Golkar Bisa Ditinggalkan Mesin Politiknya   

Jakarta – Sikap DPP Partai Golkar, terutama ketua umumnya yang tidak segera 
memutuskan atau mengajukan kandidat calon presiden (capres), bisa menjadi 
bumerang bagi partai politik (parpol) tersebut, karena akan ditinggalkan mesin 
politiknya di daerah-daerah. "Sikap pimpinan tertinggi Golkar yang tidak cepat 
mengumumkan kandidatnya akan membuat mesin-mesin politiknya, terutama di daerah 
'pergi', karena tidak ada ketegasan partai," kata pengamat politik dari 
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, AAGN Ari Dwipayana, MSi, Kamis (12/2).

Menurut Ari, saat ini Jusuf Kalla selaku ketua umum sepertinya ditinggalkan 
Susilo Bambang Yudhoyono dalam bursa capres. "Keraguan ini makin tinggi, karena 
hasil survei beberapa lembaga penelitian menunjukkan bahwa duet Yudhoyono-Kalla 
masuk dalam peringkat yang bagus dibandingkan pasangan dari partai lain," 
katanya.
Ari mengatakan, dengan kondisi seperti ini Kalla menjadi ragu untuk maju 
sendiri dalam bursa capres sehingga dirinya juga belum berani menentukan apakah 
akan maju sebagai capres atau calon wakil presiden (cawapres). 

"Golkar saat ini sangat dilematis, karena kendati selama ini ada duet 
Yudhoyono-Kalla, kenyataannya Golkar yang menjadi tulang punggung pemerintahan, 
" ujar Ari.
Lebih lanjut Ari mengatakan, dengan kondisi seperti ini maka mesin-mesin 
politik Golkar yang selama ini berupaya memenangi pemilu menjadi putus asa 
karena perjuangan mereka ternyata menghasilkan cawapres saja. 

"Mesin politik ini sebenarnya berharap kadernya bisa maju sebagai capres. Jika 
hanya cawapres, mereka akan kecewa dan bisa pergi," katanya.
Ari mengatakan, kondisi seperti ini juga berimbas pada kader-kader Golkar 
sendiri sehingga menimbulkan beberapa faksi di tubuh partai berlambang pohon 
beringin tersebut. "Kader yang sebelumnya mendukung Kalla justru akan membuat 
blok koalisi baru dengan mengusung capres sendiri, atau bisa juga bergabung 
dengan capres dari partai lain," kata Ari.
Ia menambahkan, indikasi bahwa Kalla akan maju bersanding kembali dengan 
Yudhoyono justru makin kuat, dan ini merupakan dilema tersendiri bagi kader 
Golkar. "Sikap Golkar yang seperti ini tentu akan berdampak bagi pemenangan 
pemilu legislatif nanti, dan Golkar harus bertaruh besar dengan keputusan 
tersebut," katanya. 

Tunggu Daerah
Di bagian lain, Ketua DPP Partai Golkar Ali Wongso Sinaga ketika dihubungi hari 
ini, mengatakan, Partai Golkar menunggu jawaban edaran yang dikirim ke daerah 
mengenai penjaringan capres dan cawapres. Semua surat edaran telah dikirim dan 
diharapkan pada bulan Maret semua daerah telah memasukkan lima hingga tujuh 
nama untuk kemudian disurvei oleh lembaga survei yang ditentukan DPP Partai 
Golkar.

Sekretaris Jenderal Partai Golkar Soemarsono mengatakan, sekalipun edaran baru 
diedarkan bulan Februari, tidak berarti proses penjaringan dilakukan terlambat. 
Hasil Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar bulan Oktober 2008 
memutuskan agar penjaringan itu selesai sebelum pelaksanaan pemilu legislatif. 
Survei pun dilakukan sebelum dan sesudah pemilu legislatif. Tujuannya untuk 
membandingkan tingkat popularitas dan elektabilitas masing-masing calon, 
mengingat dinamika politik saat itu sangat dinamis.

Bahas Lagi
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono mengatakan, 
penjaringan capres-cawapres Partai Golkar akan dibahas kembali dengan Ketua 
Umum Partai Golkar Jusuf Kalla setelah yang bersangkutan tiba dari luar negeri. 
Saat ini di kalangan internal Partai Golkar, wacana meneruskan duet Susilo 
Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla memang paling sering dibicarakan. 

”Tapi nanti kita lihat pada saat agenda itu dijalankan. Perkembangan politik 
sekarang ini kan sangat dinamins. Selalu up and down,” ucap Agung Laksono.
Ia menjelaskan kritikan sejumlah pihak karena Partai Golkar enggan menentukan 
pasangan capres-cawapres sejak dini, tak menjadi masalah sama sekali. ”Kami 
anggap itu tidak tepat, atau paling tidak, enggak ada jaminannya dengan 
konsentrasi Partai Golkar untuk memenangkan pemilu legislatif dulu. Yang paling 
tahu Partai Golkar adalah kader Partai Golkar sendiri,” katanya. Jika ada pihak 
yang mewacanakan nama capres-cawapres Partai Golkar maka itu masih merupakan 
pendapat pribadi yang tidak bisa dilarang. ”Belum ada yang namanya pasangan 
alternatif. Itu hanya pendapat pribadi,” kata Agung.

Capres Golkar
Pengamat politik Boni Hargens mengatakan, Golkar harus segera menetapkan sikap 
politiknya untuk memunculkan figur capres dan cawapres. Sebagai partai yang 
cukup lama berkiprah dan sebagai partai pemenang pemilu, Golkar semestinya bisa 
memunculkan nama capres. 
Menurut Boni, baginya sangat tidak masuk akal jika Golkar tetap akan berkoalisi 
dengan Partai Demokrat. Sementara itu, Golkar mempunyai kekuatan suara yang 
luar biasa di tahun 2004, dengan memperoleh 21 persen suara.

Dia mengatakan, pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Mubarok sangat 
memalukan, dan mencerminkan harmoni yang tidak baik. Dengan kondisi itu, 
Demokrat memperlihatkan koalisi yang pragmatis hanya untuk mempertahankan 
kekuasaan.
Mengenai koalisi parpol, Boni mengatakan, koalisi memang harus didasarkan visi 
misi yang sama. Sebab, jika koalisi yang terjadi hanya koalisi pragmatis maka 
tidak akan ada penerapannya dalam demokrasi. Kalau koalisi pragmatis, katanya, 
bukan tidak mungkin akan membuat pemilu kali ini selesai tanpa tujuan yang 
jelas bagi rakyat.



FirmanMU itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku. Aku telah bersumpah 
dan aku akan menepatinya, untuk berpegang pada hukum hukumMU yang adil (Mazmur 
119:105 -106)
 
Your word is a lamp to my feet and a light for my path. I have taken an oath 
and confirmed it, that I will follow your righteous laws (Psalm 119: 105 - 106)

--- On Thu, 2/12/09, Sunny <am...@tele2.se> wrote:


From: Sunny <am...@tele2.se>
Subject: CiKEAS> JK, Presiden Indonesia 2009-2014?
To: undisclosed-recipi...@yahoo.com
Date: Thursday, February 12, 2009, 10:10 AM








Refleksi:  Kalau JMK dijadikan presiden apakah bisnis beliau akan 
berkembang biak dan bertambah lebih baik yang sekaligus memberikan stimulans 
bagi perbaikan dan peningkatan kehidupan rakyat ataukah hanya segelintir 
manusia saja yang akan menikmati?
 
http://www.suarapem baruan.com/ index.php? modul=news&detail=true&id=4568
 
2009-02-11 
JK, Presiden Indonesia 2009-2014?

Jeffrie Geovanie 

Pertanyaan politik paling menarik pada saat ini adalah akankah Jusuf Kalla (JK) 
maju menjadi calon presiden? Lantas bagaimana dengan tugas-tugasnya sebagai 
wakil presiden saat ini?

Sebagai individu, JK punya hak untuk menjadi apa pun, termasuk menjadi 
presiden. Apalagi jika dilihat dalam perspektif proses pelembagaan politik, 
sebagai ketua umum partai terbesar saat ini, JK tak hanya punya hak, ia bahkan 
memiliki peluang yang cukup menjanjikan. Diakui atau tidak, sepanjang sejarah 
wakil presiden di Tanah Air, JK adalah satu-satunya wapres yang sangat aktif 
dan kaya inisiatif. Dibanding capres-capres sebelumnya, prestasi JK tergolong 
paling mengesankan.

Dengan rekam jejak yang cukup baik, JK memang layak "naik pangkat" dari RI-2 
menjadi RI-1. Peluang itu akan semakin terbuka lebar jika Partai Golkar segera 
mengambil inisiatif - dengan mekanisme yang demokratis - menetapkan ketua 
umumnya menjadi capres. 

Soal bagaimana menjalankan tugas sehari-hari sebagai wapres, tentu ada 
mekanisme yang sudah diatur dalam undang-undang, atau setidaknya bisa 
disepakati bersama asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang. Dalam 
politik, semua persoalan teknis bisa diatur. 

Pasar politik capres-cawapres di Tanah Air tak bisa dilepaskan dari hasil kerja 
lembaga-lembaga survei, tak terkecuali peluang JK, baik sebagai capres maupun 
cawapres.

Sejauh ini, hampir semua hasil jajak pendapat dari lembaga-lembaga survei yang 
valid menempatkan JK sebagai capres dengan ke-dikenal-an (popularitas) yang 
tinggi, namun dengan tingkat ke-dipilih-an (elektabilitas) yang rendah. Pada 
saat yang sama, hampir semua lem-baga survei juga menempatkan JK sebagai 
cawapres dengan tingkat ke-dipilih-an yang tinggi.

Melihat fakta-fakta itu, wajar belaka jika kemudian banyak pihak menganggap JK 
hanya pantas menjadi wapres, bukan presiden. Tapi, menurut saya, ada fakta lain 
yang kurang dicermati publik, yakni ke-dikenal-an JK dalam survei-survei itu 
sudah sangat tinggi, hampir sama dengan ke-dikenal-an SBY. Mengapa masih di 
bawah SBY, tidak lain karena posisinya sebagai wapres. Akan terdengar agak aneh 
jika popularitas wapres melebihi presiden.

Satu hal lagi, mengapa umumnya pemilih belum menempatkan JK sebagai calon 
presiden. Mungkin karena persepsi masyarakat menganggap JK tidak berminat 
menjadi capres. Padahal, pada faktanya belum tentu demikian.


Konsisten

Sebagai seorang negarawan, JK konsisten menempatkan diri pada posisinya. Ia 
ingin memberikan contoh kepada para pejabat yang lain bahwa salah satu kunci 
sukses dalam mengemban amanat adalah adanya loyalitas pada pimpinan. Sehingga, 
pada saat mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif memuji bahwa JK 
sebagai The Real President, JK  mengoreksi dengan mengatakan dirinya sebagai 
The Real Vice President, bukan The Real President.

Tapi, sejalan dengan semakin dekatnya waktu Pemilu, akankah loyalitas JK 
sebagai wapres SBY berakhir mengingat sebagian pimpinan dan anggota Partai 
Golkar menginginkannya sebagai capres? Atau ada komitmen baru antara dirinya 
dan SBY untuk mempertahankan koalisi hingga 2014? Belum ada kepastian mengenai 
hal ini.

Bila kita anggap saja tidak ada komitmen baru di antara mereka, maka sudah 
sepantasnya bila JK mencapreskan diri karena sebagai Ketua Umum Partai Golkar 
tentu JK memiliki kesempatan lebih besar menggunakan Partai Golkar sebagai 
partai yang mencalonkannya. 

Bila ini terjadi, saya yakin akan terjadi juga perubahan besar atas persepsi 
masyarakat, yang tadinya hanya beranggapan JK sebagai cawapres, beralih menjadi 
JK sebagai capres pilihan mereka. Dengan begitu, besar kemungkinan, proses 
pembalikkan fakta di arena publik akan terjadi dengan sendirinya.

Dengan mencermati kinerja politik Partai Gerindra dan capres Prabowo Subianto, 
yang dalam waktu relatif singkat mampu menciptakan persepsi publik yang 
signifikan, sebenarnya peluang politik itu tak begitu sulit diraih jika 
benar-benar dimanajemeni secara baik. Apalagi untuk seorang JK, yang kini 
wapres, penciptaan peluang itu mestinya akan jauh lebih mudah.

Dengan modal tingkat ke-dikenal-an yang hampir sama dengan SBY, ditambah 
potensi besar Partai Golkar untuk memenangi pemilu legislatif, JK sangat 
mungkin bisa menggantikan SBY. Syaratnya yang utama dan pertama tentu ada pada 
diri JK sendiri, maukah ia berniat dan menanamkan persepsi bahwa dirinya 
capres, bukan cawapres.
Jika niat dan persepsi sebagai capres sudah tertanam, saya yakin ada proses 
alamiah dan wajar untuk mengantarkan JK sebagai Presiden Indonesia 2009-2014? 

Penulis adalah Wakil Direktur Eksekutif Lembaga Pemenangan Pemilu DPP Partai 
Golkar
















      

Kirim email ke