Penggagas Kongres Pemuda Pertama
Lima organisasi pemuda menggagas Kongres Pemuda Pertama 1926. Dengan alasan 
lebih jauh, Tabrani, ketua kongres, menolak keinginan peserta yang akan 
menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.

DIALAH tokoh penting di balik terselenggaranya Kongres Sumpah Pemuda Pertama 
1926. Mohammad Tabrani Soerjowitjitro, wafat pada 1984, tak hanya menggagas 
munculnya kongres itu, tapi ia juga kemudian menjadi ketuanya. 
Saat masih hidup, banyak yang memintanya menuliskan pengalaman dan apa yang 
diketahuinya perihal kongres, yang kemudian mengantar terjadinya Kongres Pemuda 
1928 yang momumental tersebut. Tapi Tabrani selalu menolak. 
Sikapnya baru mencair ketika pada 1973, Sudiro, bekas Wali Kota Jakarta, 
memintanya. Maka Tabrani pun menuliskan pengalamannya dalam buku 45 Tahun 
Sumpah Pemuda. Buku ini diterbitkan pada 1974 oleh Yayasan Gedung-gedung 
Bersejarah Jakarta. ”Bukan saya angkuh, apalagi takut, melainkan khawatir 
nanti-nanti berbuat salah,” katanya menjelaskan. ”Sebab, saya tidak memiliki 
dokumen asli yang lengkap seputar Kongres Pemuda Indonesia Pertama tersebut,” 
katanya. 
Menurut Tabrani, laporan kongres yang berjudul Verslag van Het Eerste 
Indonesisch Jeugdcongress (Laporan Kongres Pemuda Indonesia Pertama) yang 
diterbitkan oleh Panitia Kongres telah dimusnahkan Belanda. Ia mengetahui kabar 
itu ketika tengah bersiap meninggalkan Tanah Air untuk berangkat ke Jerman. 
”Jadi tidak sempat mengurusnya.” Tapi, untunglah, sebelumnya ia telah 
mengirimkan salinan laporan itu ke Museum Pusat dan sejumlah media massa. Pada 
1973 Tabrani menemukan dokumen kongres itu di Museum Pusat—kini bernama Museum 
Nasional. ”Kondisinya sudah memprihatinkan,” ujarnya. 
Menurut Tabrani, untuk ”mengelabui” pemerintah Belanda, saat itu ia melakukan 
sejumlah trik kala kongres. Beberapa orang sengaja ia perintahkan mengobrol 
dengan kepala polisi rahasia dan sejumlah pejabat Belanda yang hadir. 
Tujuannya, agar mereka tak sempat menyimak pidato peserta kongres.

 
Persiapan Kongres Pemuda Pertama dilakukan pada 15 November 1925 di gedung Lux 
Orientis, Jakarta. Hadir lima organisasi pemuda dan beberapa peserta 
perorangan. Organisasi itu Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Pelajar 
Minahasa, dan Sekar Roekoen. Tabrani mewakili Jong Java. 
Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan membentuk panitia Kongres Pemuda 
Indonesia Pertama. Tujuan kongres tersebut, ”Menggugah semangat kerja sama di 
antara bermacam-macam organisasi pemuda di tanah air kita, supaya dapat 
diwujudkan dasar pokok lahirnya persatuan Indonesia, di tengah-tengah bangsa di 
dunia.” Panitia kongres terdiri atas 10 orang, di antaranya Bahder Djohan, 
Sumarto, Jan Toule Soulehuwij, Paul Pinontoan, dan Tabrani. Dari sini lantas 
dibentuk ”panitia inti”. Ketua Tabrani, wakil ketua Sumarto, sekretaris 
Djamaludin (Adinegoro), dan bendahara Suwarso. 
Kongres Pemuda Pertama itu kemudian digelar di Jakarta pada 30 April 1926 
hingga 2 Mei 1926. Berbagai persoalan dibahas dalam kongres ini. Bahder Djohan, 
misalnya, menyampaikan materi ”kedudukan wanita dalam masyarakat Indonesia”. 
Tapi, lantaran terlambat datang dari Bandung, ”pidato” Bahder akhirnya 
dibacakan Djamaludin. Adapun Paul Pinontoan membahas peranan agama dalam 
gerakan nasional. 
Dalam kongres yang memakai bahasa Belanda itu dibicarakan pula soal bahasa 
persatuan. Muhammad Yamin, yang membahas ”masa depan bahasa-bahasa Indonesia 
dan kesusastraannya”, menyatakan hanya dua bahasa, Jawa dan Melayu, yang 
berpeluang menjadi bahasa persatuan. Namun Yamin yakin bahasa Melayu yang akan 
lebih berkembang sebagai bahasa persatuan. Djamaludin sependapat dengan Yamin. 
Menurut Tabrani, peserta kongres saat itu sepakat menetapkan bahasa Melayu 
sebagai bahasa persatuan. Namun Tabrani menentang. ”Bukan saya tidak menyetujui 
pidato Yamin. Jalan pikiran saya ialah tujuan bersama, yaitu satu nusa, satu 
bangsa, satu bahasa,” ujar Tabrani, seperti yang ia tulis dalam 45 Tahun Sumpah 
Pemuda. 
Menurut Tabrani, kalau nusa itu bernama Indonesia, bangsa itu bernama 
Indonesia, ”Maka bahasa itu harus disebut bahasa Indonesia dan bukan bahasa 
Melayu, walaupun unsur-unsurnya Melayu.” Pendapat ini diterima Yamin dan 
Djamaludin. Keputusan menetapkan bahasa persatuan itu pun ditunda dan akan 
dikemukakan lagi dalam Kongres Pemuda Kedua.

