REPUBLIKA

      Senin, 09 Juli 2007

      Aset dan Kemiskinan 


      Teddy Lesmana 
      Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 
(LIPI) Jakarta

      Di tengah gemuruh dentuman senjata dalam Perang Dunia II, Presiden 
Roosevelt dalam pidatonya yang berapi-api berkata "In the future days . . . we 
look forward to a world founded upon four essential freedoms, including freedom 
from want." Ucapannya itu segera menjadi salah satu tema utama dalam era 
pascaperang.Ungkapan dari Roosevelt tersebut masih menemui relevansinya jika 
menilik masalah kemiskinan yang merupakan salah satu masalah krusial yang 
berskala global.

      Sementara itu, persistensi tingkat kemiskinan di Indonesia yang selama 10 
tahun terakhir berada di posisi 16-19 persen memberikan sinyalemen bahwa ada 
sesuatu yang perlu dicermati dan dikaji ulang atas strategi, kebijakan, dan 
program pengentasan kemiskinan. Selama ini, program tersebut dijalankan 
pemerintah dengan lebih terfokus pada premis income sebagai landasan bagi 
strategi, kebijakan, dan program dalam memberantas kemiskinan di negeri ini.

      Dilihat dari sisi anggaran yang dialokasikan, pemerintah tampaknya sudah 
memiliki semangat yang positif untuk memerangi kemisikinan. Sejak tahun 2004, 
alokasi anggaran untuk pengurangan terus meningkat dari Rp 18 triliun menjadi 
Rp 51 triliun di tahun 2007 ini. Anggaran pengentasan kemiskinan ini disalurkan 
melalui beberapa program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Raskin, bantuan 
sekolah/pendidikan, bantuan kesehatan gratis, pembangunan perumahan rakyat, dan 
pemberian kredit mikro. Semua program tersebut umumnya bertitik tolak dari 
paradigma pendapatan sebagai patokan dalam memberantas kemiskinan. Realitasnya, 
tingkat kemiskinan pun belum menunjukkan penurunan yang signifikan bahkan ada 
kecenderungan terus meningkat.

      Penyebab kemiskinan


      Berbagai kelompok orang yang tergolong miskin menjadi miskin karena 
berbagai penyebab dan alasan yang berbeda. Devereux (2002) membagi determinan 
penyebab kemiskinan ke dalam tiga kelompok. Pertama kemiskinan yang disebabkan 
oleh, produktivitas rendah (ketidakcukupan pendapatan atas upaya kerja dan 
minimnya kepemilikan dan utilisasi input-input produktif). Kedua, kemiskinan 
karena kerentanan (risiko dan konsekuensi atas turunnya pendapatan dan 
konsumsi). Ketiga kemiskinan karena ketergantungan (ketidakmampuan untuk 
menghasilkan pendapatan akibat ketidakmapuan untuk bekerja).

      Kemiskinan yang disebabkan oleh produktivitas rendah dapat diatasi dengan 
kebijakan intervensi yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan dalam bentuk 
program peningkatan produktivitas. Sementara itu, kerapuhan dalam pendapatan 
kaum miskin dapat diatasi dengan kebijakan jaringan pengaman sosial jangka 
pendek baik dalam bentuk tunai atau bahan makanan, upaya perbaikan sistem 
pendapatan, atau penciptaan kesempatan dalam memperoleh pendapatan. Terakhir, 
kemiskinan yang disebabkan oleh ketergantungan akibat ketidakmampuan fisik, 
mental, usia lanjut, bisa ditangani dengan membangun sistem kesejahteraan 
sosial antara lain melalui program semacam bantuan tunai langsung.

      Dipengaruhi studi Amartya Sen (1981) mengenai kelangkaan pangan dan 
hak-hak akan aset dan kapabilitas, sebagaimana pula halnya studi Robert 
Chambers (1992;1994) mengenai risiko dan kerapuhan, muncul perdebatan yang luas 
antara kemiskinan sebagai suatu konsep statis dan kerentanan di sisi lain 
sebagai konsep dinamis. Pendekatan berbasis aset ini memfokuskan pada 
pendefinisian konsep-konsep mengenai aset, kerentanan, kemampuan dan sumber 
daya, serta pengembangan kebijakan-kebijakan untuk mengatasi dampak guncangan 
terhadap pendapatan dengan fokus pada aset dan hak-hak kaum miskin.

