KOMPAS
Senin, 10 September 2007

  
pembauran
China Makassar, Selayang Pandang 


M Fahmy Myala

Pada era sebelum televisi masuk Indonesia, lagu-lagu daerah berbahasa Makassar 
pernah menasional dan menjadi top hit di beberapa stasiun RRI di Nusantara. 
Anging Mammiri, Ati Raya, Anak Kukang, Amma Ciang, dan Pakarena adalah beberapa 
di antaranya. 

Namun, tidak banyak yang mengetahui, apalagi generasi muda zaman sekarang, 
bahwa beberapa lagu, seperti Ati Raja, Dendang-dendang, Sailong, dan Amma 
Ciang, diciptakan oleh seorang China perantauan bernama Ho Eng Dji. Saat masa 
kanak-kanak, ia mengikuti orangtuanya merantau dari daratan China ke Makassar. 
Ho Eng Dji terjun langsung dalam budaya Makassar. China Makassar kelahiran 
tahun 1906 tersebut meninggal dunia di Makassar pada tahun 1960. Inilah sosok 
China perantauan yang mampu beradaptasi bahkan melebur dalam budaya setempat. 

Hampir seangkatan dengan Ho Eng Dji, masih ada lagi seorang China Makassar yang 
berkiprah di jalur musik daerah. Ia bernama Pui Tjong Ang. Pada masa 
"makmurnya" kehidupan orkes di Tanah Air (1950-an sampai 1960-an), Pui Tjong 
Ang memimpin sebuah orkes yang khusus mengumandangkan lagu-lagu daerah 
Makassar. 

Sesungguhnya, kaum China perantauan di Makassar-apabila dibandingkan dengan 
kaum China perantauan lainnya yang bermukim di bagian lain di Tanah Air-masih 
lebih merakyat dan lebih berbaur dengan mereka yang pernah kita sebut kaum 
pribumi. 

Seorang alumnus Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin yang mendalami Sinologi, 
Shaifuddin Bahrum, menambahkan, masih ada seorang pria bernama Ang Bang Tjiong 
yang memilih jalur sastra dalam bentuk pantun/puisi untuk mencurahkan isi 
hatinya. Ia jatuh cinta kepada seorang gadis pribumi. Yang unik di sini, Ang 
adalah orang miskin dan si gadis adalah anak orang kaya yang menampik asmara 
Ang Bang Tjong. 

Ang menulis sajak-sajak dengan mencampuradukkan bahasa Melayu dengan bahasa 
Makassar! Misalnya: 

Naik gunung Butta Makale 

Jual sarung jai taralle (jai taralle: banyak laku/terjual) 

Jikalau tuan aqballe-balle (aqballe-balle: berbohong/dusta) 

Tentu saya jadi capele (capele: kecewa). 

Masuknya China ke Indonesia 

Menurut penelusuran Shaifuddin Bahrum, orang-orang China yang masuk Indonesia 
terutama berasal dari Provinsi Fu Kian dan Guandong. Dari cara berkomunikasi, 
mereka dapat dikelompokkan dalam empat suku bangsa: Hok Kian, Hakka alias Khek, 
Kanton, dan Tio Ciu. 

Orang Hok Kian adalah kelompok imigran China yang pertama bermukim di Makassar 
dalam jumlah agak banyak. Adapun orang Hakka (Khek) adalah kelompok terbanyak 
kedua yang bermukim di Kota Daeng. 

"Sumber pembentukan kebudayaan masyarakat China terutama sistem kepercayaan 
mereka, yaitu ajaran Khonghucu, Tao, dan atau Buddha. Sumber kedua adalah 
respons mereka terhadap lingkungan dan kebudayaannya, yaitu dalam menjawab 
tantangan alam di mana mereka hidup dan melakukan aktivitas untuk membangun 
kehidupannya," papar Shaifuddin. 

Orang China perantauan itu kebanyakan menganut kebudayaan agraris dan maritim. 
Ada juga yang merupakan kaum pekerja, seperti tukang, penambang, dan pedagang. 
Mereka dengan mudah beradaptasi sesuai profesinya, kecuali yang berasal dari 
kebudayaan agraris. Mereka ini karena kesulitan-warga asing memperoleh lahan di 
pedalaman-dalam menghadapi tantangan alam yang dihadapinya akhirnya terjun juga 
ke dunia usaha, membuka warung kopi dan toko-toko di perkotaan. 

Menurut Shaifuddin Bahrum, kedatangan orang China di Makassar sesungguhnya 
lebih menguntungkan bagi mereka yang berasal dari desa pantai. Di Makassar, 
memang mereka tidak lagi menjadi nelayan, tetapi mereka membuka toko alat-alat 
perikanan dan banyak pula yang menjadi pedagang antarpulau. Pada masa 
pemerintahan kolonial sampai sekitar 20-an tahun setelah Indonesia merdeka, 
perdagangan antarpulau di Nusantara memang lebih banyak dikuasai orang-orang 
China. Tersebutlah pada era tahun 1920-an, ada nama Nio Ceng Seng. Warga China 
Makassar, pemilik banyak kapal kayu dan perahu yang merupakan orang terkaya di 
Makassar masa itu. 

Pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan di Sulsel, banyak orang China yang 
berdagang dengan raja-raja. Bahkan, beberapa di antaranya memberi pinjaman 
untuk membeli senjata guna melakukan perlawanan terhadap penjajah. 

Walaupun demikian, sejarah mencatat pula bahwa Makassar adalah kota pertama di 
Indonesia yang menjadi lokasi "pengganyangan orang-orang China atau keturunan 
China (10 November 1965). Tindakan rasialis warga Makassar itu untuk 
melampiaskan kemarahan mereka pada peristiwa G30S dan terhadap poros 
Jakarta-Beijing yang dibangun pemerintahan Orde Lama. 

Sejak itu, kota Makassar menjadi lokasi paling sering terjadi kerusuhan rasial 
dengan "pengganyangan" orang-orang Tionghoa dan atau keturunannya. Penyebabnya, 
kemungkinan terbesar, adalah "kecemburuan sosial" karena dampak politik 
penjajahan yang menempatkan etnis Tionghoa berbeda dengan masyarakat pribumi. 
Maka, dengan perlakuan khusus pemerintah kolonial tersebut, orang-orang 
Tionghoa memperoleh kesempatan yang lebih luas untuk membuka usaha, di mana 
setiap kesempatan kerja yang mereka ciptakan memprioritaskan sesamanya etnis 
China. Memang ada kesan di kalangan warga Makassar, tidak ada orang China yang 
miskin. Mereka, di masa lalu, sangat besar menguasai perekonomian 
daerah/nasional sehingga tingkat kesejahteraannya memancing kecemburuan sosial. 

Dalam posisi selaku pengusaha nasional yang sukses, M Jusuf Kalla 29-an tahun 
lalu sudah berteriak, "Buang jauh-jauh pandangan bahwa orang China memang 
ditakdirkan menjadi orang kaya. Sebab, kalau itu benar, pasti RRC adalah negara 
terkaya di dunia. Sebab, semua penduduknya orang China. Sebaliknya, karena 
miskinnya China itu sehingga mereka merantau ke negara kita. Nah, Kalau di sini 
mereka kaya, itu karena mereka pekerja keras, ulet, tahan bantingan, orientasi 
kepada duniawi saja, dan pandai menyuap! Tionghoa miskin pun banyak di 
Indonesia, pergilah ke Kalimantan Barat, misalnya, di sana ada kaum Tionghoa 
menjadi pembantu rumah tangga, menjadi buruh pelabuhan, dan menjadi petani." 

Dalam perkembangan selanjutnya, sejumlah kecil warga etnis Tionghoa menikah 
dengan warga Bugis/Makassar dan mengadopsi budaya setempat. Maka, lahirlah 
masyarakat Tionghoa peranakan Makassar, peranakan Bugis, peranakan Mandar, 
peranakan Toraja, dan sebagainya. 

Warga Tionghoa Makassar pun berakulturasi dan bahkan mereka juga ada yang 
mengusung kebudayaan Makassar, di samping tetap mempertahankan tradisi yang 
dibawa dari Tiongkok. Dengan demikian, lahirlah kebudayaan campuran (hybrid). 

Di Makassar sudah berdiri kelenteng dengan arsitektur China sejak 300 tahun 
lalu. Di tempat inilah mereka melakukan berbagai aktivitas kepercayaan, memberi 
penghormatan/persembahyangan kepada dewa-dewa dan para leluhur. Pada 
waktu-waktu tertentu (sesuai agenda) mereka melakukan perayaan-perayaan, 
seperti Tahun Baru Imlek, dan Cengbeng. 

Sekalipun orang-orang Makassar pada abad ke-17 sudah memeluk agama Islam, orang 
Tionghoa dapat bergaul dengan baik dan diterima dalam pergaulan antar-agama. 
Orang Makassar tidak merasa terganggu dan terusik sehingga pergaulan mereka 
harmonis. 

Seni bangunan 

Kesenian mereka dibawa serta ke kota Anging Mammiri, misalnya seni bangunan 
berupa kelenteng dan vihara serta kesenian barongsai. Yang terakhir ini 
biasanya untuk memeriahkan perayaan Tahun Baru Imlek dan Capgomeh. Jenis 
kesenian ini bukan hanya digemari orang-orang keturunan Tionghoa saja, 
melainkan oleh masyarakat Makassar pada umumnya. Bahkan, warga dari luar 
Makassar pun berdatangan ke ibu kota Provinsi Sulsel itu dengan membawa bekal 
dan keluarganya untuk menyaksikan aksi barongsai pada sekitar Tahun Baru Imlek 
dan Capgomeh. 

Kebudayaan lokal Sulawesi Selatan sesungguhnya telah kena pengaruh China, 
terutama dalam hal warna, pakaian, dan tradisi. Pakaian adat Bugis-Makassar 
yang dikenal secara nasional sebagai baju bodo dan pertenunan kain sutra diduga 
terpengaruh kebudayaan China dalam kebudayaan Bugis, Makassar, dan Mandar. 
Demikian pula dengan berbagai aksesori keemasan dalam pakaian adat 
Bugis-Makassar, terutama perhiasan pakaian adat kaum wanitanya. Lebih faktual 
lagi pada jenis perhiasan yang disebut ponto naga, artinya gelang naga. Di 
dunia ini, binatang yang kita sebut naga itu hanya ada dalam mitos China. 

Adapun kebudayaan sutra dan emas sudah berkembang di China sejak abad ketujuh, 
lalu menyebar ke berbagai negara. Antara lain diriwayatkan bahwa pada masa 
pemerintahan Khalifah Ketiga (sejarah Islam), Usman Bin Affaan, khalifah pernah 
mengirim utusan dagang ke China pada tahun 651. Hubungan dagang Arab-China ini 
kemudian menciptakan apa yang dinamakan silk road, jalur sutra, yang kemudian 
menyebar ke berbagai negara, termasuk ke Indonesia yang dibawa oleh para 
penganjur agama Islam sebagai komoditas perdagangan. 

Orang-orang Tionghoa Makassar pun ternyata banyak yang mengadopsi tradisi 
keagamaan dalam Islam. Sering ada warga Tionghoa yang non-Muslim memanggil 
penghulu, ulama atau imam ke rumahnya karena mereka ingin assurommaca, membaca 
doa atau selamatan. Itu karena mereka percaya pada kekuatan doa. Dengan 
melakukan hal semacam itu, mereka percaya telah melakukan penghormatan kepada 
tradisi dan leluhurnya. 

(M FAHMY MYALA, Wartawan, Tinggal di Makassar
Sumber: Makalah-makalah dalam Seminar Nasional 400 Tahun Makassar, Hotel Sahid 
Makassar, 30 Juni 2007


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to