http://www.mediaindonesia.com/read/2009/06/06/79054/70/13/Cendera-Mata-DPR-yang-Mencederai


Cendera Mata DPR yang Mencederai 


Rabu, 10 Juni 2009 00:01 WIB     

DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) tak pernah absen memproduksi kabar buruk. Itu 
pertanda belum ada niat serius memperbaiki citra lembaga perwakilan rakyat 
tersebut. Bahkan parlemen sedang mengalami krisis kepercayaan yang akut. 

Kabar buruk itu tidak hanya kasus korupsi yang membelit anggota dewan. Sejumlah 
wakil rakyat sudah dijebloskan ke bui karena kasus suap aliran dana Bank 
Indonesia (BI). Kini para wakil rakyat yang terhormat seperti antre menghadapi 
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada yang sudah memasuki persidangan, ada 
pula yang baru menjadi tersangka. Kasusnya pun aneka rupa, seperti dugaan suap 
pengadaan kapal patroli, alih fungsi hutan lindung, proyek pelabuhan di 
Indonesia Timur, dan terakhir kasus pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank 
Indonesia. 

Kasus-kasus korupsi itu kian membenarkan persepsi publik bahwa DPR merupakan 
salah satu institusi terkorup di negeri ini. Persepsi publik tersebut jelas 
terbaca pada laporan Transparency International Indonesia yang diluncurkan 
pekan lalu. Lembaga itu menegaskan bahwa sepanjang 2004-2009, DPR masih saja 
menyandang predikat lembaga terkorup. 

Di luar kasus korupsi, DPR juga mengalami delegitimasi sebagai lembaga yang 
tidak peduli pada kehendak rakyat. Hobi pelesiran ke luar negeri, sidang di 
hotel-hotel berbintang, tetap saja dilakukan meski dihujani kritik pedas. 
Disadari atau tidak, tabiat itu merusak citra DPR. 

Hari-hari ini lagi-lagi DPR kembali merusak dirinya sendiri. Di akhir masa 
jabatan yang tinggal empat bulan, DPR bukannya giat menyelesaikan kalender 
legislasi yang masih menumpuk. Mereka malah berburu cendera mata cincin emas 
senilai Rp5 miliar. 

Satu lagi bukti autentik DPR kebal terhadap kritik rakyat. Di satu sisi 
parlemen berteriak mengenai ancaman krisis global yang belum pulih, tapi di 
pihak lain menghamburkan uang rakyat. 

Kita prihatin karena DPR merasa wajar menerima cendera mata purnabakti. Lebih 
memprihatinkan lagi karena DPR membandingkannya dengan direksi BUMN, para 
menteri, atau pimpinan lembaga lain yang juga melakukan hal serupa di akhir 
masa jabatan. 

Tiga hal yang membuat kita mengurut dada. Pertama, DPR lupa bahwa untuk membuat 
ratusan cincin cendera mata bagi anggota DPR dibutuhkan biaya yang besar. Ini 
berbeda dengan cendera mata di lembaga pemerintah karena tidak ada yang 
mengakhiri masa jabatan secara massal seperti DPR. 

Kedua, DPR seolah-olah tidak merepresentasikan diri sebagai wakil rakyat. 
Semestinya, sekalipun di lembaga pemerintah dan BUMN ada tradisi cendera mata 
di akhir masa jabatan, DPR tidak patut menirunya. Bahkan DPR justru harus 
mengkritik praktik seperti itu sebagai pemborosan, bukan menjadikannya 
pembenaran untuk mengikuti langkah tersebut. Pemborosan, karena wakil rakyat, 
pejabat lembaga pemerintah dan BUMN menerima pensiun dari jabatannya itu. 

Ketiga, dan ini lebih memalukan, DPR menganggap cendera mata sudah menjadi hal 
yang sepantasnya mereka terima. Mereka kemudian membuat berbagai pembenaran 
agar kebiasaan buruk itu dilanjutkan. 

Memang, lima tahun terakhir DPR terpenjara dua penyakit kronis yang harus 
segera diamputasi. Yakni autisme dan narsis. Anggota dewan asyik mengurus diri 
sendiri, tidak peduli pada lingkungan dan konstituennya. Di sisi lain, parlemen 
cenderung mengagungkan diri berlebihan sehingga terjerembap pada sikap acuh 
kepada rakyat yang memilih mereka. 

Kita berharap DPR hasil Pemilu 2009 tidak lagi mengemis cincin cendera mata di 
akhir masa jabatan nanti. Semua mata rantai yang menistakan citra DPR harus 
diberangus. Rakyat pasti berpihak kepada mereka yang tekun memperbaiki rupa 
dewan, bukan kepada wakil rakyat yang hanya lihai membual atas nama rakyat. 

Reply via email to