FYI,

 

Sebagai tambahan informasi Pak Adi, SH (Tan Cin Hai) juga merupakan salah satu ketua bidang hukum Perhimpunan INTI Medan.

 

 

Salam,

Min Hui

 

 


From: budaya_tionghua@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Ambon
Sent: Friday, June 24, 2005 4:59 PM
To: budaya_tionghua
Subject: [budaya_tionghua] Kisah Tragis Advokat Muda Berbakat

 

 

 

Kisah Tragis Advokat Muda Berbakat

"SEBAGAI seorang pengacara, aku harus dapat mengungkapkan fakta yang sebenarnya. Karena aku ingin berharga di mata setiap orang. Walau aku tahu, risikonya adalah sesuatu yang tidaklah gampang."

Harapan dan keinginan itu pernah dikemukakan Adi, SH (26), pengacara, dalam pertemuan singkat dengan Pembaruan di Pengadilan Negeri Medan, Senin (13/6) lalu. Ketika itu, pria keturunan Tionghoa yang biasa dipanggil Hu Hai atau Ahai itu, baru selesai mendampingi salah satu kliennya di salah satu ruang sidang. Waktunya hampir bersamaan dengan persidangan penganiayaan kru Metro TV oleh sekelompok preman, yang disidangkan di ruang terpisah.

Pria tinggi kurus itu sempat meminta kartu nama dan berjanji akan bertemu suatu waktu. Namun, janji itu tidak akan pernah lagi terwujud. Selang seminggu kemudian, pria lajang itu tewas ditembak orang tak dikenal di Jalan Sei Deli, Kelurahan Silalas, Kecamatan Medan Barat.

Ketika itu Adi sedang mengantar pulang pacarnya, Mariyanti, atau biasa dipanggil Yanti (19), setelah jalan-jalan dan makan malam di Restoran Seafood Jalan Waringin Medan, Sabtu (18/6). Sesampai di depan kos Yanti, keduanya masih tetap asyik ngobrol di dalam mobil Kijang Krista berwarna silver milik Adi, yang bernomor polisi BK 88 YA.

"Kami memang sering ngobrol di dalam mobil, sambil menceritakan aktivitas masing-masing. Karena kalau singgah, Bang Adi takut terlambat kalau-kalau ada panggilan tiba-tiba untuknya," kata Yanti, mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Methodis Indonesia (UMI), baru-baru ini.

Pembunuh Bayaran

Pada malam itu, tutur Yanti, Adi sebenarnya telah berencana pulang ke rumah, karena ingin mengerjakan sebuah kasus yang tengah ditanganinya. "Ia memang jarang bercerita kalau punya masalah. Tetapi hari itu ia memang terlihat suntuk, tak tahu sedang menangani kasus apa. Ingin saya tanyakan, namun segan dan takut ia tersinggung. Soalnya kami pacaran belum lama, kira-kira dua bulan," kata Yanti lagi.

Pada waktu itu pula, dari arah berlawanan, kata Yanti, tiba-tiba datang seorang lelaki berambut pendek bertubuh tegap, berjalan ke arah mobil Adi. Gelagat pria itu mencurigakan. Mendekati jendela pintu mobil yang diduduki Yanti, orang itu berusaha mengintip ke dalam mobil.

"Ketika itu jalanan lumayan sepi. Laki-laki itu lalu mengetuk-ngetuk jendela kaca saya, sambil matanya menempel di kaca pintu. Saya takut karena mengira ia rampok. Sedangkan Bang Adi tampak sedikit panik," tutur gadis berkulit putih itu.

Merasa terdesak, Adi dari dalam mobil mengatakan kepada lelaki itu bahwa ia seorang pengacara. Tujuannya agar orang tersebut segera pergi. Tetapi, sebaliknya, lelaki tersebut malah memutar langkahnya mengarah ke pintu sopir yang diduduki Adi dengan cepat, setengah berlari. Dan ... dor!!

"Melihat reaksi pria itu, Bang Adi kaget dan cepat-cepat menghidupkan mobilnya untuk lari. Saya panik dan takut, menutup telinga dan mata. Tiba-tiba terdengar suara letusan tembakan. Begitu mata saya buka, ternyata ... ternyata Bang Adi tertembak," kata Yanti, sambil tersedu-sedu.

Adi sempat dilarikan ke RS Gleneagles, Medan. Namun, nyawanya tak tertolong. Ia kehabisan darah, akibat sebutir peluru menembus pinggang kiri dan levernya.

Salah seorang saksi mata, warga setempat, pelaku itu tidak sendirian. Teman penembak itu, sudah menunggu di atas sepeda motor Suzuki Shogun berwarna merah, dan mangkal di dekat Masjid Jamik.

"Sudah sekitar satu jam keduanya mondar-mandir di pinggir jalan, seperti menunggu sesuatu. Mereka terlihat gelisah. Keduanya menggunakan jaket hitam, tingginya kira-kira 170 cm, rambut rapi, perut buncit. Saya mendengar suara letusan itu. Saya kaget, tidak menyangka. Sementara kedua orang itu tancap gas dan langsung menghilang," kata warga itu lagi.

Peristiwa itu menjadi perbincangan warga Kota Medan. Apalagi, bagi orang yang mengenal sosok Adi. "Saya hampir tidak percaya. Soalnya sejak kuliah, ia terkenal pendiam, dan selalu bersikap baik kepada semua orang. Seperti bermimpi, mengapa harus berakhir seperti ini," kata Theresia, rekan Adi semasa kuliah di Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen.

Semasa kuliah, Adi dikenal sebagai anak emas banyak dosen. Maklum, ia tergolong mahasiswa berprestasi. Mahasiswa angkatan 1997 itu lulus pada 2001, dengan indeks prestasi kumulatif 3,7.

Ia juga tak sempat mengecap predikat pengangguran, karena keburu ditarik bekerja di kantor Januari Siregar SH Mhum, salah seorang advokat ternama di Kota Medan. "Waktu itu saya mencari anak didik, dan menanyakan hal tersebut kepada Dekan Fakultas Hukum Nommensen, dalam sebuah pertemuan. Dekan itulah yang kemudian merekomendasikan nama Adi, yang kebetulan waktu itu memang akan tamat kuliah," kata Januari Siregar, ketika berbincang-bincang dengan Pembaruan. Dari kantor itulah kemudian Adi mendapatkan kartu izin advokatnya setelah sebelumnya magang kurang lebih tiga tahun. Setelah itu, ia memutuskan membuka praktik kantor pengacara sendiri, dengan beberapa rekan semasa kuliah, yang direkrutnya, anggota Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Medan itu lalu membuka kantornya di Jalan Krakatau Medan, pada awal 2005.

"Ia mempunyai semangat yang tinggi dan berbakat. Ketika ingin mendirikan kantor, alasannya agar bisa lebih mandiri. Tidak ada masalah. Karena meski demikian, hubungan kami tetap dekat karena ia masih sering ke kantor, baik untuk silahturahmi maupun berdiskusi," Januari menambahkan.

Selaku orang yang baru terjun di dunia peradilan, Adi berhasil merintis kepercayaan orang terhadapnya. Hal itu terbukti dari berbagai kasus telah ditanganinya relatif lumayan banyak.

Sebelum Adi meninggal, advokat muda itu tengah menangani beberapa kasus, di antaranya kasus perceraian, rekening tagihan ponsel yang berbuntut pada gugatan terhadap Bank Negara Indonesia Rp 6 miliar, dan dugaan malpraktik di Rumah Sakit Umum Martha Friska.

Memang sampai saat ini, belum diketahui tanda-tanda yang mengarah siapa pelaku dan motif penembakan itu. Yang jelas, kejadian itu menambah panjang daftar pekerjaan bagi aparat kepolisian. Masyarakat tinggal menunggu bagaimana dan sampai kapan pengungkapannya, seperti yang dicita-citakan Adi.

Pembaruan/Henry Sitinjak


Last modified: 24/6/05

 



.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.





.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




Yahoo! Groups Links

Kirim email ke