TANGGAPAN SAUT SITUMORANG UNTUK MANNEKE BUDIMAN Posted by: Saut Situmorang E-mail: [EMAIL PROTECTED] Sun Sep 16, 2007 7:50 am (PST) hahaha...manneke! beginilah cara seorang "kritikus sastra" akademis kita membaca! betapa lugunya!!! saya tantang "kritikus" kita ini untuk membuktikan bahwa puisi saya "bantul mon amour" itu memang puisi yang "mengeksploitasi" seks! "eksploitasi seks" merupakan salah satu isu Pernyataan Sikap Ode Kampung, kalok dia memang bener "sarjana sastra" yang tahu membaca teks!
jangan-jangan dia, manneke budiman itu, jual bacot kalok gak berani buktiin! seorang "kritikus sastra" harus dingin dalam subjektivitas pembacaannya terutama dalam melihat teks sastra. tidak jadi pengecut karena unsur-unsur ekstra-literer! itu yang saya pelajarin di Sastra Inggris, Victoria University of Wellington, New Zealand. Saya cuman S1 Sastra Inggris tapi saya tantang manneke budiman untuk membahas puisi saya! soal "isi" jurnal sastra boemipoetra yang dibilangnya "kasar" dan kami yang "norak...tak punya kesantunan", ini cuman menunjukkan asal-asalannya mutu sarjana sastra satu ini! dia gak pernah baca jurnal kaum dada atau surrealis dengan manifesto-manifesto nya itu dan banyak "majalah kecil" lainnya di dunia ini tapi lagaknya mau jadi "kritikus sastra" kita! kacian... soal novel ayu utami dll itu, seorang bule orang asing sudah menulis tentangnya dan membukukannya. jawablah tesis eseinya itu! kau kan orang asli indonesia, lahir dalam bahasa indonesia, dan sarjana sastra lagi, kok gak mampu membalas tulisan Katrin Bandel yang orang asing itu! beginikah mutu dosen sastra kita!!! kacian... c'mon, man!!! hahaha... -saut situmorang ======================================== From: Manneke Budiman, Canada E-mail: [EMAIL PROTECTED] Lepas dari "dosa-dosa" TUK yang telah diinventarisasi secara dramatis oleh Rumah Dunia dan disebarkan di jurnalnya, Bumiputra, saya respek pada sikap yang diambil GM dalam wawancara ini. Ada dua hal yang penting digaris bawahi: Pertama, bahwa GM memperlihatkan sikap yang bertolak belakang dari yang dipertunjukkan lawan-lawannya yang konon anti-sastra kelamin itu. Ia bahkan sempat secara objektif memuji karya cipta Saut. Ia bahkan tidak menyetujui reaksi berlebihan yang diperlihatkan sebagian pembaca atas isu agama dalam puisi Saut. Siapapun yang terbebas dari kubu-kubuan justru akan mendapat kesan bahwa GM malah bersimpati kepada Saut alih-alih mendukung pengganyangan terhadap penyair yang mukim di Yogya itu. Kedua, wawancara ini memberikan perkenalan singkat tapi cukup baik dengan TUK: bahwa ternyata TUK bukanlah sebuah kubu monolitik tempat para "anggotanya" makan, tidur, dan ngelantur, melainkan cuma sebuah ruang longgar tempat orang bertukar gagasan. Buat yang tahu TUK, akan juga tahu bahwa yang namanya Nirwan Dewanto, Sitok Srengenge, Hasif Amini, dll itu kumpul bukan cuma buat saling amin-aminan, tetapi kerap mereka juga berantem sendiri karena memang masing-masing punya ideologi sendiri. TUK bukan sekte, tetapi arena. Siapapun boleh nongkrong di situ, tak peduli apa latar belakangnya. Saya ke TUK sangat jarang, mungkin sekali atau dua kali setahun, kalau ada acara-acara besar. Tapi saya tak merasa dikucilkan, atau mendapat kesan bahwa mereka yang di TUK itu adalah gerombolan seperti yang hendak diisyaratkan oleh Saut dkk lewat Jurnal Bumiputranya. Kritik buat TUK harus selalu dilontarkan, dan TUK mustahil bisa mencegah kritik dari pihak manapun. Namun, jika kritiknya dilontarkan dengan cara kasar seperti yang