Renungan Seorang Patriot Indonesia

SIAUW GIOK TJHAN




Oleh: Siauw Tiong Djin

Mei – 2010







Perkembangan di Indonesia selama 12 tahun terakhir ini untuk komunitas Tionghoa 
menyejukkan. Berbagai UU dan peraturan yang mengandung rasisme telah berhasil 
dihapus. UU kewarganegaraan baru yang mengganti UU Kewarganegaraan 1958 
mengandung berbagai kepositifan. Tahun baru imlek telah dijadikan hari raya 
nasional dan perayaan bisa dilakukan secara terbuka. Bahasa Tionghoa bisa 
digunakan secara bebas. Sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa juga bisa dibuka dan 
dikembangkan secara bebas.




Kesemuanya ini adalah hasil perjuangan jangka panjang. Perjuangan membangun 
Nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Nasion yang terdiri dari 
berbagai suku bangsa. Nasion yang berlandaskan pluralisme dan apa yang kini 
dikenal di banyak negara maju sebagai multi-kulturalisme.




Akan tetapi sejarah menunjukkan bahwa apa yang tertera dalam UU atau Peraturan 
di sebuah era kekuasaan pemerintah, tidak menjamin pelaksanaan konsekwen. 




Di negara-negara maju seperti Australia dan Kanada, di mana Multi-kulturalisme 
telah dihukum-kan, di mana a citizenship based Nation telah diwujudkan, masih 
saja terjadi berbagai penyelewengan yang merugikan komunitas tertentu dan 
Nation yang dimaksud secara keseluruhan.




Di negara berkembang seperti Indonesia, kemungkinan adanya penyelewengan, baik 
yang terselubung maupun yang terang-terangan, bisa terjadi tanpa sanksi hukum. 
Bahkan, pergantian pemerintah, bisa membatalkan UU dan Peraturan yang membangun 
dengan UU dan Peraturan yang destruktif – tanpa mengindahkan dampak-dampak dan 
kecaman-kecaman dunia Internasional.




Ada sebuah contoh yang telah dilupakan banyak orang. Dalam awal kemerdekaan, 
salah satu tugas penting pemerintah RI adalah menentukan siapa yang mengisi 
keberadaan hukum Nasion Indonesia. BP KNIP sebagai Lembaga Legislatif 
mengeluarkan UU Kewarganegaraan 1946 yang menjadikan semua orang yang lahir di 
Indonesia, termasuk mereka yang berasal dari keturunan asing, warga negara 
Indonesia. Dengan demikian, semua yang lahir di Indonesia, menjadi warga negara 
pada waktu yang bersamaan. Yang tidak mau menjadi warga negara Indonesia, harus 
menolaknya di pengadilan. Mereka diberi waktu 2 tahun, yang kemudian 
diperpanjang hingga Desember 1951. Dengan demikian, hanya mereka yang menolak 
kewarganegaraan Indonesia pada bulan Desember 1951-lah menjadi Warga Negara 
asing. Yang lain, termasuk sebagian besar komunitas Tionghoa, secara hukum 
adalah warga negara Indonesia.




Ternyata perkembangan politik dan ekonomi, dengan silih bergantinya kabinet, 
memungkinkan UU kewarganegaraan ini dibatalkan dan diganti dengan UU 
Kewarganegaraan baru pada tahun 1958. UU yang merupakan kompromi antara 
kelompok yang ingin mempertahankan UU 46 dengan kelompok yang ingin menjadikan 
sebanyak mungkin orang keturunan asing, terutama Tionghoa, warga negara asing. 
Bilamana tidak ada perjuangan gigih, pembatalan UU 46 ini memiliki dampakyang 
sangat destruktif untuk pembangunan Nasion Indonesia. Hampir semua orang 
Tionghoa yang ada di Indonesia kini menjadi warga negara asing.




