Bahtsul Masail tentang Hukum Merokok
23/01/2009
Sejak awal abad XI Hijriyah atau sekitar empat ratus tahun yang lalu,
rokok dikenal dan membudaya di berbagai belahan dunia Islam. Sejak
itulah sampai sekarang hukum rokok gencar dibahas oleh para ulama di
berbagai negeri, baik secara kolektif maupun pribadi. Perbedaan pendapat
di antara mereka mengenai hukum rokok tidak dapat dihindari dan berakhir
kontroversi. Itulah keragaman pendapat yang merupakan fatwa-fatwa yang
selama ini telah banyak terbukukan. Sebagian di antara mereka
menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan
sebagian lainnya lebih cenderung menfatwakan haram.

Kali ini dan di negeri ini yang masih dilanda krisis ekonomi,
pembicaraan hukum rokok mencuat dan menghangat kembali. Pendapat yang
bermunculan selama ini tidak jauh berbeda dengan apa yang telah terjadi,
yakni tetap menjadi kontroversi.

Kontroversi Hukum Merokok

Seandainya muncul fatwa, bahwa korupsi itu hukumnya haram berat karena
termasuk tindak sariqah (pencurian), maka semua orang akan sependapat
termasuk koruptor itu sendiri. Akan tetapi persoalannya akan lain ketika
merokok itu dihukumi haram. Akan muncul pro dari pihak tertentu dan
muncul pula kontra serta penolakan dari pihak-pihak yang tidak sepaham.
Dalam tinjauan fiqh terdapat beberapa kemungkinan pendapat dengan
berbagai argumen yang bertolak belakang.

Pada dasarnya terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum,
yakni larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan,
kemudaratan atau kemafsadatan sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur'an
dan As-Sunnah sebagai berikut:

Al-Qur'an :

æóáÇó ÊõáúÞõæÇ ÈöÃóíúÏöíßõãú Åöáóì ÇáÊøóåúáõßóÉö
æóÃóÍúÓöäõæÇ Åöäøó Çááøóåó íõÍöÈøõ ÇáúãõÍúÓöäöíäó.
ÇáÈÞÑÉ: 195

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)

As-Sunnah :

Úóäú ÇÈúäö ÚóÈøóÇÓò ÞóÇáó ÞóÇáó ÑóÓõæáõ Çááøóåö
Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó áÇó ÖóÑóÑó æóáÇó
ÖöÑóÇÑó. ÑæÇå ÇÈä ãÇÌå, ÇáÑÞã: 2331

Dari Ibnu 'Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh
berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat
kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah, No.2331)

Bertolak dari dua nash di atas, ulama' sepakat mengenai segala sesuatu
yang membawa mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan
adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat
pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini tercetus persepsi yang berbeda
dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan
dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya
beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya.

Seandainya semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau
membawa mudarat tetapi relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan
hukum mubah atau makruh. Demikian pula seandainya semuanya sepakat,
bahwa merokok membawa mudarat besar, maka akan sepakat pula dengan hukum
haram.

Beberapa pendapat itu serta argumennya dapat diklasifikasikan menjadi
tiga macam hukum.

Pertama ; hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang
tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat
rokok bukanlah benda yang memabukkan.

Kedua ; hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif
kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram.

Ketiga; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang
membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian
medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam,
seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama
membiasakannya.

Tiga pendapat di atas dapat berlaku secara general, dalam arti mubah,
makruh dan haram itu bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam
hukum tersebut berlaku secara personal, dengan pengertian setiap person
akan terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya,
baik terkait kondisi personnya atau kwantitas yang dikonsumsinya. Tiga
tingkatan hukum merokok tersebut, baik bersifat general maupun personal
terangkum dalam paparan panjang 'Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain
ibn 'Umar Ba'alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (hal.260) yang
sepotong teksnya sebagai berikut:

áã íÑÏ Ýí ÇáÊäÈÇß ÍÏíË Úäå æáÇ ÃËÑ Úä ÃÍÏ
ãä ÇáÓáÝ¡ ....... æÇáÐí íÙåÑ Ãäå Åä ÚÑÖ áå ãÇ
íÍÑãå ÈÇáäÓÈÉ áãä íÖÑå Ýí ÚÞáå Ãæ ÈÏäå ÝÍÑÇã¡
ßãÇ íÍÑã ÇáÚÓá Úáì ÇáãÍÑæÑ æÇáØíä áãä íÖÑå¡
æÞÏ íÚÑÖ áå ãÇ íÈíÍå Èá íÕíÑå ãÓäæäÇð¡ ßãÇ
ÅÐÇ ÇÓÊÚãá ááÊÏÇæí ÈÞæá ËÞÉ Ãæ ÊÌÑÈÉ äÝÓå
ÈÃäå ÏæÇÁ ááÚáÉ ÇáÊí ÔÑÈ áåÇ¡ ßÇáÊÏÇæí ÈÇáäÌÇÓÉ
ÛíÑ ÕÑÝ ÇáÎãÑ¡ æÍíË ÎáÇ Úä Êáß ÇáÚæÇÑÖ Ýåæ
ãßÑæå¡ ÅÐ ÇáÎáÇÝ ÇáÞæí Ýí ÇáÍÑãÉ íÝíÏ ÇáßÑÇåÉ

Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan
tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. …
Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang
pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu
haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila
membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur
yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang
mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya
atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk
penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain
khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka
hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang
dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.

Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh
Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) dengan sepenggal teks
sebagai berikut:

Åä ÇáÊÈÛ ..... ÝÍßã ÈÚÖåã ÈÍáå äÙÑÇ Åáì Ãäå
áíÓ ãÓßÑÇ æáÇ ãä ÔÃäå Ãä íÓßÑ æäÙÑÇ Åáì
Ãäå áíÓ ÖÇÑÇ áßá ãä íÊäÇæáå, æÇáÃÕá Ýí ãËáå
Ãä íßæä ÍáÇáÇ æáßä ÊØÑà Ýíå ÇáÍÑãÉ ÈÇáäÓÈÉ
ÝÞØ áãä íÖÑå æíÊÃËÑ Èå. .... æÍßã ÈÚÖ ÃÎÑ
ÈÍÑãÊå ÃæßÑÇåÊå äÙÑÇ Åáì ãÇ ÚÑÝ Úäå ãä Ãäå
íÍÏË ÖÚÝÇ Ýì ÕÍÉ ÔÇÑÈå íÝÞÏå ÔåæÉ ÇáØÚÇã
æíÚÑÖ ÃÌåÒÊå ÇáÍíæíÉ Ãæ ÃßËÑåÇ ááÎáá æÇáÅÖØÑÇÈ.

Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang
bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda
yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap
orang yang mengkonsumsi. ...Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal,
tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan
dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama' lainnya menghukumi haram
atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu
makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang
stabil.

Demikian pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof Dr Wahbah Az-Zuhailiy
di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal.
166-167) dengan sepotong teks, sebagai berikut:

ÇáÞåæÉ æÇáÏÎÇä: ÓÆá ÕÇÍÈ ÇáÚÈÇÈ ÇáÔÇÝÚí Úä
ÇáÞåæÉ¡ ÝÃÌÇÈ: ááæÓÇÆá Íßã ÇáãÞÇÕÏ ÝÅä ÞÕÏÊ
ááÅÚÇäÉ Úáì ÞÑÈÉ ßÇäÊ ÞÑÈÉ Ãæ ãÈÇÍ ÝãÈÇÍÉ Ãæ
ãßÑæå ÝãßÑæåÉ Ãæ ÍÑÇã ÝãÍÑãÉ æÃíÏå ÈÚÖ ÇáÍäÇÈáÉ
Úáì åÐÇ ÇáÊÝÖíá. æÞÇá ÇáÔíÎ ãÑÚí Èä íæÓÝ
ÇáÍäÈáí ÕÇÍÈ ÛÇíÉ ÇáãäÊåì: æíÊÌå Íá ÔÑÈ ÇáÏÎÇä
æÇáÞåæÉ æÇáÃæáì áßá Ðí ãÑæÁÉ ÊÑßåãÇ

Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab Al-'Ubab dari madzhab Asy-Syafi'i
ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap
sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk
ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk
yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini
dikuatkan oleh sebagian ulama' dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan
tingkatan hukum ini. Syaikh Mar'i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy,
penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah
pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun
lebih utama meninggalkan keduanya.

Ulasan 'Illah (reason of law)

Sangat menarik bila tiga tingkatan hukum merokok sebagaimana di atas
ditelusuri lebih cermat. Kiranya ada benang ruwet dan rumit yang dapat
diurai dalam perbedaan pendapat yang terasa semakin sengit mengenai
hukum merokok. Benang ruwet dan rumit itu adalah beberapa pandangan
kontradiktif dalam menetapkan 'illah atau alasan hukum yang di antaranya
akan diulas dalam beberapa bagian.

Pertama; sebagian besar ulama' terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu
mubah atau makruh. Mereka pada masa itu lebih bertendensi pada bukti,
bahwa merokok tidak membawa mudarat, atau membawa mudarat tetapi relatif
kecil. Barangkali dalam gambaran kita sekarang, bahwa kemudaratan
merokok dapat pula dinyaakan tidak lebih besar dari kemudaratan durian
yang jelas berkadar kolesterol tinggi. Betapa tidak, sepuluh tahun lebih
seseorang merokok dalam setiap hari merokok belum tentu menderita
penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang
dalam setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit
penyakit berat.

Kedua; berbeda dengan pandangan sebagian besar ulama' terdahulu,
pandangan sebagian ulama sekarang yang cenderung mengharamkan merokok
karena lebih bertendensi pada informasi (bukan bukti) mengenai hasil
penelitian medis yang sangat detail dalam menemukan sekecil apa pun
kemudaratan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar. Apabila karakter
penelitian medis semacam ini kurang dicermati, kemudaratan merokok akan
cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya.
Selanjutnya, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih
besar itu (hanya dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum
haram. Padahal, kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan
dasar untuk menetapkan hukum makruh.

Hal seperti ini kemungkinan dapat terjadi khususnya dalam membahas dan
menetapkan hukum merokok. Tidakkah banyak pula makanan dan minuman yang
dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk
dikonsumsi. Mungkinkah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak
steril itu kemudian dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa
besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram
hukumnya.

Ketiga; hukum merokok itu bisa jadi bersifat relatif dan seimbang dengan
apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada 'illah yang
mendasarinya. Dengan demikian, pada satu sisi dapat dipahami bahwa
merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena
mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang
tertentu yang tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi
kadarnya kecil.

Keempat; kalaulah merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum
makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang
lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Adapun
bentuk kemaslahatan itu seperti membangkitkan semangat berpikir dan
bekerja sebagaimana biasa dirasakan oleh para perokok. Hal ini selama
tidak berlebihan yang dapat membawa mudarat cukup besar. Apa pun yang
dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka
haram hukumnya. Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan,
hukumnya tetap haram meskipun terdapat manfaat apa pun bentuknya karena
kemudaratannya tentu lebih besar dari manfaatnya.


KH Arwani Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa'il PBNU Sumber  PBNU
:http://www.nu.or.id <http://www.nu.or.id/>

Kirim email ke