http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2008/4/3/o1.htm


Fragmentasi Politik Hambat Demokrasi


MEMBICARAKAN posisi pemerintah di Indonesia sungguh unik. Apalagi jika 
dikaitkan dengan kenyataan bahwa negara kita sedang berada dalam keadaan 
transisi, dari pemerintahan otoriter (faktanya) menuju demokrasi. Tetapi, 
pemerintah kita tidak terlalu kuat karena terfragmentasi sehingga terasa 
semakin hari makin kabur cita-cita pembaruan dan makin jelas saja nampak negara 
tetangga menyalip kita.

Di manakah fragmentasi tersebut? Yang paling jelas adalah antara kekuasaan 
eksekutif dan legislatif. Tidak perlu menjadi seorang ahli politik untuk 
menganalisis bagaimana persaingan antara eksekutif dan legislatif tersebut. 
Kasus paling baru adalah ditolaknya calon gubernur Bank Indonesia (BI) oleh 
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kita. Tidak jelas, apakah penolakan ini karena 
masalah kualitas calon atau memang demi tujuan agar kelihatan DPR kita kritis. 
Atau malah penolakan tersebut benar-benar mewujudkan rivalitas eksekutif dengan 
legislatif.

Dalam hal dinamika hubungan eksekutif dan legislatif, yang menjadi kekhawatiran 
kita jangan-jangan rivalitas tersebut didasari oleh persaingan antarpartai 
politik. Seperti kita tahu, komposisi partai politik di DPR kita sangatlah 
jamak. Yang memegang peran paling besar, tentu saja Partai Golkar dan PDI 
Perjuangan. Jika dua partai ini saja mau bersatu di DPR untuk memojokkan 
keputusan eksekutif, bukan main dampaknya terhadap sebuah keputusan politik, 
terutama dalam pembuatan perundang-undangan. Undang-undang bisa macet hanya 
karena tidak mendapat persetujuan DPR. Inilah dampak buruk fragmentasi 
antarlembaga tersebut.

Tetapi, jika misalnya fragmentasi tersebut juga terjadi di lembaga legislatif, 
maka dampaknya adalah perumusan perundang-undangan bisa berlangsung lama dan 
melelahkan. Katakanlah soal rancangan perundang-undangan pemilihan presiden dan 
wakil presiden. Saat ini di lembaga legislatif kita sedang berlangsung perang 
pendapat dalam kasus ini. Partai Golkar mengusulkan pengajuan pasangan calon 
berkisar 25-30 persen dari jumlah kursi DPR. PDI-P menginginkan sekitar 20-25 
persen. PKS tetap berpegang pada ketentuan lama yakni 15 persen. Ketua Umum PAN 
menyatakan cukup dengan 10 persen. Sedangkan partai-partai kecil mengusulkan 
agar semua partai yang memiliki kursi di DPR dapat mengajukan pasangan calon. 
Tampaknya aneka usulan terkait dengan ekspektasi perolehan suara masing-masing 
partai pada pemilu legislatif 2009.

Kondisi demikian pastilah membuat runyam masalah politik Indonesia. 
Sesungguhnya hal seperti ini merugikan partai politik itu sendiri. Mereka akan 
kehilangan waktu yang cukup banyak untuk mempersiapkan diri, terutama dalam 
mengusulkan calon presiden dan wakil presiden. Bagi masyarakat umum juga sangat 
merugikan. Di samping bosan dengan pertikaian pendapat, juga mengurangi waktu 
untuk membuat analisis pilihan pribadi. Pengutaraan calon presiden lebih cepat 
sangat diperlukan bagi masyarakat untuk menganalisis calon yang kelak hendak 
dipilih. Jika hal ini berlarut-larut, bukan tidak mungkin kebosanan itu akan 
menumpuk menjadi apatisme. Bentuk apatisme masyarakat itu macam-macam. Mulai 
dari tidak datang menuju bilik suara pemilihan umum (memboikot), menusuk bagian 
putih di luar lingkaran pilihan pada kartu pemilih atau malah menghasut untuk 
tidak ikut pemilu. Jika ini terjadi, pemilu Indonesia sama sekali tidak ada 
artinya. Yang rugi adalah negara dan bangsa Indonesia.

Karena itu, dalam hal fragmentasi seperti ini, partai politik haruslah 
pintar-pintar melihat ke bawah. Masyarakat harus dilihat bukan kepentingan 
kelompok. Partai-partai kecil harus juga memahami kondisinya sehingga tidak 
ngotot. Sebaliknya partai besar jangan memaksakan kehendak. Di masa depan, demi 
menghindari fragmentasi seperti ini, Indonesia harus berpikir untuk mengurangi 
jumlah partai politik. Lima partai politik sudah cukup. Jangan lebih!

Kirim email ke