Mengikuti perkembangan kasus pemberitaan makelar kasus palsu yang
disiarkan salah satu Televisi Nasional, rasanya penyelesaian
permasalahan tersebut sangat dangkal dan sangat jauh menyentuh subtansi
tujuan hukum yakni keadilan.
Diberitakan, bahwa “Masalah TV One Diselesaikan Menurut Kode Etik,
Bukan Pidana” jelas hanya membuktikan bahwasanya mereka yang berlindung
dibalik profesi “pers” adalah orang-orang yang kebal hukum, yang tak
tersentuh oleh hukum dan dapat melecehkan hukum itu sendiri. Ini jelas
tidak adil.

Kita semua pasti sudah tahu dan paham, bahwa dalam hukum ada asas yang
dikenal secara luas yakni asas persamaan hukum, suatu asas hukum yang
mengandung maksud bahwa setiap subjek hukum mempunyai kedudukan, hak
dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan
antara satu sama lainnya. Bagaimana penerapan asas ini dalam kasus
pemberitaan palsu yang dilakukan oleh TV one ?

Andrys Ronaldi yang berperan sebagai markus (palsu) dalam tayangan
Tvone tersebut, diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka oleh
kepolisian dengan dalih melanggar Pasal 36 Ayat 5A jo Pasal 57 Huruf d
UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, padahal jelas-jelas Andrys
Ronaldi bukan subjek hukum yang bekerja pada lembaga penyiaran sehingga
dengan demikian pasal hukum yang dijeratkan kepadanya tidak berlaku.
Hal ini sebagaimana bunyi lengkap pasal 36 Ayat 5A ; “Isi siaran
dilarang : bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong”.
Apa yang dimaksud “siaran” dalam pasal tersebut ? Pasal 1 UU Nomor 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran menjelaskan bahwa yang dimaksud Siaran
adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau
suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang
bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat
penerima siaran. Jadi Siapa yang harus bertanggung jawab atas isi
siaran ? Pasal 54 UU Nomor 32 Tahun 2002 menegaskan bahwasanya Pimpinan
badan hukum lembaga penyiaran bertanggung jawab secara umum atas
penyelenggaraan penyiaran dan wajib menunjuk penanggung jawab atas
tiap-tiap program yang dilaksanakan. Jadi, jika dalam suatu penyiaran
terdapat isi siaran yang bersifat kebohongan yang menyesatkan maka
Pimpinan badan hukum lembaga penyiaran tersebut dan orang yang ditunjuk
sebagai penanggung jawab program siaran tersebutlah yang harus
bertanggung jawab, bukan orang yang diminta menjadi narasumber dalam
program siaran tersebut (incase, bukan tanggung jawab Andrys Ronaldi).

Bahwa oleh karena pemberitaan bohong tersebut dilakukan oleh lembaga
penyiaran, menurut saya pribadi, sangat tidak pas dan tidak pada
tempatnya Dewan Pers melakukan mediasi atas masalah tersebut mengingat,
sekali lagi, pokok permasalahnya adalah pelanggaran isi siaran yang
dilarang berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Bahwa
ternyata pelakunya adalah orang yang bergelut dibidang jurnalistik,
tidak berarti pula rekomendasi Dewan Pers menghilangkan
pertanggungjawaban hukum para pelaku sebagaimana ditentukan UU Nomor 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Pasal 57 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menegaskan sebagai
berikut :

“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk
penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang:

a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3);
b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2);
c. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1);
d. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5);
e. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6).”

Melihat ketentuan di atas, jelas, ketentuan Pasal 57 UU Nomor 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran tidak berlaku dan tidak ada korelasinya dengan
apa yang dilakukan Andrys Ronaldi. Pasal 57 tersebut hanya pantas
diterapkan dan dijeratkan kepada mereka yang mengadakan dan menyiarkan
pemberitaan tersebut. Dan ini berarti, Tvone tetap harus
mempertanggungjawabkan secara hukum atas pemberitaan tersebut. Dan
perlu diingat, jika Andrys Ronaldi tetap dipaksakan harus diproses
secara hukum sementara proses hukum bagi pelaku lainnya hanya
diselesaikan secara mediasi, sekali lagi, ini hanya membuktikan
bahwasanya asas persamaan hukum di negeri ini tidak berlaku bagi mereka
yang bekerja dibidang jurnalistik !!!

--
Posting oleh NM. WAHYU KUNCORO, SH ke ADVOKATKU pada 4/13/2010 08:43:00
PM

Kirim email ke