Generasi muda yang menghirup udara kemerdekaan di masa kini pada umumnya tidak 
menyadari bahwa kewarga-negaraan Indonesia yang dimilikinya ini, kebebasan 
melakukan adat istiadat Tionghoa, termasuk perayaan Imlek, penggunaan bahasa 
Tionghoa dan adanya alam pluralisme ini adalah hasil sebuah perjuangan jangka 
panjang yang dilalui dengan banyak pengorbanan lahir dan batin.




Generasi penerus-pun harus senantiasa sadar dan siap menghadapi kemungkinan 
berbagai UU dan Peraturan yang kini meng-outlaw rasisme dibatalkan. Untuk bisa 
efektif mencegahnya, mereka harus mengenal sejarah dan menggunakan pengalaman 
para pendahulunya sebagai pedoman.




Salah satu pejuang gigih dalam proses pembangunan Nasion Indonesia yang di 
singgung ini adalah Siauw Giok Tjhan. Karena aliran politik yang dianutnya, 
Siauw Giok Tjhan dan riwayat perjuangannya, sengaja dihilangkan dari sejarah 
Indonesia oleh Rezim Orde Baru. Kekuasaan yang menggantikannya hingga saat ini, 
tidak memiliki bahan dan juga tidak berkepentingan untuk membuka lembaran 
sejarah yang telah dilenyapkan ini.




Inilah dasar penerbitan buku Renungan Seorang Patriot Indonesia, Siauw Giok 
Tjhan – yang merupakan gabungan buku-buku dan tulisan Siauw Giok Tjhan dan buku 
pendamping, Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan Nasion Indonesia – yang saya 
tulis sebagai biografi politik, yang diluncurkan hari ini. Kedua buku ini 
menuturkan sumbangsih komunitas Tionghoa dalam pembangunan Nasion Indonesia 
dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan dan bagaimana berbagai 
kebijakan pemerintah yang melanggar UUD serta UU yang berlaku dilawan.




Ketokohan Siauw dalam sejarah berkaitan dengan upaya pembangunan Nasion 
Indonesia. Dan ini ia tempuh sejak tahun 1932 hingga ia meninggal pada tahun 
1981. Perjalanan panjang ini melibatkannya sebagai wartawan, pimpinan redaksi 
berbagai majalah dan surat kabar, anggota KNIP dan Badan Pekerja-nya, menteri 
negara, anggota DPR, anggota DPR-GR dan MPRS, anggota DPA dan ketua umum 
Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia), tahanan politik dan 
pelarian politik.




Pokok-pokok pemikiran yang dituangkan dalam kedua buku ini, masih bisa 
dijadikan bahan-bahan pertimbangan dalam menghadapi dan mencari jalan keluar 
jangka panjang untuk pembangunan Nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.







Manifesto Politik 1945 Dan Kewarganegaraan Indonesia




Perjuangan politik Siauw dalam pembangunan Nasion Indonesia berlandaskan salah 
satu janji yang terkandung dalam Manifesto Politik 1946, yaitu pemerintah akan 
menjadikan semua orang keturunan asing yang lahir di Indonesia warga negara dan 
patriot Indonesia dalam waktu sesingkat mungkin.




Jiwa proklamasi 1945 yang terkandung dalam Manifesto Politik ini terwujud 
karena kehadiran beberapa tokoh Tionghoa dalam kancah perjuangan kemerdekaan, 
di antaranya Liem Koen Hian, Tan Ling Djie, Yap Tjwan Bing, Oey Gee Hwat, Tjoa 
Sik Ien dan Siauw Giok Tjhan.




Peranan politik penting yang dimainkan Tan Ling Djie sebagai sekretaris jendral 
Partai Sosialis, partai yang berkuasa di awal kemerdekaan, menyebabkan Badan 
Pekerja KNIP melahirkan UU Kewarganegaraan 1946 yang disinggung di atas. 




Sejak tahun 1932, dengan masuknya Siauw dalam Partai Tionghoa Indonesia yang 
dipimpin oleh Liem Koen Hian, Siauw telah berpedoman bahwa komunitas Tionghoa 
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tubuh Nasion Indonesia. Dan 
kewarganegaraan Indonesia adalah landasan hukum keberadaan Nasion Indonesia.




Yang diperjuangkan oleh Siauw adalah terwujudnya sebuah Nasion yang bersandar 
atas Kewarganegaraan – a citizenship based nation. Bentuk hukum yang diidami 
ini tidak memungkinkan rasisme berkembang, karena ia akan melanggar hukum. 
Setiap warga negara di mata hukum sama. Dan latar belakang etnistas-nya tidak 
memiliki peranan dalam keberadaannya sebagai warga negara.




Ini-pun tidak memungkinkan dihukumkannya istilah “asli”. Karena faktor 
biologis, seandainya memang ada orang yang bisa membuktikan dirinya “asli” 
Indonesia, tidak memiliki peranan dalam hukum. 




Inilah esensi perjuangan Baperki – Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan 
Indonesia yang ia pimpin dari tahun 1954 hingga ia dibubarkan pada tahun 1966. 
Baperki lahir sebagai reaksi terhadap arus politik yang ingin membatalkan UU 
Kewarganegaraan Indonesia 1946 dan yang menginginkan sebanyak mungkin orang 
Tionghoa di Indonesia berstatus warga negara asing.




Perjuangan Siauw dan Baperki, baik di dalam maupun luar parlemen, berhasil 
mencapai kompromi yang membatasi di “asing”kan-nya banyak orang Tionghoa, baik 
dengan dikeluarkannya UU kewarganegaraan 1958 maupun dengan diratifikasinya 
Perjanjian Penyelesaian Dwi Kewarganegaraan antara RI dan RRT pada tahun yang 
sama.




Salah satu legacy yang ditinggalkan oleh Siauw dan Baperki adalah keberadaan 
sebagian besar komunitas Tionghoa di Indonesia sebagai warga negara Indonesia, 
di masa kini.




Bhinneka Tunggal Ika




Sejak tahun 1958-an, Siauw telah berargumentasi bahwa beberapa komunitas 
Tionghoa yang sudah menetap di berbagai daerah di Indonesia selama ber-ratus 
tahun memiliki kwalifikasi suku. Berdasarkan pengertian ini, ia menuntut 
komunitas Tionghoa secara keseluruhan diterima sebagai salah satu suku yang 
tidak terpisahkan dari tubuh Nasion Indonesia.




Tuntutan Siauw ini akhirnya diterima oleh Soekarno pada tahun 1963 di acara 
kongres Baperki ke 8. Memang bisa timbul berbagai perdebatan ilmiah, pro dan 
kontra.




Akan tetapi motivasi Siauw sebenarnya mudah dimengerti. Ia ingin mempermudah 
upaya-nya dalam menjunjung tinggi Nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal 
Ika, Nasion yang terdiri dari berbagai suku bangsa.




Bilamana komunitas Tionghoa diterima sebagai salah satu suku, konsep Bhinneka 
Tunggal Ika mudah dipergunakan sebagai alat ampuh dalam melawan rasisme.




Komitmen perjuangan mewujudkan Nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika 
inilah yang mendorong Siauw menyebar-luaskan konsep integrasi wajar. Semua 
suku, termasuk Tionghoa, meng-integrasikan dirinya dalam tubuh Nasion 
Indonesia, tanpa menghilangkan ciri-ciri dan menanggalkan adat istiadat 
etnisitasnya.




Siauw berpendapat bahwa ukuran seseorang sebagai patriot sejati tidak berkaitan 
dengan nama, agama, aliran politik dan latar belakang etnisitas-nya. Ukuran 
utamanya, adalah sikap dan sumbangsih kongkrit terhadap Bangsa dan Negara 
Indonesia. Oleh karena itu, Siauw menentang konsep assimilasi yang hendak 
mengaitkan patriotisme dengan latar belakang ras dan ciri-ciri etnisitas.




