari 
bang
Amat?

SA: Tidak ada sama sekali

RN: Tidak ada ya. Jadi mereka yang di luar, pak Sobron ini ya terpaksa 
menduga-duga
gitu ya, berspekulasi ya?

SA: Ada satu hal yang ingin saya catatkan. Waktu itu tentara, nama-nama ada yang
kami dengar nama ini, nama itu. Tetapi satu nama yang ndak pernah saya dengar, 
yaitu
Soeharto. Yang kami dengar Nasution, yang kami dengar Yani, tapi Soeharto ndak 
pernah.

RN: Tadi pesan bang Amat tadi juga tidak menyebutkan nama apapun ya?

SA: Tidak, tapi tentara dia bilang memang tentara.

RN: Kemudian tiba 30 September, seperti apa reaksi pak Sobron?

SA: Karena kami sudah di briefing akan apa-apa jadi kami kumpul dengan 
sendirinya.
Saling mau tahu. Tapi yang paling lucu, saling mau tahu tapi tidak ada satu yang
tahu.

RN: Tidak ada yang coba mencari narasumber di negeri lain atau di Indonesia?

SA: Ada, tentu kami ada yang telepon dan ada yang tanya bagaimana ini, tapi 
tidak
ada satupun berita yang ada kepastiannya. Sebab begini, mula-mula kami dengar 
ya,
dewan revolusi, kemudian dewan jenderal, kemudian radio sudah direbut. Kemudian
cepat sekali berubah, kemudian ada pertempuran sedikit, sporadis. Tapi tidak 
tahu
kami di mana ini. Jadi kami betul-betul nggak ada pegangan.

RN: Berapa lama itu kalian bertanya-tanya, berteka-teki ada apa sih di tanah 
air?

SA: Mingguan sampai bulanan. Di situ sudah ada pembunuhan-pembunuhan baru jelas,
bahwa ini ndak ada hubungannya dengan PKI dalam soal memimpin keadaan. PKI 
ternyata
waktu itu kami sudah rasakan dan sudah mengamati, PKI korban. Ya betul jadi 
tidak
ada....

RN: Mengapa begitu pak?

SA: Kami tidak berpretensi bahwa ini PKI yang mimpin. Begini, kami akhirnya 
dapat
tahu dari delegasi dari Havana, dari Kuba, yang mengatakan bahwa Aidit sudah 
meninggal.
Itu kira-kira November, delegasi mengatakan pesannya dari Fidel, Fidel Castro, 
bahwa
betul sudah meninggal. Waktu itu semua kami terdiam. Dan, yang paling aneh di 
antara
begitu banyak teman, hanya saya sendiri yang percaya memang bahwa Aidit sudah 
meninggal.
Itu perasaan saya, feeling saya.

Kenapa? secara logika tidak mungkin bahwa mereka bisa melawan. Kenapa? PKI tidak
punya tentara, PKI tidak punya senjata, PKI hanya mengandalkan orang-orang yang
waktu pemilihan umum memilih PKI. Ya mana ada tentaranya? Jadi saya waktu itu 
sudah
yakin PKI tidak mungkin menang, tidak mungkin bertempur. Karena apa? Apa yang 
dia
punya? Nggak ada apa-apa.

RN: Dan tidak ada pula apa yang oleh tentara disebut angkatan kelima itu ya?

SA: Ndak ada....

Demikian Sobron Aidit.

RN: Ibu Sulastri, ibu dulu aktif dalam Gerwani, pada 30 September 1965 ibu ada 
di
mana?

Di Surabaya. Saat peristiwa itu disiarkan memang hati kami sama sekali tidak 
mengerti,
tidak tahu. Setelah peristiwa 65 itu memang beberapa hari kemudian lalu kami 
terpaksa
harus meninggalkan rumah untuk menjaga keselamatan. Saya bersama anak saya umur
dua tahun gitu, sebab sudah ada beberapa teman yang diambil gitu, yang akhirnya
saya terus harus ke Blitar Selatan. Akhirnya terjadi pengepungan mengerahkan 
10.000
anggota hansip untuk daerah Blitar Selatan itu.

Demikian Ibu Sulastri, sebelumnya anda sudah mengikuti penuturan Sobron Aidit 
dan
profesor Salim Said.WARTA BERITA RADIO NEDERLAND WERELDOMROEP
Edisi: Bahasa Indonesia

Ikhtisar berita disusun berdasarkan berita-berita yang disiarkan oleh
Radio Nederland Wereldomroep selama 24 jam terakhir.

