Tulisan rekan Robby Wirdja Huang alias Dada.

http://parahyangan.wordpress.com/2008/03/29/trauma-sejarah-masa-lampau-tionghoa/

Tragedy masa lampau adalah peristiwa-peristiwa negatif yang terjadi
masa silam. Peristiwa adalah dimana orang tidak lagi menjadi tuan atas
dirinya , dan terseret secara tak berdaya yang tidak mampu di lawan
atau dikendalikan. Hasil dari peristiwa negatif adalah trauma , yang
bisa dengan drastis mengubah sikap individu atau kelompok. Walau
trauma adalah ekses dari suatu peristiwa , tetapi dia bersifat seperti
kamera dengan night mode , membekukan peristiwa , dengan tangan yang
gemetar , dan dengan hasil jepretan yang blur , yang akhirnya
mengabadikan peristiwa yang sesungguhnya. Dalam keadaan trauma , yang
di pikirkan adalah melebih-lebihkan sisi gelapnya. Dan mengembik
seperti kambing . Saya , kenapa saya . Kita , kenapa kita mengalami
semua ini? Masa lampau telah lama lewat , dan trauma terus
menjerumuskan manusia terus berkubang kepada masa lampau. Terjadi
mekanisme repetitif antara mengingat disaat ingin melupakan , vice
versa. Hasil dari semua itu adalah prasangka …

Contoh mekanisme repetitif adalah pembahasan memamah biak kembali masa
lampau , yang lebih menyerupai mengindoktrinasi massa. Alih - alih
mencegah terjadinya perulangan peristiwa negatif seperti kerusuhan Mei
, dan kerusuhan lainnya , tetapi hanya menumbuhkan prasangka. Jika di
tarik mundur terus ke belakang , inilah penyebab terjadinya perang
sepanjang masa. Karl May dalam "Et Pax In Terra" mengatakan ," Pada
mulanya prasangka. Tentu kita melihat hasil tersebut dalam konflik
abadi Sinhala dan Tamil yang berusia ratusan tahun. Dan konflik Israel
- Arab yang telah berusia ribuan tahun. Prasangka tumbuh besar dan
sehat menjadi dendam , permusuhan abadi.

Martin Heideger dalam Discourse of Thinking mengatakan. Massa tidak
pelupa , tetapi tidak berpikir . Dalam ketidak berpikiran , massa
tidak hanya melupakan , tetapi juga mengingat. Bagian dari ketidak
berpikiran adalah prasangka. Dalam pembahasan Nanking . Disini
pembahasan yang sempat marak di milist ini lebih menonjolkan emosi
daripada rasio. Begitu pula dalam pembahasan lain seperti Soeharto ,
Cina vs Tionghoa , Kamp konsentrasi . Orang berlomba mengklaim
mengetahui sejarah , dan memanfaatkan sejarah untuk menuding pihak
lain (Andaikan Soeharto tidak begini , maka saya tidak akan bernasib
begitu), memanfaatkan sejarah untuk menghibur diri (kebudayaan
tionghoa yang banyak dicuri oleh barat).Tetapi saya menangkap adanya
impotensi dalam menangkap makna sejarah. Berandai - andai dalam dunia
yang sempit , andaikan Soeharto tidak begini maka Aku tidak akan
begitu. Padahal ada keterkaitan antara peristiwa yang satu dengan yang
lain. Dalam kasus Nanking , ataupun agresi Jepang. Yang disorot adalah
dampak kekejamannya saja. Kenapa perandaian tidak diperluas jauh lebih
kompleks. Andaikan Jepang tidak menyerbu Tiongkok , Chiang Kai Sek
tetap bercokol di Tiongkok , dan Tiongkok segera akan di pengaruhi
Barat. Dalam kausalitas yang sangat kompleks, agresi Jepang
menyebabkan Tiongkok semakin kuat. Kenapa tidak dipikir sampai kesana?
Dalam kasus Hitler - Yahudi pun demikian , andai tidak terjadi
holocaust , negara Israel tidak akan berdiri , dan Amerika Serikat
masih tertinggal dari Eropa. Mengingat banyak sekali ilmuwan yahudi
yang kabur ke Amerika. Sebenarnya saya bisa menulis jauh lebih
kompleks lagi , tetapi tulisan takutnya akan sangat panjang. Intinya
adalah , Ada Makna dibalik Penderitaan , betapapun kejamnya

