http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2007101803164716
Kamis, 18 Oktober 2007 OPINI Hambatan Politik Pemberantasan Korupsi Syafarudin Dosen FISIP Unila, Mahasiswa S2 Ilmu Politik UGM Pasca Orde Baru hingga hari ini, persoalan korupsi bukan menurun dan berhasil diatasi. Malah semakin masif terjadi dan melebar ke semua wilayah. Korupsi nampaknya hanya menunggu waktu dan kesempataan. Bukan hanya terjadi persekongkolan di bawah meja, melainkan juga di atas meja, dan mejanya pun kini ikut dikorup. Demikian seloroh Gus Dur, mantan presiden yang lengser akibat kasus buloggate. Yang makin memprihatinkan, korupsi kembali mendera institusi penegak hukum, seperti kasus anggota KY Irawadi Yunus. Kasus ini makin melengkapi deretan persoalan yang menimpa oknum jaksa, hakim, polisi, pengacara, panitera, dan pengelola lapas. Tidak ada wilayah yang steril dari korupsi. Deretan panjang pejabat tertunduk lesu meringkuk di tahanan. Mulai dari kasus yang menyeret oknum RT sampai presiden. Bagaimana dengan korupsi di nongovernment? Sama saja, kita pernah membaca kasus penyimpangan yang melibatkan pokmas, LSM penyalur kredit, pondok pesantren, paguyuban, jurnalis (ingat kasus aliran panjang dana DKP?), dan banyak lagi. Wajar bila lembaga internasional (misalnya, Transparansi Internasional, World Bank, ADB, Jetro, Time, PBB, dll.) tetap menempatkan Indonesia pada peringkat utama negara korup. Malu memang menjadi orang Indonesia, seperti kata Taufik Ismail dalam puisinya. Tapi mau diapakan lagi, itulah wajah kita hari ini. Kenapa ini Terus Terjadi? Menurut saya, karena strategi pemberantasannya hanya bermain di wilayah kultural dan belum menyentuh rekonstruksi struktural. Beberapa pihak masih berpandangan korupsi terjadi karena ada niat, kesempatan, dan minus pengawasan. Untuk mengantisipasi "niat jahat" dilakukanlah peningkatan kesejahteraan, naik gaji tiap tahun, siraman rohani, dan sebagainya. Agar "kesempatan" tidak berdampak buruk diadakanlah seleksi internal ketat, rotasi, menutup celah hubungan dengan client, dan sebagainya. Penguatan pengawasan tidak juga kurang mulai dari pengawasan fungsional, teknis, administratif, dan hukum, baik internal dan eksternal melibatkan partisipasi masyarakat. Bahkan dibentuk Timtas Tipikor, KPK, Komisi Ombudsman, dan sebagainya. Namun kenapa korupsi terus subur? Saya kira kita harus juga memahaminya dari perspektif politik. Wajah politik kita masih sama secara substantif dengan masa Orde Baru. Bahkan menurut studi Ben Anderson, ini warisan dari zaman kerajaan nusantara dan Hindia Belanda. Kita tetap memilihara apa yang disebut para pakar dengan istilah bureaucratic politic, bureaucratic rente, bureaucratic patrimonial, dan negotation state. Kita belum sepenuhnya berhasil mendorong orientasi kekuasaan dari negara (state centric) menuju rakyat (society centric). Kita cepat merasa puas padahal masih terjebak kondisi pseudo democratic yang menyuburkan korupsi. Birokrasi sipil dan militer masih tetap mengutamakan kepentingan mereka dan negara, memburu rente (rent seeking) dari penerimaan dan pengeluaran anggaran, menjaga kesinambungan ekonomi-politik elite, dan mengedepankan otonomi relatif terhadap rakyat. Saling menutupi, mudah diajak negosiasi, dan selingkuh dalam rekrutmen dan penegakan aturan. Birokrasi dan negara menjadi wilayah yang kurang bisa disentuh (untouchable) oleh rakyat. Rakyat termasuk pers sebagai pilar keempat dipersilahkan saja melakukan pengorganisasian jaringan rakyat, melakukan pengawasan, pelaporan, dorongan, dan pemantauan kasus korupsi. Yang pegang bola tetap saja birokrasi dan negara. Bola itu bisa disimpan, diteruskan, dituntaskan, atau segera dibuang ke dalam kotak sampah. Bola disimpan dan dimasukan ke keranjang karena berhasil negosiasi dan tersedia uang damai. Bola diteruskan dan dituntaskan karena upeti yang kecil, tuntutan promosi jabatan, dan tengah menjadi sorotan publik. Tebang pilih penuntasan korupsi, meski sering dibantah, tapi itulah kenyataannya. Rakyat hanya menjadi penonton bukan pemain sebenarnya. Di atas panggung berlangsung sandiwara, negosiasi, drama, seolah-olah terjadi pluralisme dan kontestasi politik, dan seolah berpihak kepada rakyat. Di belakang panggung, kata Karl D. Jackson, elite birokrasi sipil dan militer sambil minum dan sedikit mabuk mereka tertawa dan berteman mesra. Rakyat hanya disuguhkan demokrasi semu. Konstitusi yang dirancang elite birokrasi dan politik seolah-olah sudah mengakomodasi kedaulatan rakyat. Rakyat sekarang kan sudah bisa memilih langsung anggota Dewan, DPD, kepala daerah, bahkan presiden. Kurang apalagi toh? Memang benar, tapi rakyat tidak bisa langsung melakukan pemutusan kontrak sosial pejabat publik di tengah jalan yang di situlah berpeluang besar terjadi penyimpangan. Terlebih lagi di level pejabat birokrasi sipil dan militer yang tidak mungkin bisa disentuh rakyat karena didesain menjadi wilayah jabatan karir, bukan jabatan politik. Bagaimana Mencegahnya? Kasus pencegahan korupsi dengan pendekatan struktural di negara Georgia, meski masih ada sisi lemahnya, tetap bisa menjadi referensi. Rekrutmen, kontrol, dan funishment elite birokrasi sipil dan militer yang terlibat di dalam penerimaan dan belanja, pengawasan dan penegakan hukum-benar-benar berbasis rakyat dan dioperasionalkan dalam wilayah hukum terkecil sebagai jawaban kondisi negotiation state yang sudah berlangsung lama. Asumsi dan logika mereka sederhana (banyak mengadopsi pedekatan ekonomi, sosiologi, dan psikologi) namun sebenarnya struktural. Anda masih belanja di warung "A" bila dia menjual barang dengan harga wajar, sebaliknya tidak lagi belanja bila dia menjual barang lebih mahal. Anda menjual telur ke warung-warung dengan logika yang sama. Pembantu tetap anda pekerjaan bila dia jujur dan segera anda pecat bila dia mencuri. Rakyat memilih dan mendukung elite birokrasi (pejabat pegawai, pejabat pengawas, jaksa, penyidik, pejabat panitera, hakim, dan pejabat lapas) yang amanah. Rakyat (terutama sekup lokal) memiliki peran dan kekuasaan memilih. Pejabat dapat di-recall publik dan pers. Tidak perlu pembuktian dan persidangan, tercium skandal sebaiknya segera mengundurkan diri. Etika, budaya, dan moral politik kembali mereka bangun. Sangat rumit memang. Tapi bagi negara sekuler seperti kita, nampaknya itu perlu dipelajari, selain mempertimbangkan segera ganjaran hukuman gantung dan peti mati ala China serta potong tangan ala Arab Saudi.
<<bening.gif>>