 
Sayangnya, ketika kongres kedua berlangsung, Tabrani dan Djamaludin sedang 
berada di luar negeri. 
Tabrani juga disebut-sebut berperan mengubah rumusan Sumpah Pemuda. Sewaktu 
disepakati, sumpah itu, terutama butir ketiga, berbunyi: ”menjunjung bahasa 
persatuan, bahasa Indonesia”. Rumusan populer sekarang: ”mengaku berbahasa 
satu, bahasa Indonesia”. 
Menurut Keith Foulcher dalam Sumpah Pemuda, Makna & Proses Penciptaan Simbol 
Kebangsaan Indonesia (Komunitas Bambu, cetakan II, 2008), pergeseran itu tidak 
terjadi begitu saja. 
Foulcher merujuk pada Kongres Bahasa 1938. Ketika itu, kata Foulcher, Tabrani 
menyampaikan topik ”Mendorong Penyebarluasan Bahasa Indonesia”. Saat itu ia 
memberikan argumen bahwa bahasa Indonesia tidak beroposisi terhadap bahasa 
daerah, tapi merepresentasikan ”Sumpah Kita”. Ia kemudian menyampaikan satu 
rumusan baru: 

Kita bertoempah tanah (sic) satu, jaitoe tanah (sic) Indonesia, 
Kita berbangsa satoe, jaitoe bangsa Indonesia, 
Kita berbahasa satoe, jaitoe bahasa Indonesia
Tabrani lahir di Pamekasan, Madura, 10 Oktober 1904. Setelah menamatkan 
pendidikan di MULO Surabaya, dia masuk AMS di Bandung dan kemudian OSVIA, juga 
di Bandung. Sejak di MULO ia aktif di Jong Java. 
Meski menuntut ilmu di sekolah calon pamong praja, Tabrani lebih berminat pada 
jurnalistik. Pada 1926 ia sudah memimpin harian Hindia Baroe bersama Haji Agus 
Salim. Selepas Kongres Pemuda Pertama, ia berkeliling Eropa, hingga 1931, 
mencari pengalaman jurnalistik. Ia, antara lain, mengunjungi London, Berlin, 
Koln, dan Wina. Sembari membantu koran-koran Belanda, seperti Het Volk dan De 
Teleraaf. Setelah pulang ke Tanah Air, ia mendirikan Partai Rakyat Indonesia 
dan menerbitkan majalah Revue Politiek. Beberapa tahun kemudian, ia memimpin 
harian Pemandangan. 
Dalam Kongres Persatoean Djoernalis Indonesia Kelima di Solo 1939, Tabrani 
terpilih sebagai ketua. Di zaman Jepang, ia memimpin koran Tjahaja di Bandung. 
Pada zaman Jepang ini pula ia pernah dijebloskan ke penjara Sukamiskin. Ia 
disiksa hingga kakinya cacat, pincang.

 
Lepas dari penjara, Tabrani memimpin Indonesia Merdeka yang diterbitkan Jawa 
Hokokai. Saat Indonesia merdeka, ia sempat mengelola koran Suluh Indonesia, 
milik Partai Nasional Indonesia.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/10/27/LK/mbm.20081027.LK128563.id.html


              salam
[EMAIL PROTECTED]
 
 


      New Email addresses available on Yahoo!
Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and @rocketmail. 
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/

Kirim email ke