=======================================================  
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun Ekonomi Rakyat, 
           Demokrasi, Kebangsaan dan Pruralisme Indonesia."  
======================================================= 
[Economic, Democration, Nationalism and Pruralism Indonesia Quotient] 
MEMPERINGATI 100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL  
MENYAMBUT 80 TAHUN SUMPAH PEMUDA  
MERAYAKAN HUT KEMERDEKAAN RI KE - 63  
DAN MERAYAKAN HARI PANGAN SEDUNIA 2008  
  
Cerita Manis Itu Kini Berubah Duka 
Jatuhnya Harga sawit 
  







KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI / Kompas Images 
Anjloknya harga sawit sampai Rp 300 per kilogram dari harga sebelumnya mencapai 
Rp 2.000 per kg telah membuat petani, terutama petani swadaya (yang tidak 
memiliki kerja sama dengan perkebunan besar BUMN maupun swasta), babak belur. 
Jumat, 17 Oktober 2008 | 03:00 WIB 
Oleh : Syahnan Rangkuti 
Bahori (23) masih bisa tersenyum. Walau senyum itu kecut. Sesekali ia juga 
tertawa, tetapi ketawa itu pun sumbang. Ketika dijumpai di areal kebun kelapa 
sawit miliknya, ia baru saja menjual hasil panen tandan buah segar sawit 
sebanyak 1 ton. 
Selasa, menjelang senja, ia sendiri saja di tengah kebunnya seluas 2 hektar di 
Desa Sialang Jaya, Kecamatan Rambah, Kabupaten Rokan Hulu, Riau—sekitar 200 
kilometer dari Pekanbaru. 
Dengan harga tandan buah segar (TBS) sekarang ini yang hanya Rp 300 per 
kilogram, ayah seorang bayi itu tentunya mendapat penghasilan Rp 300.000. 
Tetapi, tunggu dulu. Hitungan matematis itu belum putus. Bahori harus 
mengeluarkan uang Rp 50.000 untuk upah melangsir (membawa TBS dari kebunnya ke 
pinggir jalan besar dengan menggunakan kendaraan berpenggerak empat roda). Dia 
juga harus mengeluarkan uang Rp 300.000 untuk membayar upah tiga pekerja harian 
masing-masing Rp 100.000 untuk memanen selama dua hari. ”Saya nombok Rp 50.000. 
Namun, apa boleh buat. Saya memilih untuk tetap memanen karena kata orang, 
kalau tidak dipanen, nanti pohon sawit rusak dan tidak mau berbuah lagi,” kata 
Bahori. 
Untuk menutup utang, Bahori kembali ke profesi lama, yaitu menjadi buruh di 
kebun orang lain. Sepanjang Selasa itu dia bekerja di kebun orang. Upahnya Rp 
60.000 sehari. Alhasil, setelah membayar utang Rp 50.000, penghasilan bersihnya 
hari itu hanya Rp 10.000. 
Syaifudin yang memiliki kebun seluas 5 hektar juga senasib dengan Bahori. Hari 
itu ia mempekerjakan enam orang untuk panen sebanyak 2 ton. Padahal, masih ada 
2 ton lagi TBS siap panen. 
”Biarlah 2 ton lagi itu tetap dipohonnya sampai panen dua minggu lagi. Mana tau 
harga bisa membaik. Kalau pohonnya mau rusak, biarlah. Asal jangan seluruhnya,” 
kata Syaifudin. 
Syaifudin mengatakan, ia mendapat uang Rp 600.000 dari panen sebanyak 2 ton. 
Namun uang itu langsung dipotong Rp 240.000 untuk upah empat buruh angkut TBS 
ke tempat penumpukan dan Rp 140.000 lagi untuk upah dua pendodos (pemetik buah 
dari pohon). Pendapatannya masih berkurang lagi karena harus membayar upah 
melangsir dengan mobil Rp 100.000. Artinya, penghasilan bersih hari itu sebesar 
Rp 120.000 untuk hasil panen sebanyak 2 ton. 
”Sebelum harga anjlok, biasanya saya mendapat uang minimal Rp 4 juta dari 
sekali panen. Dalam satu bulan panen dua kali atau Rp 8 juta sebulan. Sekarang 
ini hitung saja pendapatan saya,” kata Syaifudin. 
Tentang upah melangsir yang mahal lebih disebabkan buruknya kondisi jalan ke 
