Jawa Pos

 

[ Minggu, 27 Juli 2008 ] 
Pencerah-Pencerah di Lembah Hitam 

Bangun Masjid, Bagi Sembako, Beli Aset Mucikari 

Di Surabaya begitu banyak penceramah agama. Namun, tak banyak di antara mereka 
yang menerjuni kawasan merah, lokalisasi. Berikut adalah sedikit di antara 
orang-orang yang rela mengabarkan kebaikan di kantong-kantong kemaksiatan itu. 

----------

HATTA bukan orang Surabaya tulen. Dia juga tak punya pendidikan formal yang 
terlalu tinggi, cukup pesantren setingkat SMA. Bapak tiga anak itu juga tak 
punya modal materi besar, cukup keahlian berdakwah.

Meski begitu, dia punya sumbangan cukup besar bagi kota ini. Dia ikut 
memberikan kontribusi membuat redup lampu-lampu merah yang biasa menyala di 
kompleks Lokalisasi Bangunsari dan Bangunrejo. Dakwah pria dengan nama lengkap 
Muhammad Hatta itu bisa mereduksi praktik jual beli aurat di kompleks esek-esek 
tersebut.

''Biarkan mereka (pelacur dan mucikari) berubah secara alamiah. Jangan 
ditakut-takuti atau diancam. Termasuk ditakut-takuti masuk neraka,'' ucap 
Hatta. ''Mereka tahu pekerjaannya adalah dosa. Makanya, kita tidak boleh 
menggurui, apalagi menjustifikasi,'' imbuhnya.

Cara berdakwah Hatta memang cukup simpel. Ketika bertatap muka dengan penghuni 
lokalisasi, dia hanya sering mengingatkan bahwa hidup memang penuh cobaan. 
''Ibaratnya, cobaan itu adalah badai. Saya bilang bahwa tidak ada badai yang 
tak berlalu. Saya kira, itu bisa lebih diterima PSK dan mucikari,'' ucapnya.

Hatta menjadi pendakwah sejak lulus dari Pesantren Al Huda di Banjarmasin 30 
tahun silam. Setelah itu, dia mengikuti kedua orang tuanya hijrah ke Surabaya 
pada awal 1990-an. Hatta juga aktif dalam organisasi masyarakat Muhammadiyah.

Nah, tak lama kemudian, dia pun dipercaya menjabat ketua Pengurus Cabang 
Muhammadiyah Krembangan. Dari situ, dia mulai bergelut dengan dunia prostitusi. 
Maklum, Bangunsari dan Bangunrejo termasuk bagian dari teritorial organisasi 
yang dipimpinnya.

''Saya benar-benar prihatin melihat daerah itu. Saya dan teman-teman pun 
akhirnya merancang strategi untuk mengentaskan atau mengurangi pelacuran di 
tempat tersebut,'' katanya.

Hasil diskusi Hatta dan kawan sejawatnya menghasilkan keputusan membangun 
masjid. Dia berpikir, jika ada rumah ibadah, paling tidak, setiap hari mucikari 
dan PSK mendapatkan pencerahan dari corong-corong pengeras suara. 

''Paling tidak, mucikari atau PSK bisa mendengarkan suara azan, suara orang 
melafalkan Alquran dalam jarak cukup dekat. Kami juga rutin menggelar 
ceramah-ceramah di masjid supaya mereka selalu ingat,'' tuturnya.

Hatta termasuk salah seorang penceramah yang aktif berbicara melalui pengeras 
suara. ''Materinya itu tadi, agar masyarakat tabah menghadapi cobaan, tidak 
gampang putus asa, dan selalu berusaha menjadi lebih baik,'' katanya.

Siraman rohani dari Masjid At-Taqwa yang didirikannya mulai direspons. 
Setidaknya, setiap hari jamaah di rumah ibadah tersebut bertambah. ''Awalnya, 
jamaahnya paling banyak 20 orang saja. Kecuali kalau salat Jumat, baru 
masjidnya penuh,'' ucapnya.

Hatta dan sejawatnya mulai berpikir cara lain untuk mengikis pelacuran di 
Bangunsari dan Bangunrejo. Pilihannya jatuh pada pengajian keliling. ''Kami 
sepakat berkeliling dari satu gang ke gang lain, mengumpulkan warga, serta 
mucikari dan PSK. Kemudian, mereka kami beri siraman agama,'' ujar suami 
Sariyah itu.

Mulailah Hatta menggeser dakwah on air dari masjid menjadi off air dari gang ke 
gang, minimal sebulan sekali. Setiap acara mereka menutup seluruh akses menuju 
wisma. 

''Misalnya, pengajiannya di Bangunsari Gang I, seluruh akses jalan ditutup. 
Jadi, wisma tidak bisa beroperasi, minimal selama pengajian. Biasanya acara 
digelar pukul 19.00 hingga 21.00. Padahal, saat itu kan sedang ramai-ramainya 
tamu,'' ucapnya.