dipertunjukkan oleh Rumah Dunia Banten, saya khawatir simpati masyarakat justru berbalik kepada TUK, dan para pengkritiknya malah yang akan dapat label sebagai kelompok norak yang tak punya kesantunan. Mungkin, dalam kesempatan ini, ada baiknya mendengar dari banyak orang, bila perlu dari Saut Situmorang sendiri, sajaknya yang di Republika itu bisa digolongkan sebagai sastra Syahwat Merdeka atau tidak? Apa kriteria untuk memutuskan bahwa novel Saman adalah sastra lendir, sementara puisi Saut bukan? Ayo kita sama-sama belajar. Saya tunggu pencerahannya. manneke ___________________________________ From: Tuty Umayati Kusworo, Jakarta E-mail: [EMAIL PROTECTED] Saya salut dengan alur wawancara ini. Namun saya juga ingin bertanya: 1. Apakah sajak Saut Situmorang yang menghubungkan perbuatan seks dengan dewa-dewa Bali itu, karena menyebut "buah dada" dan "menggilir", sudah ditanggapi oleh Bapak Taufiq Ismail yang tidak suka kepada yang gitu-gitu itu? Beliau kan mengatakan ada FAK (Fiksi Alat Kelamin) dalam sastra sekarang dan marah-marah. Menariknya, beliau marah-marah sama Ayu Utami, sama seperti Saut. Lha sama-sama musuh Ayu, kedua laki-laki itu, si Saut dan Taufiq Ismail itu kan? 2. Apakah Taufiq Ismail dan Mas Ahmadun nan Republika itu mendiamkan atau membiarkan sajak Saut itu karena "hanya" menyebut dewa-dewa Hindu, dan bukan Nabi atau Allah? Tolong jawab dong Mas Ahmaddun. 3. Apakah tanggapan Saut tentang pendapat Taufiq Ismail yang mau perang jihad melawan FAK dan masuknya unsur erotis dalam sastra? Dengar-dengar, yang diincer Taufiq Ismail itu ya TUK (eh, bukan gue nih, Tuty Umayati Kusworo). 4. Lha katanya ada pernyataan "Ode Kampung" yang anti seksualitas sebagai prinsip ini itu. Bagamana pendapat mereka ya? Salam, TUK (Tuty Umayati Kusworo) ___________________________________ From: Cecilia Maxime, Palembang E-mail: [EMAIL PROTECTED] Teman-teman, Tanggapan positif Manneke Budiman terhadap wawancara Rizka Maulana dengan Goenawan Mohamad tidak berlebih-lebihan dan aku setuju 100%. Meskipun saben hari Rumah Dunia dan Saut menyerang TUK, tokoh TUK GM dengan tenang sama sekali tidak mengecam sajak Saut, dan dia mengatakan ada sajak-sajak Saut yang dia suka. Malahan, meskipun ia memahami kalau ada teman Hindu Bali yang tersinggung, tetapi GM membela Ahmaddun, redaktur Republika yang memuat sajak yang dianggap menghina kaum Hindu Bali. GM percaya, Ahmaddun tidak bermaksud menghina. Sedangkan tentang TUK, aku juga jadi lebih dapat membayangkan apa itu TUK. Aku percaya yang dikatakan Manneke Budiman, yang di kalangan mahasiswa sastra dicintai. Pak Manneke kan dikenal dedikasinya sebagai guru dan kepakarannya dalam bidang kesusastraan. Akan tetapi bagi aku, itu sih tidak penting-penting amat. Bagi aku yang penting kulihat adalah mutu karya para seniman dan sastrawan itu semua. Aku suka esai GM di Harian Kompas yang berjudul "Kota, Waktu, Puisi" dan juga sajak Nirwan dan Sitok dan banyak sekali sajak lain yang dimuat di Kompas Minggu. Yang tidak dimuat satu halaman penuh juga bagus kok. Tapi jangan kewatir, aku juga suka sama sajak Saut!!! Jadi sebenarnya dalam karya para sastrawan tidak perlu saling mengata-ngatai, dengan memakai kata seperti misalnya "Ayu Tapi Mambu" untuk menyerang Ayu Utami atau GM yang ditulis sebagai gigolo. Kalau masih terus begitu, konyol namanya. Cecillia Maxime S. ___________________________________ From: Bismo Kusumo E-mail: [EMAIL PROTECTED] Sebagai sekadar konsumen karya-karya seni budaya, saya setuju dengan