Konsep integrasi ini di banyak negara maju kini lebih dikenal sebagai 
multi-kulturalisme. Penetrapannya dihukumkan di negara-negara seperti Australia 
dan Kanada.




Rasisme di negara-negara maju sudah lama di out-law. Perkembangan di Indonesia 
memang menyejukkan karena di sini-pun sekarang rasisme telah dinyatakan sebagai 
pelanggaran hukum. 







Pengembangan Modal Domestik




Siauw sangat mendukung kehadiran UUD pasal 33 yang menginginkan semua kekayaan 
alam dikuasai negara untuk menjamin kemakmuran Rakyat. 




Akan tetapi animo para tokoh politik dari awal kemerdekaan hingga kini, untuk 
melaksanakan pasal UUD ini secara konsekwen tidak pernah besar. Yang berkembang 
sejak kemerdekaan Indonesia terkonsolidasi pada tahun 50-an malahan arus 
peng”asli”-an bidang ekonomi yang dijalankan dan dikembangkan oleh komunitas 
Tionghoa sejak zaman penjajahan, yaitu transportasi, distribusi sembako, 
perdagangan eceran dan penggilingan padi.




Siauw berargumentasi bahwa modal di bidang ini walaupun sebagian besar dimiliki 
dan dikembangkan oleh pedagang-pedagang Tionghoa, baik totok maupun peranakan, 
sangat membantu pembangunan ekonomi nasional, yang erat berkaitan dengan 
pembangunan Nasion Indonesia. Oleh karenanya, ia seharusnya dilindungi dan 
dibantu perkembangannya, bukan dirongrong bahkan dirusak oleh berbagai 
kebijakan rasis.




Siauw menyesalkan pola pikir banyak tokoh nasional yang memusatkan perhatian 
dan tenaga untuk meng”asli”kan usaha-usaha yang dimiliki Tionghoa. Perjuangan 
gigihnya di parlemen memperoleh dukungan fraksi berpengaruh yang dipimpinnya, 
Fraksi Nasional Progresif. Dan di zaman Demokrasi Terpimpin, formulasi Siauw 
tentang pengembangan modal domestik yang dimiliki komunitas Tionghoa mask dalam 
GBHN dan DEKON. Lagi-lagi sejarah menunjukkan bahwa GBHN dan DEKON yang baik 
ini tidak menjamin pelaksanaan yang mendukungnya. Pelanggaran dilakukan secara 
terang-terangan.




Pergantian politik pada tahun 1965 menghapuskan kebijakan yang membangun ini. 
Pemerintah Orde Baru menggantinya dengan berbagai kebijakan rasis yang 
merugikan pembangunan ekonomi nasional meraja lela.




Pendidikan 




Dalam menghadapi kebijakan rasis yang membatasi ruang lingkup pendidikan untuk 
komunitas Tionghoa, Siauw mengajak Baperki bersikap positif. Dalam waktu 
singkat, sejak tahun 1958 hingga akhir hidupnya, baperki berhasil membangun 
jaringan pendidikan yang terdiri dari ratusan sekolah yang menampung sekitar 
seratus ribu siswa dan beberapa kampus universitas – Universitas Respublica, 
yang menampung ribuan mahasiswa. Tanpa jaringan pendidikan Baperki, sebagian 
besar dari mereka ini tidak akan memiliki kesempatan untuk memperoleh 
pendidikan.




Melalui jaringan pendidikan ini, Baperki mendidik siswa-nya untuk mencintai 
Indonesia dan bukan saja mengerti politik tapi juga berpartisipasi dalam 
kegiatan politik.