Bukan hanya PSK dan mucikari yang tidak bisa bekerja selama pengajian. Pria 
hidung belang yang akan suka jajan juga dipaksa balik kanan oleh acara itu. 
''Saya kira, pengajian itu cukup memberikan kontribusi,'' katanya.

Mucikari dan PSK tak perlu khawatir kehilangan ''rezeki'' selama ada pengajian. 
Sebab, Hatta juga membagi-bagikan sembako selama acara. ''Sembako bisa menjadi 
magnet bagi mucikari atau pengelola wisma untuk mengikuti pengajian. Yang 
selalu kami bagikan adalah beras dan mi instan. Selain itu, kadang bagi-bagi 
gula, atau minyak goreng. Semua bantuan dari donatur,'' tutur Hatta.

Pengajian keliling rutin. Dakwah melalui masjid juga tak pernah absen. Namun, 
Hatta tak pernah berhenti memutar otak untuk mencari formulasi tambahan guna 
mengurangi teritorial lokalisasi.

Strategi selanjutnya jatuh pada pembelian aset milik mucikari. ''Selama ini, 
kalau ada wisma dijual, biasanya dibeli mucikari lain, kemudian didirikan wisma 
dengan nama baru. Ini yang juga kami antisipasi,'' ucapnya.

Lagi-lagi, Hatta menggalang bantuan donatur. Dia meminta kawannya yang punya 
uang lebih untuk membeli wisma-wisma yang dijual pemiliknya. ''Akhirnya, banyak 
wisma yang dibeli jamaah kami, kemudian dibuat sebagai tempat tinggal,'' 
ucapnya.

Tiga strategi itu cukup efektif. Setidaknya memberi kontribusi jumlah wisma, 
mucikari, dan PSK di Bangunsari dan Bangunrejo. ''Dulu di kawasan ini ada 15 
gang, seluruhnya penuh wisma. Sekarang gang yang masih banyak wismanya tinggal 
dua. Sisanya sudah beralih fungsi,'' kata Hatta.

Saat ini wisma-wisma yang terdiri atas banyak kamar itu banyak yang menjadi 
rumah kos. Banyak juga yang dijadikan tempat usaha dan tempat tinggal warga. 
''Alhamdulillah, jumlahnya terus berkurang,'' ujarnya.

Strategi terakhir yang dilakukan Hatta dan teman seperjuangannya adalah 
berdakwah melalui pendidikan. Kebetulan, lembaganya, Muhammadiyah, juga 
membangun SD (sekolah dasar) dan SMP (sekolah menengah pertama) di kawasan 
''lampu merah'' tersebut.

Di sekolah itu siswa berbaur. Mulai anak pegawai negeri, karyawan swasta, 
hingga keturunan mucikari dan PSK. ''Sekolah juga menjadi media berdakwah. Saya 
juga ikut menjadi pengurus sekolah tersebut,'' kata Hatta.

Minimal sebulan sekali anak-anak di sekolah tersebut diajak mengingatkan para 
mucikari dan PSK untuk meninggalkan pekerjaannya. 

''Anak-anak berkeliling lokalisasi sambil membawa poster untuk mengingatkan. 
Tidak menghakimi. Misalnya, isinya mengajak warga untuk bertobat. Bisa jadi, 
anak-anak yang berkeliling itu adalah anak PSK atau mucikari. Dengan begitu, 
ini bisa cukup menyentuh hati orang tuanya,'' ujarnya.

Selama berdiri, lanjut Hatta, sekolah Muhammadiyah di Bangunsari dan Bangunrejo 
memang banyak meluluskan anak mucikari dan PSK. ''Agama kan bisa membentengi 
anak agar tidak mengikuti jejak orang tua. Kalau tidak salah, bahkan ada anak 
mereka yang menjadi guru di sekolah kami,'' tutur Hatta.

Selama tinggal dan berdakwah di kawasan lokalisasi, Hatta mengatakan baru 
sekali mengalami sedikit perdebatan dengan pelaku lokalisasi. Yakni, ketika ada 
wacana penggusuran Lokalisasi Bangunsari dan Bangunrejo pada 1997.

Wacana itu disampaikan jamaah Masjid At-Taqwa. Mucikari dan PSK pun protes. 
Hingga akhirnya, terjadi pembicaraan di antara kedua pihak. ''Alhamdulillah, 
permasalahan akhirnya tercapai. Kami sepakat untuk tidak meneruskan wacana 
penggusuran. Sebab, mucikari dan PSK keberatan dengan alasan ekonomi,'' ucapnya.

''Itu bisa menjadi bukti bahwa kita tidak perlu konfrontasi dengan mereka. 
Biarkan mereka berhenti secara alamiah. Mereka sadar sendiri. Daripada digusur, 
dia pindah tempat, tapi melakukan praktik yang sama,'' urai Hatta, yang kini 
juga menjadi pengurus di Panti Muhammadiyah, Jalan Gresikan. (fid/dos)

<<14423large.jpg>>

Reply via email to