Tajuk Rencana Kompas  yang bergengsi hari ini (16 Januari 2008) 
menulis tentang  Soeharto yang  saat kini sedang hangat-hangatnya  
diperdebatkan oleh berbagai media massa  dan  lapisan masyarakat  
sehubungan dengan penilaiannya terhadapnya.

Rupanya opini publik terpecah dua mengenai penilaian terhadap beliau 
yang kontroversial itu, seperti  ada pihak yang ingin tetap 
melanjutkan proses hukumnya, karena pelanggaran HAM dan kasus 
korupsinya dll. dan ada pula  pihak yang ingin memaafkannya karena 
mengingat jasa-jasanya dalam pembangunan ekonomi. Dan  Lee Kuan Yew-
pun tidak ketinggalan untuk membesuk dan memberikan penilaian  
tentang  beliau. 

Tetapi ada hal yang menarik  perhatian dari tajuk rencana Kompas 
hari  ini, disitu ditarik  sebuah  analogi  atau kasus yang dapat  
dianggap  paralel  antara  Soeharto dengan Mao Zedong, yaitu momen-
momen   saat dimana masyarakat  terdorong  memberikan  penilaian 
atas   jasa  atau   kesalahan  kedua mantan pemimpin negara  itu 
sebagai kesimpulan sejarah bangsa, terutama pada saat-saat terakhir 
hidupnya atau sudah meninggal.

Kalimat akhir tajuk rencana Kompas ini  melemparkan  sebuah 
pertanyaan retorik, apakah bangsa dan pemimpin Indonesia  dapat  
melakukan hal yang sama seperti rakyat Tiongkok memandang dan menilai 
Mao Zedong ketika itu.

Tetapi disini mungkin akan timbul sebuah pertanyaan retorik juga, 
sejauh mana  Soeharto  dapat dianalogikan dengan Mao Zedong ?

G.H.

----------------------------------------------------------------------
Memaafkan Pak Harto
Kompas, Rabu, 16 Januari 2008

Mantan Ketua MPR Amien Rais meminta proses hukum mantan Presiden 
Soeharto dihentikan. Pemerintah secara resmi memaafkan Pak Harto. 
Dengan pemerintah secara resmi melakukan itu, menurut Amien Rais, 
masyarakat dapat pula memaafkan Pak Harto. Kepastian itu sangat 
penting untuk membuat bangsa ini tidak terombang-ambing oleh masalah 
Pak Harto, yang sedang terbaring sakit dan kritis. 

Penjelasan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 
mengenai Pak Harto akhir pekan lalu multi-arti. Presiden mengatakan, 
bukan saatnya untuk membicarakan kasus hukum Pak Harto karena mantan 
presiden itu sedang terbaring sakit. 

Namun, di sisi lain kita lihat, kasus perdata Pak Harto tetap 
berjalan. Jaksa Agung bahkan sempat membicarakan kemungkinan 
penyelesaian di luar pengadilan pada saat Pak Harto sedang berjuang 
antara hidup dan mati. 

Kita memahami bahwa pilihan yang dihadapi tidaklah mudah. Namun, 
dalam politik, pilihan yang kita hadapi sering kali bukan antara baik 
dan buruk, tetapi antara yang buruk dan kurang buruk. Pada satu titik 
putusan itu harus diambil dan dalam kasus Pak Harto putusan itu harus 
diambil sekarang ini ketika Pak Harto masih ada. 

Sungguh sayang, pada saat pemimpin bangsa-bangsa lain memberikan 
penghormatan tinggi kepada Pak Harto, kita belum juga bisa satu kata 
untuk memutuskan sikap kita terhadap Pak Harto. Meski sudah 
berlangsung hampir 10 tahun, kita masih terus berkutat pada 
kontroversi yang tidak berujung. 

Mantan PM Singapura Lee Kuan Yew sesudah menjenguk Pak Harto di Rumah 
Sakit Pusat Pertamina menyampaikan keprihatinan atas perlakuan bangsa 
Indonesia kepada Pak Harto. Menurut dia, seakan hanya praktik KKN 
saja yang ditinggalkan Pak Harto. 

Padahal, jika dilihat bagaimana kondisi ekonomi Indonesia 40 tahun 
yang lalu dan dibandingkan dengan sekarang ini, akan terasa betapa 
besarnya karya Pak Harto. Kontribusi besar Pak Harto tidak hanya 
terbatas untuk Indonesia, tetapi juga bagi kemajuan ASEAN. 

Memang tidak mudah bagi sebuah bangsa untuk menghormati pemimpinnya, 
apalagi pada saat-saat akhir kekuasaannya bukan catatan besar yang 
ditinggalkan. Pengalaman seperti itu pernah dihadapi bangsa China 
ketika mereka diminta untuk menentukan sikap kepada pemimpin besar 
mereka Mao Zedong. Menyusul keterpurukan ekonomi China, banyak yang 
berpikiran untuk tidak menghormati Mao. 

Di tengah pro-kontra yang tajam, pemimpin baru China, Deng Xiaoping, 
lalu berpidato di Lapangan Tiananmen. Deng mengatakan, selama 
hidupnya Mao memang telah membuat tiga dosa besar, tetapi selama 
hidupnya Mao juga telah membuat tujuh jasa besar bagi China. Deng 
lalu mengajak bangsa China untuk mengubur sedalam-dalamnya tiga dosa 
besar Mao dan mengenang selama-lamanya tujuh jasa besarnya. 

Mampukah kita melakukan hal yang sama? Inilah tantangan yang kita 
hadapi sebagai bangsa dan kita membutuhkan pemimpin yang berani untuk 
membawa bangsa ini mengakhiri kontroversi. 

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0801/16/opini/4168134.htm



Kirim email ke