Dalam kasus Tionghoa Indonesia. Andaipun etnis Tionghoa di bonsai ,
entah itu tangannya , budayanya , bahasanya , agamanya. Itu adalah
proses yang pahit yang harus di lewati. Setiap budaya dan entitas
budaya mengalami apa yang di namakan ujian. Sama seperti panca indera
manusia . Mata yang buta akan menjadikan indera pendengaran dan peraba
menjadi semakin peka dan kuat. Dan ketika matanya sembuh , dia menjadi
manusia super. Begitu juga dengan tionghoa , segala handicap yang
dialami di masa lampau , membuat tionghoa bergerak di sektor bisnis.
Dan ketika kebebasan yang dirintis oleh Gus Dur , maka Tionghoa
semakin kuat. Hal ini yang harus di renungkan.

Terkadang ada makna dibalik hukuman. Dostoyevsky sendiri pernah
mengalami hukuman, justru mendukung adanya hukuman. Luchenetsky
menulis dalam "Prison Herald". " Kegelapan membuat manusia lebih
sensitive pada terang, aktivitas yang dipaksakan dalam penjara membuat
dia haus akan hidup, gerak dan kerja. Kesunyian membuat dia
merenungkan dalam-dalam "Aku"-nya, sehingga ia memandangnya
berdasarkan kondisi sekitarnya, masa lalunya dan kekiniannya, dan
memaksanya untuk berpikir tentang masa depan. Lev Tolstoy memang benar
ketika dia bermimpi masuk penjara. Pada saat-saat tertentu, orang
besar itu kehilangan kata-kata. Dia membutuhkan penjara seperti
kemarau membutuhkan hujan.

Saya melihat tionghoa mengalami trauma.Dan solusi yang harus diberikan
adalah detraumatisasi. Menghapus kontak dengan masa lampau yang
terlalu berlebihan, emosional, menyalahkan pihak lain dan berulang2
atas nama sejarah . Apa benar demikian?. Karena itu hanya menumbuhkan
prasangka baru. Atau malah Tionghoa menjadi paranoid. Dan rencana sang
pelaku kerusuhan berhasil. Usaha men - trauma-kan tionghoa telah
berhasil sukses, dan dibantu secara tidak langsung oleh tionghoa2
pandir yang sok berada terdepan diantara tionghoa. Dan permasalahan
tidak akan selesai. Justru dengan cara demikian , peristiwa negative
bisa terulang lagi. Berhentilah menggunakan cara kompulsif , apalagi
menyudutkan "cina" dengan interupsi yang sangat "kasar"–, kasta.
Gunakan cara yang lebih simpatik. Upaya hukum tentu harus dilakukan
terhadap pelaku - pelaku kerusuhan. Adolf Eichmann, pencetus "solusi
final" bagi yahudi pun menerima ganjarannya walaupun telah bersembunyi
di ujung dunia. Jadi saya yakin pelaku kerusuhan juga akan mengalami
ganjaran serupa , jika kekuatan hukum tidak berhasil menyentuhnya ,
mereka akan mengalami ganjaran setimpal lewat mekanisme kekuatan lain
, hukum alam misalkan.

Mengetahui sejarah adalah penting , tapi tanpa kemampuan untuk
memahami , kontemplasi , dan menggali makna dibalik sebuah "hukuman"
adalah sia - sia saja.
Ini adalah garis batas tegas antara kita orang dewasa dengan anak
sekolah . Remaja memilki ingatan kuat dalam menghapal sejarah , tetapi
kematangan berpikir belum memadai untuk memahami sejarah. Kaum remaja
juga dengan mudah terjebak dalam kubu pro dan anti. Berteriak paling
kencang dan revolusioner. Bayangkan kalau ada remaja "garda merah"
sebagai agen suatu gagasan , dan melakukan praktek kasta terhadap kaum
"Cina". Menerjemahkan gagasan "utopis" penyeragaman istilah tionghoa
dengan cara kasar, semestinya menyadari pula mekanisme yang sama yang
di lakukan para diktator lain

Reply via email to