Lepas dari aliran politik yang dianutnya, Siauw dan Baperki berhasil menanamkan 
kecintaan terhadap Indonesia. Sebagian besar siswa Baperki berasal dari 
komunitas Tionghoa totok yang tanpa Baperki akan berkiblat ke Tiongkok. 




Dampak positif pendidikan politik yang walaupun singkat tetapi intensif ini 
adalah hadirnya banyak mantan URECA dan PPI (Permusyawaratan Pemuda Indonesia) 
– Pemuda Baperki, sebagai pelopor pendirian organisasi-organisasi Tionghoa 
setelah Soeharto jatuh 12 tahun yang lalu.


Menunggal dengan Rakyat




Siauw mengajak massa Baperki untuk memperjuangkan diwujudkannya sebuah kondisi 
yang memungkinkan suku Tionghoa secara wajar meng-integrasikan dirinya dalam 
tubuh Nasion Indonesia dan menjadikan aspirasi Rakyat aspirasi komunitas 
Tionghoa. Menurutnya, ini akan mendorong para suku lain untuk menerima suku 
Tionghoa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Nasion Indonesia. Bila ini 
tercapai, rasisme tidak akan bisa berkembang. 




Ia berpendapat bahwa perjuangan mewujudkan kondisi ini memakan waktu lama dan 
harus dilakukan dalam semua bidang. Inilah yang mendorongnya untuk menjadikan 
Baperki alat pendidikan politik efektif. Massa-nya dikerahkan untuk berpolitik 
mendukung arus pembangunan Nasion Indonesia yang tidak mengenal istilah “asli” 
dan tidak memungkinkan rasime berkembang. Baperki tercatat sebagai organisasi 
masa Tionghoa yang terbesar dalam sejarah Indonesia.




Kedekatan Siauw dengan Soekarno dan PKI menyebabkan ia dan Baperki berada di 
posisi musuh kekuatan politik kanan yang dipimpin oleh Angkatan Darat. 
Akibatnya ketika kekuatan kanan mengambil alih kekuasaan politik pada akhir 
1965, Baperki hancur dan Siauw bersama banyak tokoh Baperki lainnya ditahan.




Setelah meringkuk 12 tahun sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan 
apa-pun dan setelah hidup di luar negeri sebagai seorang pelarian politik, 
Siauw tetap berkeyakinan bahwa UUD-45, Bhinneka Tunggal Ika dan Panca Sila 
adalah kerangka yang akan membawa Indonesia ke alam demokrasi dan kemakmuran. 
Inilah dasar pidato yang ia ingin sampaikan pada tanggal 20 November 1981 di 
Universitas Leiden di hadapan para Indonesianis Belanda. Ia tidak berkesempatan 
untuk menyampaikannya karena beberapa menit sebelum acara dimulai, ia meninggal 
dunia karena serangan jantung.




Sampai saat terakhir, ia tetap berkeyakinan bahwa jalan keluar yang paling 
efektif untuk komunitas Tionghoa adalah meng-integrasikan dirinya dalam tubuh 
Nasion Indonesia dan menunggal dengan Rakyat. Dengan menjadikan aspirasi Rakyat 
aspirasinya dan dengan bahu membahu bersama suku lainnya membangun Indonesia, 
komunitas Tionghoa akan mengecapi ketenteraman dan keharmonisan yang didambakan.




Partisipasi banyaknya pembicara dari berbagai aliran politik dan suku bangsa di 
acara ini merefleksikan kepribadian Siauw Giok Tjhan. Pak Harry Tjan mungkin 
bisa memberi kesaksian bahwa salah satu kekuatan Siauw adalah kemampuannya 
berdiskusi bahkan bekerja sama dengan siapa-pun, baik yang mendukung 
kebijakan-nya, maupun yang menentangnya. Inilah norma demokrasi sesungguhnya.




Diharap diskusi ini membuahkan pengertian yang lebih mendalam tentang 
pentingnya pembangunan Nasion Indonesia. 
















Kirim email ke