http://www.ambonekspres.com/index.php?act=news&newsid=26609
Rabu, 17 Jun 2009, | 22 Bias Standar Pelulusan Siswa Ki Supriyoko* SETELAH konsentrasi masyarakat kita terfokus pada ujian nasional (unas) ulang di 33 SMA dan MA yang keputusan pelaksanaannya melibatkan anggota DPR RI, Menteri Pendidikan Nasional, dan ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), kini beralih pada pengumuman hasil unas. Pengumuman hasil unas yang notabene sejalan dengan kelulusan siswa tahun ini tidak dilaksanakan secara serempak. Sebagian dilaksanakan pada 13 Juni 2009 sebagaimana yang direncanakan dan sebagian lagi dilaksanakan pada hari-hari berikutnya. Terjadinya tragedi unas ulang rupanya telah mengacaukan keserempakan pengumuman kelulusan siswa yang jauh hari direncanakan. Mengapa bisa kacau? Banyak dinas pendidikan provinsi yang menerima hasil unas baru pada 12 Juni sehingga hanya memiliki waktu sempit untuk mengoordinasikannya dengan para kepala SMA dan MA di daerahnya. Alhasil pengumuman kelulusannya pun terpaksa diundur dari rencana semula daripada terjadi ketergesa-gesaan yang berpotensi memunculkan kekeliruan. Bayangkan kalau dalam pengumuman kelulusan terjadi kekeliruan. Negeri ini bisa geger karenanya. Basic Indicator Kalau kita telusuri sejarah, lahirnya unas itu memang menyimpan romantika yang unik karena terjadi perdebatan pro-kontra. Kalau kita mau jujur, kalau sekarang ini dibuka kembali, perdebatan itu masih diminati banyak orang, termasuk para guru dan kepala sekolah sebagai ujung tombak pendidikan di lapangan. Bagi yang setuju, dengan adanya unas, kualitas lulusan dari sedikit akan bisa distandarkan. Bahwa kenyataannya sangat sulit menstandarkan kualitas lulusan, paling tidak kesenjangan mutu antara lulusan di daerah yang satu dan yang lain dapat dikurangi. Bagi yang menolak, bagaimana mungkin nasib lulusan yang telah mengalami proses pembelajaran selama tiga tahun hanya ditentukan dalam satu hari, bahkan dalam dua jam ketika materi unas diujikan. Bukan itu saja, bagi siswa di sekolah dan madrasah yang jauh dari pusat informasi bagaimana mungkin harus mengerjakan ujian yang materinya hampir tak pernah diterima sebelumnya. Bagaimana hubungannya dengan penentuan kelulusan siswa? Di sinilah letak permasalahan yang sebenarnya. Permasalahan tersebut sebenarnya bergantung pada kita dalam memosisikan hasil unas. Hasil unas dapat diposisikan sebagai single indicator kalau menjadi satu-satunya indikator penentu kelulusan siswa. Tetapi, hasil unas dapat diposisikan sebagai basic indicator kalau di samping hasil unas, masih ada indikator lain sebagai penentu kelulusan. Banyak orang sependapat unas tetap dijalankan di Indonesia sepanjang diposisikan sebagai basic indicator. Artinya, pelulusan siswa tidaklah semata-mata dari hasil unas, tetapi juga memperhatikan indikator lain. Memang benar bahwa untuk bisa lulus sekolah atau madrasah diwajibkan lulus unas, tetapi siswa yang lulus unas tidak otomatis lulus sekolah atau madrasah. Kalau siswanya nakal, tidak jujur, tidak hormat pada orang lain, tidak menaati peraturan sekolah atau madrasah, dsb, meskipun lulus unas, yang bersangkutan pantas untuk tidak lulus sekolah atau madrasah. Depdiknas sering menyosialisasikan konsep unas bahwa hasil unas hanya sebagai salah satu indikator dan bukan satu-satunya indikator penentu kelulusan sekolah atau madrasah siswa. Bias Pelulusan Memang benar Depdiknas sering menyosialisasikan konsep unas bahwa hasil unas bukan satu-satunya indikator penentu kelulusan. Namun, kalau kita berbicara jujur, yang terjadi di lapangan sangat lain dengan konsepnya karena hasil unas menjadi satu-satunya indikator penentu kelulusan. Indikasi seperti itu makin tampak ketika hasil unas baru saja diterima oleh dinas pendidikan provinsi dan hari berikutnya sudah dikeluarkan hasil kelulusan siswa. Lebih dari itu, di masyarakat sudah tertanam persepsi bahwa kalau unasnya lulus, sekolah atau madrasahnya pun lulus. Seolah-olah tidak ada bedanya antara hasil unas dan kelulusan siswa. Persepsi itu telanjur tertanam kuat di masyarakat, termasuk di lingkungan sekolah dan madrasah. Implikasinya: banyak siswa, guru, dan kepala sekolah yang menomorsatukan mata pelajaran-mata pelajaran yang diunaskan dengan menomorsekiankan mata pelajaran yang lain. Siswa menganggap mata pelajaran matematika jauh lebih penting daripada pendidikan agama. Bahkan, banyak siswa yang kebablasan dengan memberi penghormatan berlebih kepada guru matematika dan mengabaikan guru pendidikan agama. Itu berarti telah terjadi bias pelulusan. Hasil unas yang seharusnya hanya menjadi salah satu indikator penentu kelulusan telah berubah menjadi satu-satunya indikator penentu kelulusan. Rasanya memang sudah tiba saatnya dilakukan kaji ulang terhadap unas. Kaji ulang ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk membuka kembali polemik unas yang berlangsung lama, tetapi untuk mengevaluasi secara kritis konsep unas sampai dengan pelaksanaannya. (*) (*) Mantan Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan kafi ulang terhadap massa.