Title: Message
|
Sdr
Rinto,
Saya
ingin membagi informasi berikut ini: Di Australia, semua murid sekolah
diminta mengambil LOTE (Language Other Than English). Misalnya, murid
sekolah keturunan Greek mengambil bahasa Greek, keturunan Thai mengambil bahasa
Thai. Pemerintah Australia mengharapkan semua warganya tidak melupakan bahasa
asal-usulnya. Dengan demikian konsep diversity dan multiculturalism bisa
berjalan dengan baik. Murid sekolah bisa mengambil bahasa keduanya di sekolah
lainnya jika tempat dimana ybs sekolah tidak menyediakan bahasa yang
diinginkannya.
Salam,
Sdr. Vajradeva,
Apa
yang harus di-minder-kan? Tidak ada yang harus menyebabkan anda menjadi
minder. Bahasa itu universal menurut saya. Tidak ada larangan seseorang untuk
mempelajari suatu bahasa sama halnya pula dengan tidak adanya keharusan
seseorang untuk mahir berbahasa yang dianggap sebagai bahasa
leluhurnya.
Orang berbahasa hanya untuk mempermudah komunikasi. Bila
merasa suatu bahasa dapat mempermudah dan membawa nilai plus terhadap
pengembangan diri, pelajarilah bahasa tersebut. Simply like that, tidak usah
membebankan pembelajaran bahasa dengan alasan etnisitas, psikologis maupun
politisasi. Saya tidak setuju atas anggapan dan pemikiran untuk mempolitisir
bahasa. Saya sendiri terlahir di keluarga yang buta huruf Han, cuma kakek saya
yang bisa membaca dan menulis karakter Han. Motivasi saya untuk belajar
karakter Han beberapa tahun lalu hanya sederhana, saya tertarik sekali dengan
buku2 Hongshui dan sejarah yang berjejer di rak buku peninggalan kakek saya.
Tidak ada pemikiran bahwa karena saya seorang ini dan itu maka saya harus bisa
ini dan itu.
Saya masih ingat, tahun 90-an sewaktu saya masih di SD dan
SMP, oleh BP (Bimbingan & Penyuluhan) sekolah, kami diharuskan
berkomunikasi mempergunakan bahasa Indonesia di sekolah dan dilarang
mempergunakan bahasa ibu. Denda Rp. 25 per kata bila tertangkap berbicara
dengan bahasa ibu. Oleh guru PMP (Pendidikan Moral Pancasila) kami ditanamkan
pemikiran bahwa mempergunakan bahasa Indonesia adalah suatu bentuk cinta
kepada tanah air Indonesia. No problem I think wong bahasa pengantar di
sekolah memang adalah bahasa Indonesia, bagaimana mungkin tidak menggunakan
bahasa Indonesia? Namun ada sambungannya, sang guru juga menanamkan pemikiran
untuk menghindari penggunaan bahasa lain. Ia menggunakan contoh orang Jepang
dan Prancis yang tidak suka menggunakan bahasa Inggris dan selalu
mempergunakan bahasa mereka.
Ini jelas usaha pembodohan. Tidak ada
manfaatnya untuk penumbuhan nasionalisme Indonesia. Pemikiran di atas hanya
akan mengerdilkan usaha kita untuk mengoptimalkan daya saing. Globalisasi itu
memang tidak seluruhnya positif, namun itu suatu trend. Kalau negara Indonesia
pindah ke bulan, bolehlah kita tidak terlalu mempermasalahkan hal ini.
Biasanya, suatu bahasa akan menjadi bahasa penting seiring dengan menguatkan
posisi negara tersebut di panggung global. Bila sudah terlambat untuk memulai
dari diri sendiri, lengkapilah anak2 generasi penerus kita dengan bahasa
kedua, ketiga demi pengembangan dirinya sendiri.
Rinto
Jiang
vajradeva wrote:
maaf
saya mengajukan bahan pemikiran
saya lahir dengan membawa marga,
tetapi saya sama sekali tidak
mengerti dengan bahasa mandarin maupun
tradisinya
terkadang saya minder dengan orang-orang perantauan yang fasih
berbahasa mandarin
jadi bagaimana pemecahannya
peace
vajradeva
.:
Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.
.: Kunjungi
website global : http://www.budaya-tionghoa.org
:.
.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua
:.
.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED]
:.
.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.
.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.
.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.
.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.
| Yahoo! Groups Sponsor |
ADVERTISEMENT
![click here]() | |
![]() |
Yahoo! Groups Links
|
