Kalau anda menuliskan begitu, maka yang nanti muncul adalah orang Cina itu
merebut kekuasaan dan menjadi raja di negeri orang. Mungkin anda belum tahu, ada
sekelompok orang di bawah organisasi yang bernama **M yang gencar menyebarkan
pandangan bahwa keruntuhan nusantara adalah karena orang cina. Khususnya contoh
yang dikemukakan adalah keruntuhan Majapahit yang digerogoti Raden Patah yang
dibilang antek cina dan juga Cheng Ho datang sebagai agen imperium cina yang
mempercepat keruntuhan kerajaan pribumi (baca: Majapahit).

IT:
Raden Patah sebagai keturunan China itu malah tidak mempunyai dasar yang kuat. 
Salah satu buku yang menyatakannya adalah buku karya Slamet Mulyana: "Runtuhnya 
Kerajaan Hindu Jawa...." Saya justru meragukan kesahihan buku tersebut. 
Pertama-tama disebutkan bahwa penelitian itu didapat dari sumber2 yang didapat 
dari kelenteng Sam Po Kong, tetapi dengan melihat denah kelenteng Sam Po Kong 
sebelum direnovasi, kecil kemungkinan di tempat itu pernah disimpan naskah2 
hingga sebanyak 2 pedati. Lalu mengapa disimpan di sana? Ingat Sam Po Kong 
aslinya hanya sebuah bangunan kecil dari kayu (dan baru direnovasi sekitar abad 
ke-19). Tidak ada orang yang pernah melihat naskah2 itu, walau katanya disimpan 
di Leiden. Ketika saya konfirmasi dengan para sejarawan lain mereka juga 
meragukannya.
Mengenai Cheng Ho. Kita sesungguhnya secara rinci tidak mengetahui apa yang 
dilakukan Cheng Ho di Jawa. Semua hanya katanya. Berita China sendiri 
memberikan keterangan yang tidak rinci. Jadi pandangan bahwa Cheng Ho 
mempercepat keruntuhan Majapahit adalah pendapat yang tidak masuk akal. Kalau 
benar Cheng Ho merupakan imperialis China. Apa modus operandinya? Ingat bahwa 
setelah Cheng Ho, kaisar Ming berikutnya malah menjalankan politik isolasi yang 
berlangsung hingga Zaman Qing. Kisah2 tentang Cheng Ho itu banyak diselubungi 
mitos. Bahkan tidak jelas bahwa Cheng Ho benar2 mengunjungi Semarang. Jangkar 
kapal di kelenteng Sam Po Kong sebenarnya adalah jangkar VOC. Jangkar kapal 
China zaman Ming tidak seperti itu bentuknya.
Menghadapi literatur2 konyol seperti itu, kita tidak dapat berdiam diri saja. 
Bukan karena kita keturunan Tionghua, tetapi karena itu adalah pembodohan 
sejarah. Sejarah ya sejarah, terlepas dari suku, agama, ras, ataupun golongan. 
Sejarah adalah ilmu seperti halnya matematika, kimia, fisika, sosiologi, 
geografi, dll. Jadi harus dibebaskan dari bias-bias emosional kesukuan, agama, 
dan ras.

Salam damai,

IT.


Kirim email ke