      Penekanan konsep ini juga berkaitan dengan konsep pemberdayaan kemampuan. 
Oleh karenanya, aset ini bukan semata sumber daya yang digunakan untuk 
membangun kehidupan, tetapi lebih kepada memberikan kemampuan bagi setiap 
individu untuk menjadi dan bertindak dalam menjalani kehidupannya (Bebbington, 
1999). Meskipun terdapat hubungan yang kuat antara pendapatan dan aset, 
keduanya merupakan konsep yang berbeda. Aset merujuk pada jumlah kekayaan 
sedangkan pendapatan merujuk pada arus sumber daya ekonomi dalam sebuah 
keluarga.

      Pengentasan berbasis aset
      Sekitar 16 tahun yang lalu, Profesor Michael Sherraden menulis satu buku 
yang inovatif yang melahirkan konsep membangun aset dan investasi sosial 
sebagai alat kebijakan antikemiskinan. Dalam bukunya, Sherraden mempertanyakan 
kembali efektivitas strategi-strategi tradisional dalam mengentaskan kemiskinan 
yang sangat terfokus kepada dukungan pendapatan di berbagai negara yang 
dipandang tidak efektif untuk mendorong kaum miskin keluar dari kemiskinan.

      Pendekatan aset ini mendorong kita untuk melihat bahwa minimnya aset 
produktif yang dimiliki kaum miskin membuat mereka sulit untuk keluar dari 
jeratan kemiskinan. Lebih jauh, pendekatan ini akan memungkinkan suatu 
terobosan penting dalam melahirkan kebijakan-kebijakan dalam memerangi 
kemiskinan. Aset di sini pun tidak hanya aset-aset yang bersifat finansial 
namun juga meliputi modal insani, modal sosial, dan aset-aset fisik lainnya 
yang dapat diakumulasi, disimpan, dan diuangkan pada saat-saat yang diperlukan.

      Strategi baru ini bertujuan untuk benar-benar mengentaskan kaum miskin 
lepas dari jerat kemiskinan dan bukan sekadar mengurangi kesulitan-kesulitan 
yang dihadapi kaum miskin yang sifatnya ad hoc dan tak berkesinambungan. Lebih 
jauh, perspektif ini sangat berguna bagi mereka yang berada pada risiko 
kemiskinan persisten di mana bantuan tunai tidak dapat mengatasi 
hambatan-hambatan struktural yang selama ini menghambat mereka untuk 
berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi yang pada akhirnya juga merupakan 
hambatan kunci terhadap kemakmuran.

      Program-program membangun aset, baik di negara-negara berkembang maupun 
maju, adalah upaya untuk menstimulasi semakimal mungkin kaum miskin untuk 
menghasilkan pendapatan dari utilisasi aset produktif. Program tersebut juga 
menstimulasi kaum miskin supaya bisa menabung untuk mengantisipasi 
keadaan-keadaan tak terduga serta mulai membiasakan untuk berinvestasi yang 
bertujuan menopang ketidakstabilan pendapatan dan meningkatkan kemampuan mereka 
untuk keluar dari kubangan kemiskinan. Sejumlah program microfinance di 
negara-negara berkembang yang berfokus untuk mendanai kegiatan-kegiatan 
kewirausahaan, di mana pemberian kredit didasarkan atas konsistensi kaum 
miskin, memberi bukti bahwa pada dasarnya kaum miskin pun memiliki ketaatan 
untuk menabung.

      Ke depan, kiranya upaya-upaya untuk memerangi kemiskinan lebih difokuskan 
ke arah pengembangan aset ekonomi produktif bagi kaum miskin. Hal ini bisa 
dilakukan dengan membantu kaum miskin yang memiliki usaha kecil dan semangat 
kewirausahaan dengan bantuan modal, pemberian kepastian hukum atas lahan yang 
dimiliki petani gurem, fasilitasi PKL tanpa mengesampingkan habitat usaha dan 
prospek pasar atas barang dagangan mereka. Semoga apa yang diungkapkan oleh 
Roosevelt freedom from want hadir di negeri ini.

      Ikhtisar

      - Kemiskinan yang cenderung meningkat di negeri ini perlu diatasi dengan 
strategi khusus.
      - Selama ini, pemerintah lebih banyak menjalankan program-program 
pengentasan kemiskinan yang berbasis pendapatan.
      - Program pengentasan berbasis pendapatan itu antara lain berupa Bantuan 
Langsung Tunai, Raskin, bantuan untuk kesehatan, dan sejenisnya.
      - Banyak pengalaman menunjukkan bahwa pemberantasan kemiskinan dengan 
berbasis aset, hasilnya bisa lebih permanen dan berkelanjutan 


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to