---------------------------------------------------------------------

Edisi ini diterbitkan pada:

Rabu 28 September 2005 14:50 UTC* SOAL PEMBUNUHAN PASCA G30S: NU LEBIH JUJUR 
DARI KATOLIK

Intro: Dalam acara dialog interaktif Secangkir Kopi yang disiarkan TVRI tanggal
14 Maret tahun 2000, presiden Kyai Haji Abdurrahman Wahid menyatakan sejak 
menjabat
ketua PBNU dirinya sudah meminta maaf kepada para korban pembunuhan pasca 
peristiwa
G30S. "Saya sudah meminta maaf atas segala pembunuhan yang terjadi terhadap
orang-orang yang dikatakan sebagai komunis," kata Gus Dur waktu itu. Sejak
ucapan itu tabir tabu yang meliputi PKI serta peristiwa G30S seperti terkoyak. 
Semua
orang bisa berbicara bebas tentang peristiwa bersejarah 40 tahun silam yang 
mengubah
perjalanan bangsa Indonesia, termasuk korban-korbannya. Ucapan ini adalah juga 
rintisan
menuju rujuk nasional dengan NU sebagai pelopornya, walau pun organisasi massa 
Islam
terbesar ini masih saja terbelah soal peran mereka waktu itu. Indonesianis 
kawakan
profesor Benedict Anderson yang seperempat abad lebih dilarang masuk Indonesia 
gara-gara
pendapatnya soal G30S, menyambut baik upaya NU. Tapi pakar Indonesia dari 
Cornell
University ini juga mendesak supaya organisasi-organisasi lain terbuka dan jujur
dalam peran mereka pada pembunuhan massal pasca G30S. Berikut profesor Ben 
Anderson
kepada Radio Nederland.


Benedict Anderson [BA]: Yang paling menarik adalah perubahan justru di kalangan
NU. Karena diketahui pada waktu tahun 1965, justru orang-orang Ansor menjadi 
pembantu
yang sangat penting untuk tentara dalam hal menghancurkan PKI, khususnya di 
daerah
pedalaman, di Jawa Timur, Jawa Tengah. Karena di kalangan anak muda intelektual
justru mereka ingin mengetahui apa yang terjadi. Mereka membantu usaha Ibu 
Sulami
untuk menelusuri jumlah orang kiri yang terbunuh di beberapa daerah. Dan mereka
mulai bikin rekonsiliasi atau hati ke hati antara orang Gerwani dan orang-orang
dari ormas NU, khusus untuk wanita.

Ini sangat bagus, walau pun mereka harus menghadapi fakta bahwa di antara 
keluarga
mereka sendiri ada yang menjadi algojo. Dan rupanya mereka bersiap untuk itu. 
Jadi
mereka tidak mati-matian membela apa yang terjadi sebelumnya. Ini berarti bahwa
sebagian penting dalam masyarakat Indonesia, justru fihak yang di angkatan 
tuanya
sangat aktif dalam masyarakat ini, berubah pikirannya. Kami belum lihat usaha 
yang
sedemikian dari fihak Katolik, Protestan, Muhammadiyah. Tapi Insya Allah itu 
akan
berlangsung pada tahun yang akan dateng.

Kita harus ingat bahwa orang-orang yang sudah ambil posisi, yang sudah lama 
menyokong
Soeharto mati-matian, seperti Kompas, Jacob Oetama dan sebagainya, walau pun 
mungkin
dalam hati kecilnya mereka mengaku bahwa apa yang terjadi tahun 1965 adalah satu
manipulasi yang jahat, toh mereka tidak akan meninggalkan pendirian mereka di 
depan
umum. Karena mereka sudah punya andil dalam proyek yang besar. Dalam proyek orde
baru. Sampai sekarang.

Ini sering terjadi dalam politik. Bahwa orang-orang yang sebenarnya dalam hati 
kecilnya
enggak yakin, tapi demi temennya, demi anu, namanya, demi ini, demi itu, demi 
untungnya;
masih ngotot dengan pendapat yang sebenarnya mereka sudah tahu bahwa ini tidak 
benar.

Kita tahu bahwa sebagian penting dari dana keuangan untuk Soeharto pada 
masa-masa
kritis yang pertama, sebagian datang dari, ini yang bagian dalam negeri, bukan 
bantuan
dari luar negeri, tapi dari dalam negeri sebagian besar datang dari Pertamina 
dan
sebagian besar lagi datang dari Menteri Perkebunan Agraria, tokoh Flores yang 
kita
semua tahu, Frans Seda. Ini kan menteri pemerintahan Soekarno, yang diangkat 
oleh
Soekarno dan dia harus setia kepada Soekarno. Tapi justru sebaliknya. Diam-diam
dia colong duit dari departemennya untuk dikasih kepada orang yang mendongkel 
Bung
Karno.

