Pak Danardono benar, 

Bahwa nasionalisme seseorang tidak dilandasi oleh latar 
etnisitasnya. Sumbangsih seseorang untuk kemajuan bangsa dan negara 
tidak didasari oleh faktor etnisitasnya. Sehingga yang paling 
penting dilakukan adalah menciptakan ruang yang kondusif agar 
potensi positif seseorang untuk negara itu bisa berkembang. Dari 
pada meributkan latar etnisitas dan memprovokasi teori `asimilasi' 
apalagi menuding-nuding kalo tionghoa itu ekslusif tapi melupakan 
substansi permasalahan yang memiskinkan negara. 

Setau saya, Pak Siauw Giok Tjhan menolak kampanye-
kampanye `asimilasi'. Karena menurut beliau kampanye itu tidak 
mengupas akar masalah kemiskinan bangsa dan negara. Sehingga tidak 
punya arti untuk dibicarakan apalagi dikampanyekan. 

Dari pada omong masalah "ganti nama", "kawin campur" dsb maka akan 
lebih baik membicarakan masalah nation building, sistem ekonomi 
kerakyatan dan penciptaan demokratisasi di Indonesia. 

Saya kira pendapat bahwa sejak proklamasi golongan "asli" tidak 
pernah memiliki faktor ekonomi negeri tidak benar-benar tepat. 
Apalagi kalau kemudian golongan Tionghoa disebut-sebut sebagai 
penguasa sektor ekonomi Indonesia. 

Dari contoh perilaku hari-hari, saya berani konfirmasi bahwa 
kemiskinan rakyat banyak tidak mesti menjadi `kemiskinan' para 
pejabat. Begitu juga sebaliknya, "kemakmuran" para pejabat sampe 
perut mereka buncit tidak berarti "kesejahteraan" negara dan rakyat. 

Sejatinya adalah post-post penting ekonomi dikuasai oleh perusahaan 
asing yang mengeruk nilai tak terhingga. Negara dan bangsa hanya 
mendapat sedikit sekali. Segelintir elite dan pejabat mungkin 
mendapat porsi lebih banyak. Tetapi untuk rakyat, sangat 
memprihatinkan. 

Di samping perampokan perusahaan-perusahaan besar asing, kekayaan 
alam Indonesia juga dikelola dengan amat tidak efisien oleh BUMN. 

Perusahaan Listrik selalu merugi, komunikasi tidak pernah capai 
break even point, transportasi entah merugi berapa. Belum lagi 
perusahaan-perusahaan tambang dan minyak yang dikelola oleh BUMN. 
Semuanya merugi total. Kok bisa begitu?? 

Sub-Rosa II

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "RM Danardono HADINOTO" 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Pada dasarnya, sebagai bekas jajahan Belanda, Indonesia mengikuti 
azas 
> ius sanguinis, seperti hampir semua negara negara kontinental 
Eropa.
> 
> Anak dari orang Indonesia adalah automatis orang Indonesia. Anak 
orang 
> asing adalah orang asing.
> 
> Hal ini juga diterapkan dihampir semua negara Eropa, sebagai 
warisan 
> hukum. Namun, dengan timbulnya migrasi besar besaran, maka azas 
ini 
> tak menyelesaikan masalah, malah meruwetkan. Jutaan orang Turki 
> bermukim di Jerman.
> Karena itu di-introduksi azas campuran, antara ius soli dan ius 
> sanguinis. Orang asing, yang walau keturunan asing (ius 
sanguinis), 
> namun telah berada di negara Eropa sejak beberapa tahun ber-turut 
> turut, atau lahir di negara Eropa, berhak mendapatkan 
kewarganegaraan 
> negara Eropa (ius soli).
> 
> Di Setiap negara Eropa, teman teman yang sudah menjadi warganegara 
> Eropa dapat menjadi saksi, tidak membedakan antara warganegara 
mereka 
> yang sudah menjadi warganegara, apakah ia sudah sejak sebelum 
Yesus 
> lahir sudah disana, atau yang baru kemarin menjadi warganegara.
> 
> Semua warganegara Eropa wajib memiliki Surat Tanda Kewarganegaraan.
> Semua warganegara memiliki hak dan kewajiban yang sama, sampai 
dipilih 
> dan memilih. Menjalankan wajib militer, dsb.
> 
> Demikian, Indonesia juga harus memperlakukan warganya, apakah dia 
> sudah jadi kawula Nusantara sejak zaman Gajah Mada, atau baru 
kemarin 
> sore, secara sama.
> 
> Masalah yang ada, dibelakang sandiwara kewarganegaraan ini, 
adalah, 
> kesenjangan dan kecemburuan sosial. Indonesia merdeka dari 
Belanda, 
> tetapi dari awalnya tak pernah menjadi pemilik faktor ekonomi 
dinegara 
> ini. Mereka lalu membentengi diri dibalik status "asli", dimana 
mereka 
> berhak menduduki pos pos strategis, terutama militer dan polis, 
> pejabat pamong praja.
> 
> Sentiment anti Tionghoa menjiwai banyak sekali pemerintahan di 
> Indonesia, dari sejak awalnya. Ini terlihat dari kebijaksanaan 
yang 
> dibuat dibidang kewarganegaraan. Kelompok India, Pakistan, Arab, 
tak 
> pernah ditakuti, karena jumlahnya hanya segelintir.
> 
> Kekhawatiran ini masih menghantui sosok pemerintah kita, hampir 
tanpa 
> kecuali. Pak Harto bersemangat berkerjasama dengan segelintir 
keluarga 
> Tionghoa,yang dibuatnya menjadi kayaraya, namun setia dan selalu 
> menurut perintah. Namun at the same time, pak Harto menyadari, 
potensi 
> massa Tionghoa secara keseluruhan, bila diberi keistimewaan 
seperti 
> Oom Liem dkk.
> 
> Baperki, berupaya mati matian untuk menjembatani jurang antara 
> kelompok Tionghoa dan bangsa Indonesia, dan memberikan motivasi 
> masyarakat Tionghoa untuk berjuang disisi kaum nasionalis melawan 
> kapitalisme global dan kelompok fasis kanan. Baperki berhasil 
> menggalang kekuatan nasional saudara saudara Tionghoa yang berdiri 
> bahu membahu dengan kelompok nasionalis lainnya.
> 
> Kemudian terjadi peristiwa sedih 1965 dengan ulah beberapa sosok 
> Tionghoa, yang menguburkan massa Tionghoa yang nasionalis. 
> keterpurukan yang dialami menjadi agenda se-hari hari.
> 
> Ketika saya ke LN sebagai pemuda remaja, saya hanya mengenal 
sebutan 
> Tionghoa ssebagai sebutan resmi bagi saudara saudara kita yang 
berasal 
> dari Tiongkok. Di LN, saya dengar, istilah Tionghoa tak lagi 
dipakai, 
> diganti istilah lain. Sebagai orang yang menjadi tua, puluhan 
tahun 
> kemudian, saya tetap memilih memakai sebutan,yang saya pelajari 
dari 
> ayah, dan generasi perintis kemerdekaan, dari tokoh tokoh RRT yang 
> bahu membahu dengan kita dalam semangat Konperensi Bandung.
> 
> Kita harus bahu membahu, sebagai diajarkan pak Siauw G.T. untuk 
> menggalang semangat kebangsaan yang hanya mengenal satu 
> kewarganegaraan, warganegara RI. Lupakanlah ulah Sindhu dan konco 
> konco.
> 
> Bagaimana bunyi sebuah lagu Western? "He aint heavy, he is my 
brother!
> 
> Salam kebangsaan
> 
> danardono
>








.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke