SUARA PEMBARUAN DAILY 

--------------------------------------------------------------------------------

Regenerasi Teater Koma Lewat "Sampek Engtay"
 

Pembaruan/Alex Suban 

"SAMPEK ENGTAY 2005" - Sampek dan Engtay merantau ke Betawi yang merupakan 
adegan dari pementasan Teater Koma bertajuk "Sampek Engtay 2005" dipentaskan 
Senin (13/2). Produksi ke-109 ini dimainkan oleh generasi muda Teater Koma. 

PULUHAN kupu-kupu beraneka warna berterbangan dari langit-langit Gedung 
Kesenian Jakarta (GKJ), Senin (13/2) malam. Di atas pentas, dua anggota Teater 
Koma yang mengenakan pakaian warna putih lengkap dengan sayap berwarna serupa 
menarikan tari kupu-kupu dengan menawan. Cahaya yang ditata apik oleh Mulyono 
menambah daya pikat suasana. 

Kedua penari itu digambarkan seolah keluar dari kuburan Sampek yang telah 
dihancurkan atas perintah Kapten Liong (Sugi Haryanto) dan anaknya, Macun (Sena 
Sukarya). Puluhan kupu-kupu lainnya seolah berterbangan di atas panggung. 
Seolah mengiringi tari kebahagiaan Sampek (Paulus Simangunsong) dan Engtay 
(Tuti Hartati). Ah, siapa pula yang tidak bahagia bisa kembali dipersatukan 
kekuatan cinta dan kehendak yang maha kuasa. 

Adegan itu menandai babak akhir lakon kisah percintaan Sampek Engtay 2005 karya 
sutradara Nano Riantiarno, sang pendiri Teater Koma yang tidak pernah 
kekeringan ide pementasan. Pertunjukan semalam merupakan babak baru perjalanan 
Teater Koma. Kisah cinta tragis versi Teater Koma dimainkan anggota dari 
angkatan IX. tahun 2000 yang dibantu pemain dari angkatan X/2005. 

"Pementasan tadi merupakan upaya kami melakukan regenerasi. Pemeran Sampek dan 
Engtay dan sebagian besar pemain lainnya, baru pertama kali tampil di depan 
penonton sebanyak ini," kata Ratna Riantiarno, pimpinan produksi pertunjukan 
semalam. 

Paulus Simangunsong yang memerankan Sampek mengaku sempat grogi di menit-menit 
awal pertunjukan. Tapi setelah itu, Sampek, eh, Paulus pun seolah menjelma 
menjadi siswa sekolah yang kutu buku, tidak bisa membedakan antara struktur 
tubuh perempuan dan pria, dan yang pasti, jatuh cinta setengah mati pada 
Engtay. 

Akhir cerita, Sampek memang meninggal dunia karena cinta. Engtay yang juga 
mencintainya, harus menikah dengan Macun. Tapi kekuatan cinta pula yang kembali 
menyatukan mereka. Sosok Sampek dan Engtay seolah ada bersama para penonton di 
GKJ. 

Tuti Hartati yang memerankan Engtay tampil total. Ia mampu mengolah suara. 
Suara prianya saat ia mengajak Sampek ke taman bunga, lalu tiba-tiba muncul 
suara aslinya saat ia menyaksikan keindahan bunga dan kupu, sungguh merupakan 
demonstrasi hasil latihan keras di Teater Koma. 


Setia 

Lakon Sampek Engtay saat ini tidak bisa dipisahkan dari Teater Koma yang setia 
mementaskan kisah cinta dua anak manusia. Jangan salahkan Museum Rekor 
Indonesia (MURI) yang pada 2004 telah mencatatkan Teater Koma dalam daftar 
rekornya karena Nano dan kawan-kawannya telah 80 kali mementaskan lakon itu. 

Tunggu dulu, penghargaan diberikan bukan hanya karena jumlah pementasan tapi 
juga komposisi pendukunganya. Delapan puluh kali pementasan lakon Sampek Engtay 
selama kurun waktu 16 tahun ternyata didukung oleh tujuh pemain, empat pemusik, 
dan seorang sutradara yang sama. Rekor itu jelas merupakan demonstrasi 
kesetiaan berkarya versi Teater Koma. Rekor lainnya yang tidak bisa disangsikan 
lagi ialah, adanya penonton setia dari teater yang didirikan pada 1977. 

Kesetiaan penonton pada pertunjukan Teater Koma merefleksikan kejelian para 
pengelola teater untuk menampilkan olah tubuh dan suara para pemain, dukungan 
tim pemusik dan yang terpenting menjadikan tontonan yang menghibur. Jangan 
lupa, perjalanan panjang Teater Koma tidak bisa dilepaskan dari kemampuan 
mereka menyelipkan beragam persoalan hangat negeri ini dengan jenaka. Konsep 
itu yang menempatkan Teater Koma menjadi satu-satunya kelompok teater yang 
pementasannya selalu dipenuhi penonton. 

Mau bukti? Lebih dari 400 tiket untuk setiap pementasan Sampek Engtay 2005 di 
GKJ yang akan dipertunjukkan untuk umum mulai Selasa (14/2) hingga Kamis 
(16/2), sudah terjual habis. 

Nano, sang sutradara dan keluarga - bukan karena adanya Ratna Riantiarno 
istrinya, tapi karena hubungan emosi di antara anggota Teater Koma yang 
demikian guyub - memang terampil dan menyatu dalam kekompakan. Dan kekompakan 
serta kesadaran untuk melakukan regenerasi itu pula yang meraka tampilkan 
semalam di hadapan undangan khusus dan jurnalis. 

Nano menyadur cerita itu berdasarkan penyerapan 12 versi. Sang sutradara 
kemudian menjadikan kawasan Banten dan Betawi di masa penjajahan Belanda 
sebagai lokasi dan masa berlangsungnya kisah percintaan yang tragis itu. 
Apalagi pementasan itu didukung penataan panggung dengan dominasi warna merah 
ornamen Cina. Panggung dibiarkan terbuka lebar. Tapi di bagian belakang, 
tepatnya di bagian tengah, sebuah layar yang memperkuat suasana sudah 
disiapkan. 

Singkat kata, dahaga penonton setia Teater Koma telah terpuaskan meskipun 
bagian pertunjukan yang juga menggambarkan adegan panggung antara Roro Mendut 
dan Romeo lebih dipersingkat. Tapi adegan perjalanan rombongan Engtay bersama 
keluarganya muncul dari pintu masuk penonton dan kemudian berjalan di tengah 
para penonton di bawah bayangan cahaya, sungguh merapatkan hubungan emosi 
antara penonton dengan Teater Koma. Teknik jitu khas Teater Koma untuk selalu 
dikenang penontonnya. 


PEMBARUAN/AA SUDIRMAN 



--------------------------------------------------------------------------------

Last modified: 14/2/06 

http://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=211761
Rabu, 15 Feb 2006,
Kampung Naga, Aset Wisata yang Ditutup Warga karena Konflik 


Rumah Harus Menghadap Utara, Salat Hanya Setiap Jumat 
Kampung Naga adalah satu di antara aset wisata di Jawa Barat yang dikunjungi 
banyak turis asing. Warga di sana agak "nyeleneh" dalam beragama. Sayang, sejak 
6 Februari lalu, tempat itu ditutup oleh para tetua adat setelah berkonflik 
dengan pemerintah setempat. Mengapa? 

IWAN UNGSI, Tasikmalaya

Ketika wartawan koran ini tiba di Kampung Naga, hawa dingin langsung terasa 
menusuk tulang. Lokasi wisata itu berada di Kampung Lagok Dage, Desa Neglasari, 
Kecamatan Salawu, Tasikmalaya. 

Dari Tasikmalaya ke Kampung Naga sekitar 30 kilometer. Jalannya beraspal, tapi 
berkelok-kelok, dan naik turun. Mendekati lokasi, ada tulisan: Kampung Naga, di 
sebuah papan berukuran 10 cm x 20 cm, dengan warna dasar hijau. 

Tidak jauh dari papan itu, terdapat areal lapangan parkir yang bisa menampung 
puluhan kendaraan dan bus pariwisata. Wartawan koran ini mendapat informasi 
bahwa lokasi wisata di Kampung Naga termasuk favorit di Jawa Barat. Banyak 
turis asing maupun domestik berkunjung ke sana. Dari data yang diperoleh 
wartawan koran ini, dalam setahun kampung tersebut rata-rata dikunjungi 46.721 
orang. 

Namun, ketika wartawan koran ini berkunjung ke sana Minggu lalu (12 Februari), 
suasananya terasa sepi. Di areal parkir yang luas itu hanya ada satu-dua motor 
milik warga. "Sejak 6 Februari lalu, lokasi wisata di sini ditutup untuk umum. 
Sebaiknya Anda tanya saja ke kuncen (juru kunci), sekaligus tetua adat di 
Kampung Naga," kata seorang pemilik warung. 

Menuju ke Kampung Naga harus menuruni anak tangga berkelok-kelok yang punya 
kemiringan hingga 45 derajat. Mungkinkah karena tangga yang berkelok-kelok 
menyerupai naga ini, sehingga kampung tersebut disebut Kampung Naga? Ternyata, 
Kampung Naga tidak identik dengan naga. Nama itu berasal dari bahasa Sunda: 
Nagawir, yang artinya lereng bukit. 

Ketika kaki menginjak anak tangga ke-348, wartawan koran ini tiba di tepi 
Sungai Ciwulan yang dipenuhi bebatuan. Setelah menyusuri Sungai Ciwulan, 
akhirnya sampai juga di Kampung Naga. Di sana puluhan rumah gubuk berjajar 
rapi. Bentuknya cukup khas. Semuanya berbentuk rumah panggung, dengan bahan 
bambu dan kayu. Atapnya terbuat dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang. 
Sedangkan lantai rumah, semua seragam, terbuat dari bambu atau papan kayu. 

"Kampung Naga punya 111 bangunan, terdiri atas 108 Bumi Sunda (rumah) untuk 
menampung 108 kepala keluarga. Di sini juga ada 1 masjid, 1 bale patemon (balai 
pertemuan), dan 1 lumbung padi," terang Hehen Suhendri, wakil kuncen. 

Untuk rumah, mereka punya aturan khusus. Rumah harus menghadap utara atau 
selatan. Rumah juga tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau diberi cat meni. 
Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, meski ada yang mampu membuat rumah 
tembok atau gedung.

Selain itu, rumah di Kampung Naga tidak boleh dilengkapi perabotan seperti 
kursi, meja, dan tempat tidur. Juga tidak boleh punya daun pintu di dua arah 
berlawanan. Menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, tujuannya agar rezeki 
yang masuk rumah melalui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. 

Hal yang agak nyeleneh lainnya adalah kebiasaan warga menjalankan ibadah. 
Misalnya, warga yang memeluk Islam. Untuk salat lima waktu, mereka hanya 
melakukannya pada Jumat. Pada hari lain, mereka tidak salat. 

Kegiatan mengaji anak-anak hanya dilakukan Minggu malam dan Rabu malam. 
Sedangkan untuk para orang tua dilaksanakan Kamis malam. 

Aturan atau kebiasaan inilah yang menarik perhatian para wisatawan. Selain itu, 
hasil keterampilan tangan warga diminati wisatawan. "Kami membuat beberapa 
kerajinan tangan seperti sandal, tas maupun tempat makanan kecil. Kami juga 
memenuhi kebutuhan sendiri dengan mengolah hasil tanaman yang kami kelola," 
ungkap Hehen.

Sayang, lokasi wisata itu ditutup oleh para tetua adat sejak 6 Februari lalu. 
Ini setelah para tetua adat terlibat konflik dengan Pemda Tasikmalaya. "Sebagai 
manusia, kesabaran kami ada batasnya. Kalau disuruh memilih, kami warga Kampung 
Naga lebih baik tidak ada tamu (baca turis) saja. Toh, kami tetap bisa hidup 
tenang, bisa mencukupi kebutuhan dari mengolah sawah dan tegalan di sini," 
papar Hehen, didampingi Risman, ketua RT setempat.

Konflik seperti apa yang terjadi? Hehen menceritakan, konflik itu dipicu 
kebijakan Pemda Tasikmalaya yang secara sepihak menaikkan retribusi parkir 
hingga 100 persen sejak November 2005. "Semula, untuk parkir bus hanya Rp 25 
ribu. Kini, melonjak Rp 45 ribu. Sedangkan minibus dari Rp 12 ribu menjadi Rp 
25 ribu," paparnya.

Kebijakan ini dinilai tidak fair. Apalagi, lanjut Hehen, tidak sepeser pun uang 
retribusi tadi masuk ke kas Kampung Naga maupun untuk warga. Padahal, 
masyarakat harus membersihkan area parkir tersebut dari sampah dan kotoran. 
"Kalau dibilang ada yang melestarikan, itu tidak ada. Yang namanya 
melestarikan, ya kami sendiri yang harus berjuang untuk melestarikan adat kami. 
Yang ada hanya omong kosong belaka," kecamnya.

Karena itu, warga Kampung Naga sepakat menutup lokasi wisata tersebut untuk 
umum. "Kita akan tutup sampai persoalan selesai," katanya. 

Akibat penutupan ini, tidak hanya turis yang tak bisa masuk. Sedikitnya, 16 
lembaga penelitian yang tersebar di seluruh Indonesia harus menahan diri karena 
tak bisa melakukan penelitian di kawasan tersebut.

"Sebenarnya sampai saat ini banyak permintaan dari sekolah maupun universitas 
yang ingin melakukan penelitian ke sini," jelasnya. "Tapi, kami mohon maaf, 
terpaksa belum bisa kami layani," lanjutnya. 

Di bagian lain, Kepala Kantor Wilayah Dinas Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya 
Safari Agustin mengatakan segera mencari solusi untuk masyarakat Kampung Naga. 
"Kalau memang keinginan masyarakat setempat karena retribusi, akan kita 
turunkan," lanjutnya. "DPR telah membentuk pansus. Di pansus ini nanti 
diharapkan ditemukan jalan keluar yang terbaik baik bagi pemerintah maupun 
masyarakat setempat," ujarnya.(*) 


[Non-text portions of this message have been removed]






.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke