Selamat malam Bapak Advokat yth,

Saya memiliki kasus seperti ini, saudara saya duda (anggap saja bernama
A), punya dua anak masing2 berumur 23 dan 15 th, A memiliki harta
bawaan berupa rumah dan motor X, kemudian menikahi Janda (nama B) punya
satu anak, Perkawinan tsb dilakukan di Gereja dan Catatan Sipil
golongan Tionghoa. Selanjutnya A dan B tidak mempunyai anak.
Dalam masa perkawinannya, A menerima warisan dari orang tua (dapat
dibuktikan dari Surat Keterangan hak waris yg dibuat oleh Notaris),
selanjutnya hasil warisan tsb dibelikan tanah, motor Y dan sebagian
ditabung di Bank.
A sekarang telah meninggal dunia, pertanyaan :
1) Bagaimana cara membagi harta Bawaan A dan harta hasil warisan berupa
tanah, motor dan Tabungan tsb . untuk Janda B dan kedua anak A

2) Salah satu anak dari A, yang masih berumur 15 th (yatim piatu),
tidak ingin diasuh oleh Janda B,anak tersebut lebih memilih kakak dari
A, maka perwalian nya apakah dapat dilakukan oleh Kakak dari A tersebut?
3) Saat ini dokumen berupa Surat Kawin, Surat Kematian A, Surat
WNI/ganti nama dan sertifikat tanah, buku tabungan di pegang oleh Janda
B, sedang keluarga dan anak dari A tidak diperkenankan untuk
meminta/meminjam dng alasan pembagian harta blm jelas. Bgmn cara
memperoleh dokumen tsb?

Saya sangat berterima kasih atas jawaban dari Bapak.

Salam.
rd
JAWAB :

Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan sebagai
berikut :

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di
bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
lain.

Dalam Pasal 36-nya, UU Perkawinan menegaskan :

(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 65 ayat (1) UU Perkawinan menentukan pula bahwasanya Dalam hal
seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama
maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah
ketentuan-ketentuan berikut :

a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan
anaknya;
b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta
bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau
berikutnya itu terjadi;
c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi
sejak perkawinannya masingmasing.

Jadi berdasarkan ketentuan Pasal 35 jo. Pasal 36 jo. Pasal 65 ayat (1)
huruf (b) UU No. 1 Tahun 1974, kiranya dapat ditafsir bahwa dengan
berakhirnya perkawinan karena kematian maka harta bawaan kembali pada
si pemilik harta bawaan tersebut, misal, jika memang si almarhum
memiliki harta bawaan berupa rumah dan motor maka kesemuanya harus
dikembalikan pada pihak si A, dalam hal ini kedua anak kandungnya.
Dalam hal terkait harta bawaan, tentunya si B tidak memiliki hak atas
harta bawaan dimaksud.

Setelah harta bawaan dipisahkan dari harta bersama, maka baru dapat
dilakukan pembagian harta bersama dalam perkawinan A dan B, dimana
masing-masing mendapat 1/2 bagian (terkecuali jika ada perjanjian pra
nikah, maka ketentuan ini tidak berlaku, yang berlaku adalah ketentuan
yang ada dalam perjanjian pra nikah).

Karena yang meninggal adalah si A, maka bagian 1/2 yang didapat oleh si
A inilah yang menjadi objek waris yang harus dibagikan secara prorata
kepada 3 ahli warisnya yakni 2 anak kandung si A dan si B selaku istri
A. Hal ini sebagaimana dimaksud Pasal 832 KUHPerdata yang menyatakan :

"Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga
sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar
perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama".

Dalam kondisi tertentu, jika si anak A ternyata tidak nyaman jika ikut
dengan B selaku Ibu tirinya, tentunya atas kehendak si anak, kakak atau
salah satu keluarga/ kerabat almarhum A dapat bertindak sebagai wali
dari si anak A tersebut. Untuk kepastian hukumnya, si kakak A dapat
meminta Pengadilan untuk ditetapkan sebagai wali secara hukum sehingga
dapat mewakili si anak tersebut untuk melakukan perbuatan hukum, baik
di dalam maupun di luar pengadilan

Oleh karena harta waris belum terbagikan tentunya memang masih ada hak
si B selaku janda untuk melakukan pengamanan terhadap harta peninggalan
si A. Oleh karena itu sebaiknya segera diurus penetapan waris dan
bagian waris masing-masing ahli waris. Jika B, dianggap/ terkesan tidak
mau mengurus pembagian harta waris dimaksud, sebaiknya ahli waris dari
pihak A (kedua anak si A) segera mengajukan permohonan dan penetapan
pembagian waris kepada Pengadilan.

Bahwa kelak, meskipun telah ada penetapan pembagian waris dari
Pengadilan, ternyata si B tidak menyerahkan dokumen2 terkait harta
peninggalan, maka cukup alasan bagi ahli waris yang lain menuntut si B
secara pidana.

--
Posting oleh NM. WAHYU KUNCORO, SH ke Konsultasi Hukum Gratis pada
1/19/2010 07:22:00 PM

Kirim email ke