Jawa Pos
[ Senin, 15 Juni 2009 ] Cara Konjen RI Hongkong Mengelola TKW Kita (1) Kursus Kecantikan agar Tak Jadi TKW Abadi Saat sibuk meeting dengan mitra di Hongkong untuk Project SCAN (Submarine Cable Asia Network) atau kabel fiber optik yang akan menghubungkan Surabaya-Jakarta-Hongkong, LINGGAR MULYONO meliput aktivitas KJRI Hongkong menangani TKW di bekas koloni Inggris itu. --- ''PAK Linggar, selamat pagi. Kalau ikuti kasus nasib buruk yang menipa Siti Hajar, TKW di Malaysia, penanganan dan sistem pelayanan berbasis perlidungan KJRI Hongkong salah satu jawabannya.'' Itu adalah pesan singkat (SMS) yang saya terima dari Ferry Adamhar, konsul jenderal RI di Hongkong, saat saya sedang makan pagi di Hotel Ibis, Jakarta, Kamis lalu (11/6). Hari itu saya sedang bersiap untuk presentasi di Pearl Energy tentang jalur kabel yang akan melalui daerah konsesi perusahaan minyak dari Abu Dhabi itu. Ketika SMS Pak Ferry masuk, kebetulan saya lagi membaca Koran Tempo yang memberitakan kasus penganiayaan Siti Hajar, 33, oleh majikannya yang bernama Michel. Selama tiga tahun, sejak Juli 2006, segala macam penganiayaan dialami Siti setiap hari, selain gajinya tidak dibayar dan dia tidak pernah bisa keluar rumah. Janda beranak dua itu sekarang dirawat di Universiti Malaya Medical Centre, Kuala Lumpur, untuk menyembuhkan luka-lukanya. Sebagai Presdir PT Fangbian Iskan Corporindo (FIC), anak perusahaan Jawa Pos yang mengurusi proyek SCAN, saya harus sering ke Hongkong untuk pertemuan dengan partner. Saya juga beberapa kali bertemu dengan Pak Ferry untuk berbincang banyak hal tentang Hongkong, termasuk soal TKW. Tapi, baru Minggu, 31 Mei, lalu saya mengikuti kegiatan Pak Ferry ''mengelola'' tenaga kerja wanita (TKW) kita di Hongkong yang saat ini mencapai 122 ribu orang lebih -75 persen di antara mereka berasal dari Jawa Timur. Hari itu saya diajak meresmikan kursus kecantikan bagi para TKW kita di Farida International Academy of Aesthetics di Jordan Road, kawasan Kowloon, yang merupakan angkatan pertama. Kegiatan itu disokong oleh beberapa perusahaan Indonesia di Hongkong, juga Teleglobal Pacific Group (TPG), partner FIC dalam pemasangan kabel Surabaya-Jakarta-Hongkong. Angkatan pertama diikuti 28 peserta, melalui seleksi yang cukup ketat. Setelah itu, kami menuju ke gedung konjen di kawasan Causeway Bay untuk meresmikan kursus memasak angkatan ke-9 hingga ke-12 bagi para TKW. Saya sampaikan kepada Pak Ferry, menurut bos saya, Pak Dahlan Iskan, berita tentang manusia itu ada dua jenis, yakni berita ''kekalahan manusia'' dan berita ''kemenangan manusia''. Berita Siti Hajar yang dihajar majikannya selama tiga tahun jelas merupakan contoh yang pas untuk jenis berita ''kekalahan manusia''. Tapi, berita TKW kita dikursuskan kecantikan sampai mendapatkan sertifikat sehingga nanti tidak terus menjadi domestic helper, istilah pembantu di Hongkong, merupakan berita ''kemenanganan manusia'' yang jarang muncul dari dunia TKW. ''Adik-adik antusias mengikuti kegiatan-kegiatan yang kita adakan,'' ujar Pak Ferry, yang selalu memanggil ''adik'' untuk para TKW di Hongkong. TKW kita di Hongkong, tampaknya, harus banyak bersyukur jika dibandingkan dengan TKW yang ditempatkan di negara lain. Mereka menerima banyak ''kenikmatan'' yang tidak bisa dirasakan TKW di negara lain. Selain pemerintah Hongkong yang bersih dan tegas dalam menegakkan hukum, KJRI di Hongkong telah menerapkan apa yang oleh Pak Ferry disebut ''sistem pelayanan berbasis perlindungan''. Para TKW kita di Hongkong memiliki hak, kewajiban, dan standar kontrak yang diatur sedemikian rupa oleh pemerintah Hongkong. Dan, itu tertuang dalam Employment Ordiance Chapter 57 untuk penatalaksanaan rumah tangga asing atau foreign domestic helper. Dalam aturan itu tertuang dengan jelas hak-hak para TKW, seperti gaji minimum, uraian kerja, kodisi tempat tinggal, asuransi kecelakaan kerja, libur satu hari dalam seminggu, cuti tahunan 7 hari, makan dan transportasi, hingga pemeriksaan kesehatan bila TKW sakit. Hanya di Hongkong, TKW kita bisa bebas keluar rumah dan berkumpul dengan sesama TKW lain pada Minggu. Dengan begitu, kalau ada permasalahan, mereka bisa berdiskusi dengan sesama TKW, atau datang ke konjen. Dan, setiap Minggu, jangan kaget, sekitar 10 ribu TKW kita kumpul di Victoria Park yang berada di kawasan Causeway Bay, sama dengan gedung KJRI kita. ''Waktu Idul Fitri lalu sekitar 40 ribu TKW kita salat Id bersama di Victoria Park,'' ujar Pak Ferry, yang saat itu menjadi penjamin akibat polisi Hongkong ''gugup'' dengan hadirnya puluhan ribu orang di tempat yang sama. ''Semua lancar, aman-aman saja,'' tambahnya. Tentu ini suatu ''kemewahan'' bagi TKW kita, yang tidak bisa dirasakan TKW lain meski ditempatkan di negara Islam seperti Malaysia atau negara-negara di Timur Tengah. Jangankan kumpul-kumpul tiap Minggu, atau salat Idul Fitri bersama, ke luar rumah saja tidak boleh. Bahkan, Siti Hajar selama tiga tahun tidak bisa keluar rumah hingga dia merusak gembok rumah majikanya yang dipasang di pintu dobel. TKW di Hongkong bahkan bisa memperoleh tabloid berbahasa Indonesia gratis, yakni Apakabar dan Suara, yang terbit dwimingguan. Mereka bisa mengikuti berita-berita dari Indonesia maupun seputar Hongkong yang berkaitan dengan profesinya. Tabloid Apakabar edisi 23 Mei-5 Juni, misalnya, halaman depan memuat foto Ketua KPK Antasari Azhar dengan judul Jebakan Cinta Ketua KPK. Sementara itu, halaman depan tabloid Suara memberitakan demo TKW Indonesia sehubungan dengan Hari Buruh (May Day), yang antara lain menyuarakan underpayment dan excessive agency fee. Wartawan dua tabloid itu juga hadir saat pembukaan kursus kecantikan di Farida, yakni Aliyah Purwati (Suara) dan Risty (Apakabar). ''Kami hidup dari iklan,'' ujar mereka saat saya tanya bagaimana mereka membiayai tabloidnya, yang setiap terbit dicetak sekitar 35 ribu eksemplar itu. Dan, memang, iklannya cukup banyak dengan produk dan jasa yang spesifik ditujukan kepada para TKW. Misalnya, produk kecantikan, telepon murah, cara telepon ke Indonesia dengan cara murah, dan cara mengirimkan barang ke Indonesia. Itulah sebabnya, bila ada kegiatan di KJRI, para TKW bisa tahu dan mendaftar untuk ikut serta karena dimuat di tabloid. Misalnya, untuk kursus memasak yang diadakan di KJRI, peserta yang mendaftar 260 orang sehingga harus diseleksi. Untuk kursus itu, yang diterima hanya 40 orang untuk empat angkatan, tiap minggu 10 orang. Seleksi yang lebih ketat diterapkan untuk peserta kursus kecantikan. ''Saya senang bisa ikut kursus kecantikan karena seleksinya ketat,'' ujar Zainatul Magzuroh, 26, TKW asal Desa Jasun, Demak, Jawa Tengah, yang sudah delapan tahun di Hongkong. Menurut Zaina -begitu dia dipanggil-, dirinya tidak ingin terus-terusan menjadi TKW. ''Saya juga ingin menikah dan punya anak,'' ujar gadis cantik berkulit putih itu. Itulah sebabnya, Zaina akan serius mengikuti kursus sehingga ketika kontraknya habis dia bisa membuka salon kecantikan di kota asalnya. Suasana kondusif itulah yang membuat remiten sosial (ide-ide, perilaku, identitas, dan kapital sosial) TKW Hongkong lebih menonjol jika dibandingkan dengan TKW dari negara lain. Penelitian yang dilakukan Wulan (2008) menunjukan bahwa TKW yang pulang dari Hongkong terlihat lebih pandai, lebih punya perencanaan untuk masa depan, dan punya banyak keterampilan daripada yang pulang dari Malaysia, Arab Saudi, dan Singapura. Menurut Ferry Adamhar, meski kondisi TKW di Hongkong relatif lebih baik ketimbang di negara lain, bukan berarti tidak ada persoalan. Dia membagi persoalan yang ada dalam dua kategori besar, yaitu struktural dan kultural. Dua persoalan itu membutuhkan penanganan yang berbeda. Berkat perhatiannya yang intens selama satu setengah tahun menjadi konsul di Hongkong, dia bisa merumuskan apa saja yang telah dan harus dilakukan. Pengalamannya itulah yang lantas dituangkan dalam buku yang berjudul Rumah yang Ramah: Menuju Palayanan Berbasis Perlindungan bagi TKI di Hongkong. Apa saja yang telah dia lakukan sehingga patut ditiru oleh pejabat kita di luar negeri yang lain, ikuti lanjutan tulisan ini besok. (bersambung)
<<75157large.jpg>>