Refleksi: Untuk menghidupkan dibutuhkan bantuan kaum pedagang, tanpa 
komersialisasi sulit untuk karnaval Genderuwo dihidupkan. Setuju dihidupkan 
biar ramai gembira ria, iblis bin seythan juga membutuhkan hari perayaan penuh 
keramaian.

-----
Jawa Pos
[ Senin, 02 November 2009 ] 

Hidupkan Karnaval Genderuwo 


JOGJA - Di kalangan masyarakat Jawa, dikenal bangsa jin yang disebut genderuwo. 
Gambarannya mengerihkan dengan tubuh besar hitam, bergigi runcing, dan rupa 
menyeramkan. Minggu 1 November kemarin, masyarakat Kampung Bumen Purbayan 
Kotagede, Jogjakarta mengadakan Karnaval Genderuwo. Karnavak itu untuk pertama 
kalinya diadakan lagi sejak tenggelam 1950-an. 

"Karnaval ini berawal dari usaha mengusir genderuwo yang lantas bisa dikuasai. 
Mereka akhinyr amengikuti setiap ada hajatan, termasuk mengiringi pengantin," 
terang Wardoyo sesepuh Kampung Bumen.

Namun, kini tradisi itu dihidupkan lagi dalam suasana berbeda. Genderuwo itu 
disamarkan dalam berbagai bentuk agar bisa dijadikan asset budaya. Maka, 
jadilah gendruwo-gendruwo itu bukan sesuatu yang menakutkan. 

Tapi justru menjadi tontonan khalayak ramai. Karena diarak keliling kampung 
diiringi tetabuhan dan lucu-lucuan yang menghibur.

Dalam karnval kemarin, genderuwo mengiringi sepasang "pengantin" yang 
diperankan seorang pemuda setempat dan Marissa Reichest seorang mahasiswi asal 
Jerman yang sedang studi di Jogja. Dan di belakang mereka, puluhan peserta 
dengan berbagai atribut. Mulai pakaian daerah, para Punakawan, serta ibu-ibu 
berbusana lucu-lucuan dengan bedak dan coretan di wajahnya masing-masing. 
(din/jpnn/ruk)

Kirim email ke