Yang kedua itu sudah diketahui bahwa orang-orang yang sangat penting dalam 
mendirikan
Opsus, CSIS dan sebagainya. Dua orang yang paling penting di situ, tidak 
semuanya
orang-orang Katolik, tetapi sebagian ada. Itulah Liem Bian Kie dan adiknya dan 
juga
Harry Tjan Silalahi. Ini semua juga mengambil peranan yang cukup jahat dalam 
masalah
Timtim. Mereka menjadi penasehat dan operator agennya Ali Moertopo dalam 
berusaha
mendongkel pemerintah Timtim merdeka pada tahun 1975.

Nah ini, sampai sekarang Kompas tidak pernah mau terus terang tentang peranan 
yang
penting dari orang-orang Katolik ini. Semua ditutup dengan kata-kata halus. Ya,
stylenya Kompas, bisa diketahui dengan istilah yang kita semua sudah kenal. 
Seperti,
"Ya, saya dari dulu memang anti. Saya memang dari dulu itu kritis. Saya memang
dari dulu tidak setuju." Tapi ini semacam hipokrisi yang kalau mereka 
betul-betul
kritis, betul-betul anti, ndak mungkin mereka bukan saja survive, tapi menjadi 
satu
konglomerat yang maha besar, yang masih mencekik dunia penjualan buku.

Jadi dalam hal ini, NU jauh lebih jujur dari Katolik. Ini tidak berarti bahwa 
tidak
ada cukup banyak romo yang bagus, yang mengunjungi tapol dan berusaha untuk 
membantu
mereka. Jadi, maksud saya bukan untuk mencaci maki kaum Katolik pada umumnya. 
Tapi
harus diakui bahwa kaum Katolik pada umumnya masih menjadi satu minoritas yang 
tidak
berani mencuci celana kolornya di pekarangan depan. Dalam hal ini sikap mereka,
dibandingkan dengan sikapnya NU, tidak bisa dipuji.

Radio Nederland [RN]: Kalau NU itu ada pemuda Ansor yang melakukan pembunuhan 
itu,
membantu tentara. Apakah pelaku-pelaku itu juga ada dari kalangan Katolik, 
Protestan
dan Mohammadiyah, menurut anda?

BA: Harus diakui bahwa sebagian besar pembunuhan terjadi di pedesaan. Bukan di 
kota.
Jadi kalau waktu itu kamu jadi PKI kelas teri, kamu akan lebih aman, lebih 
mungkin
survive, kalau di kota. Dan ini memang NU kuat di desa, sedangkan pada umumnya 
Muhammadiyah,
paling sedikit di Jawa, lebih kuat di kota. Katolik juga begitu, Protestan juga.

Tapi sampai sekarang, umpamanya, tidak pernah ada penelitian terhadap apa yang 
terjadi
di daerah yang jelas Katolik seperti Flores.  Apa yang terjadi di sana? Saya 
belum
pernah melihat laporan tentang ini. Jelas itu tidak dilakukan oleh Kompas cs.

Kita tahu bahwa di Bali yang membunuh justru bukan orang Islam, tapi orang 
Hindu.
Dan mungkin lebih sadis daripada yang terjadi di Jawa. Kita tahu bahwa 
pembunuhan
yang paling komplit di mana dipastikan semua anggota komunis dibunuh, justru 
terjadi
di Aceh, yang pada waktu itu secara politik berafiliasi dengan Muhammadiyah.

Jadi boleh dikatakan tidak ada partai atau golongan yang tidak ada tanggung 
jawabnya.
Kalau bukan di lapangan atau di desa, tapi sebagai otak. Di bagian intel, cukup
banyak Protestan Batak di intel-intel pada waktu itu. Atau di kalangan 
intelektual
yang menjual diri supaya bisa dapet posisi yang bagus di orde baru awal, 
mengharapkan
kedudukan seperti itu. So, orang-orang yang tidak kena itu sedikit sekali.

Maka dari itu saya merasa harus angkat topi kepada NU dalam hal ini. Karena 
mereka
udah kasih contoh yang bagus. Insya Allah yang lain-lainnya akan mawas diri dan
memikirkannya. Insya Allah, tapi saya memang tidak banyak harapan dalam hal ini.

Demikian profesor Benedict Anderson Indonesianis senior dari Cornell University,
Amerika Serikat.






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today!
http://us.click.yahoo.com/O4u7KD/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




Reply via email to