pendapat dan stand point Mas GM dan juga sdr Manneke Budiman terhadap permasalahan terkait. Mindset beliau-beliau ini hemat saya sudah sepenuhnya bercorak postmodernisme, jadi secara internasional: kontemporer. Terutama dalam hal sikap tenang dan legowo saja mempersilakan 1001 pendapat agar eksis bersama dan sekaligus. Tidak harus lalu dibabat laksana yang pernah terjadi semasa Revolusi Kebudayaan di RRT pada awal tahun 1970an - seabad yang lalu. Silakan saja pemikiran dan karya yang mana akan disukai, atau tidak, oleh siapa saja. Tanpa bermaksud mengkultuskan Mas GM, sikapnya dalam interview itu sungguh cocok dengan kebegawanan yang konon telah melekat padanya. Sebagai eksil, saya baru sekali menonton TUK, pada 1997, dan senang sekali dapat bertemu dan ngopi dengan Mas GM, yang sebelumnya pernah mengunjungi Praha, tidak lama usai ambrolnya Tembok Berlin. Btw., novel Saman (Ayu Utami) yang menarik dan agak mengingatkan saya pada karya-karya Gabriel Garcia Marquez sudah diterjemahkan ke bahasa Ceko dan diharapkan akan terbit pada autumn ini. Saya agak terkejut dengan adanya istilah "sastra lendir", sastra "syahwat merdeka" dan semacamnya. Tetapi dalam keadaan semacam ini, saya selalu ingat pada kata "Lain Ladang, Lain Belalang". Sebagai eksil di Eropa Tengah hampir 5 dekade tentu mindset saya sudah lain. Baiknya, anak sulung saya bernama Sylvie yang pernah belajar Antropologi Budaya menasehati: "Pak, kalau sudah begitu jangan menvonis, cermati saja!" Salam, Bismo DG, Praha, Czech Rep ___________________________________ From: R.M. Danardono Hadinoto, Austria E-mail: [EMAIL PROTECTED] Soal melecehkan agama atau kepercayaan lain dalam republik ini, rupanya sudah menjadi kebiasaan, dan dianggap sah sah saja. Padahal, fenomena ini menunjukkan adanya api dalam sekam, yang suatu saat pasti meledak. Ketidakmampuan bangsa ini bermulti budaya dan mengakui pluralisme, suatu saat akan membelah bangsa ini. Soon or later. Salam Danardono ___________________________________ From: Saut Situmorang, Yogyakarta E-mail: [EMAIL PROTECTED] Hahaha... Pengantarnya aza udah tendensius! Gimana kalok yang mewawancarai Goenawan Mohamad itu saya: Saut Situmorang! Kalok buat wawancara, yang benar dong. Yang secara jurnalistik berani dong, bukan satu arah. Wawancara itu harus punya konsep jelas, bukan kayak ngasih soal menjawab "multiple-choice" anak SMA, paling gak si pewawancara ngerti isu yang menjadi latar wawancaranya. Mosok soal jurnalisme yang sangat elementer gini pewancara di bawah gak paham! Bagi saya ini bukan wawancara tapi memberi akses LAGI kepada TUK untuk bikin propaganda. Perhatikan bahasa "demokratis" dan "berjiwa besar" yang dipake dengan sangat lihai oleh Goenawan Mohamad! Inilah mutu wawancara jurnalisme Indonesia! Kasihan... -saut situmorang Moblog (Moderator Blog): Silakan Bang Saut segera susun pertanyaannya. Nanti biar dijawab oleh GM via email. ___________________________________ From: Heri Latief, Amsterdam E-mail: [EMAIL PROTECTED] Apa kabar Bung Manneke? Salam kenal. Saya baca tanggapan Anda tentang wawancara GM menanggapi "kritik sosial" dari para seniman pinggiran (Ode Kampung Serang). Wah kelihatannya komentar Anda tersebut dipakai sebagai alat untuk mensucikan persoalan. Saya jadi heran jugak, rupanya para penganut "humanisme universal" (diantaranya GM), sekarang ini seperti bangga punya kekuasaan (budaya), yang "terasing" dari akarnya (indonesia), eksesnya adalah terjadinya perbedaan kelas dalam praktik2 kebudayaan (kotaan vs kampungan). Apalagi kita tahu, mendukung kenaikan harga BBM adalah menghancurkan rakyat miskin indonesia yang memang udah melarat berat. Ah, awak ini apalaaa..., sedangkan kaum intelektual (bermodal) maunya kemajuan (postmodernis), tapi tanpa melibatkan pendapat khalayak ramai, apalagi kita taulah, bahwa barat (modal) berusaha memecah belah kita di segala bidang (!), supaya nantinya gampang mendikte apa yang dimaui oleh pihak barat (modal). Gitu kan? Makasih atas perhatiannya. salam, heri latief amsterdam From: Manneke Budiman, Kanada E-mail: [EMAIL PROTECTED] Bung Heri di Negeri Belanda, Terima kasih untuk tegur sapanya. Saya harap para miliser punya pemikiran jernih, sehingga andaikata pun komentar saya dimanfaatkan untuk tujuan lain, mereka masih bisa membentuk opininya sendiri secara objektif dan tak terseret kesana-kemari. Tak bisa disangkal, TUK sekarang punya kedudukan dominan dalam blantika seni dan pemikiran di Jakarta (saya masih ragu untuk menyebut "di Indonesia). Itu sebabnya, pada titik ini saya rindu melihat adanya kritik yang bermutu terhadap TUK. Kritik ini perlu, khususnya bagi institusi apapun yang mulai menjadi dominan. Saut dkk, juga kelompok Rumah Dunia dan Ode Kampung, punya kesempatan yang sangat baik untuk mengawali lahirnya kritik-kritik bernas dan berbobot terhadap TUK. Maka itu, sayang jika momentum yang bagus ini dibuang hanya untuk melampiaskan kekesalan dalam bentuk yang asing bagi masyarakat seni (saya menolak memakai paradigma "kotaan" dan "kampungan" di sini, karena bukan itu masalahnya). Jika bicara kesenian, ayo kita lancarkan kritik seni yang mampu membuka mata orang banyak dan, jika mungkin, melahirkan suatu zaman kesenian yang segar dan baru. Bisa jadi, dengan TUK menjadi dominan, maka ada ancaman stagnasi pemikiran di situ. Maka, Saut dkk bisa ambil peran sebagai agen perubahan dalam hal ini. Ini harapan saya, tetapi sejauh ini saya belum melihat hal itu terjadi. Malah sebaliknya, saya melihat adanya serangan bergaya preman, yang mungkin jauh dari gambaran orang tentang apa itu seni dan seniman. Soal dukungan GM terhadap kenaikan BBM, saya pribadi turut menyesalkannya. Bukan karena kenaikan harga BBM itu sendiri, yang seharusnya bisa memutus parasitisme kaum berduit yang mampu tapi turut menghisap subsidi BBM yang mestinya dinikmati kaum miskin. Penyesalan saya disebabkan oleh kurang kerasnya suara kelompok pendukung kenaikan harga BBM dalam menuntut pemerintah untuk menciptakan kebijakan BBM yang berpihak pada kaum miskin. Dalam kenyataannya, kita menyaksikan kenaikan itu lebih banyak memukul kaum miskin daripada orang berduit. Namun, di atas persoalan ini semua, Bung Heri, saya membedakan kritik saya terhadap pemikiran GM dan TUK sebagai seniman dan dukungan politis mereka terhadap kenaikan BBM. Saya tak sudi membodohkan diri sendiri dengan mencampuradukkan kedua permasalahan itu dalam memberikan tanggapan terhadap laku GM. Mengenai apakah GM dan TUK dapat dikategorikan sebagai kaum "postmodernis", dan apakah mereka "didikte Barat," tak etis bagi saya untuk berkomentar di sini, dan saya lebih suka fokus pada perseteruan Saut dkk dengan TUK saja. Senang berkomunikasi dengan Anda, dan saya tunggu kabar berikutnya dari Amsterdam. salam kenal juga, manneke ___________________________________ e-mail: [EMAIL PROTECTED] blog: http://mediacare.blogspot.com --------------------------------- Got a little couch potato? Check out fun summer activities for kids. [Non-text portions of this message have been removed]