perkebunan petani. 
Tidak mengherankan bila biaya untuk mengangkut satu ton TBS dari kebun ke 
pinggir jalan yang berjarak sekitar 1 kilometer, petani harus membayar Rp 
50.000 atau Rp 50 per kilogram. 
Di sebuah desa eks transmigrasi, biaya transportasi bahkan mencapai Rp 200 per 
kilogram atau Rp 200.000 per ton. Hal itu disebabkan jalan hancur dan jaraknya 
lebih dari 5 kilometer. 
Namun tidak semua jalan ke perkebunan petani di Rokan Hulu, begitu buruk. Di 
sebuah tempat tidak jauh dari kota Pasirpengarayan, ibu kota Kabupaten Rokan 
Hulu, jalan menuju perkebunan seorang kuat di Rokan Hulu ternyata diaspal 
hotmiks dengan lebar 12 meter. 
Cerita manis pemilik kebun sawit di Riau tersebut saat ini sudah berubah 
menjadi cerita duka. Harga TBS Rp 300 per kilogram, menurut Ardiman Daulay, 
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Cabang Rokan Hulu, 
sama seperti kondisi 12 tahun lalu saat menjelang krisis moneter melanda 
Indonesia tahun 1997. ”Dulu sebelum krismon, harga sawit memang Rp 300 per 
kilogram, tetapi harga-harga barang masih jauh lebih murah dibandingkan 
sekarang. Waktu itu harga beras masih ada yang Rp 1.000 per kilogram. Pada saat 
krismon dahulu, petani kami justru menikmati hasil karena harga sawit naik 
menjadi Rp 800 sampai Rp 1.000 per kilogram. Sekarang ini petani sawit yang 
mengalami krisis,” kata Daulay yang memiliki 2.500 anggota dengan lahan 118.000 
hektar. 
Menurut Daulay, bukan hanya petani yang mengalami krisis. Pedagang pengumpul 
mengalami nasib sama. Kusno, seorang tauke sawit (sebutan untuk pedagang 
pengumpul), sudah meminta keringanan kepada Bank BRI setempat untuk menunda 
pembayaran cicilan utangnya. 
Sebelum harga anjlok, Kusno meminjamkan uang kepada petani, nilainya Rp 200 
juta. Ini biasa dilakukan toke sawit agar petani mau menjual buah kepada 
mereka. Seluruh uang berasal dari pinjaman di Bank BRI. Sekarang ini seluruh 
piutang Kusno tidak dapat ditagih, karena petani peminjam tidak mampu membayar. 
”Kalau BRI tidak bersedia menunda cicilan, rumah Kusno akan segera disita 
bank,” ujar Daulay. 
Menurut Daulay, petani dari Desa Tandun sampai mencoba bunuh diri, meminum obat 
serangga, karena dililit utang Rp 200 juta di bank dan tidak dapat membayar. 
Untungnya, niat bunuh diri cepat ketahuan keluarganya dan si petani dapat 
diselamatkan. 
Krisis sawit seperti musim kemarau yang merontokkan segala sesuatu. Empat hari 
lalu, empat sepeda motor ditarik dealer karena petani menunggak cicilan. Lalu, 
dua pabrik kelapa sawit di Rokan Hulu, yaitu di Desa I, Ujung Batu, dan 
Petapahan, terpaksa pula ditutup karena cadangan CPO pabrik belum terjual. 
Krisis keuangan global kali ini, eksesnya ternyata menjalar tanpa ampun kepada 
petani kecil. Sayangnya, 80 persen dari 2.500 anggota Apkasindo Rokan Hulu 
merupakan petani kecil dengan lahan rata-rata 2 hektar. 
”Yang kami harapkan, pemerintah mau minta perbankan menunda pembayaran cicilan 
petani. Kalau tidak, akan lebih banyak petani sawit yang stres atau gila,” kata 
Daulay. 
  
* * * * * 
"Menemukan sesuatu yang baru bisa dilakukan dengan 
melihat objek yang sama seperti orang lain, 
tetapi menggunakan pola pikir yang berbeda." 
[ Nobel Laureate, Albert Szent-Gyorgys ] 
* * * * * 
  
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! 
  
Best Regards, 
Retno Kintoko 
  
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm



 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke