http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2010011801081028

      Senin, 18 Januari 2010 
     
      OPINI 
     
     
     
Istana Baru Koruptor 

      Nur Amalia Z.

      Mahasiswi Jurusan Administrasi Negara Unila

      Ada sebuah cerita baru di negeri Indonesia. Cerita tentang luasnya 
pengaruh uang atas segala sesuatu yang ada di negeri ini. Pengaruhnya ini telah 
menyebar kesegala aspek di penjuru negeri ini. Sepertinya saat ini sudah tidak 
ada lagi tempat di negeri ini yang tidak bisa dibeli dengan uang.

      Bahkan penjara yang identik dengan kesan seram, pengap, panas, dan sangat 
tidak nyaman pun bisa disulap menjadi tempat yang nyaman seperti kamar hotel 
dan kantor jika ada uang. Penjara "mewah" ini biasa dipakai oleh para 
narapidana yang berkantong tebal. Mereka biasanya adalah narapidana yang 
terjerat kasus korupsi.

      Contohnya sel tahanan yang diperuntukan bagi Artalyta Suryani atau biasa 
dipanggil Ayin, pengusaha sukses yang berasal dari Lampung. Selain Ayin, ada 
beberapa pejabat dan pengusaha yang terlibat kasus korupsi yang menapatkan 
fasilitas khusus di dalam penjara. Mereka tetap dapat hidup nyaman sambil 
mengendalikan perusahaan mereka di dalam penjara.

      Di dalam sel yang mengurung mereka, bisa ditemukan kasus pegas, televisi, 
penyejuk udara, dan kamar mandi dengan shower. Para tersangka kasus koruptor 
ini pun dapat membawa telepon seluler dan komputer jinjing ke kamar baru 
mereka. Terkadang mereka pun dapat menerima tamu hingga larut malam. Jika ingin 
keluar penjara, itu pun bisa diatur. Asalkan mereka dapat menyiapkan uang 
jutaan rupiah dan beberapa amplop untuk para sipir penjara, para koruptor ini 
dapat melenggang bebas ke luar penjara selama beberapa jam. Bahkan khusus untuk 
Ayin, dia mandi dengan air kemasan yang dipasok khusus untuk dirinya. Mungkin 
dia takut terkena penyakit kulit jika mandi dengan air keran yang biasa 
digunakan oleh narapidana lainnya.

      Guna menutupi pemberian keistimewaan ini, kepala rumah tahanan pun telah 
menyiapkan alasan yang logis atas kemewahan yang diberikan kepada para 
narapidana kasus korupsi. Contohnya saja ruangan dengan berbagai perlengkapan 
mewah yang dinikmati para koruptor itu, diakui bisa digunakan oleh semua napi 
dan bukan beberapa napi saja karena ruangan itu memang untuk umum. Sedangkan 
izin keluar penjara diberikan karena sang napi telah memenuhi prosedur yang 
telah ditentukan untuk izin keluar penjara. Mereka mengatakan bahwa segala 
kemewahan yang dinikmati pasakitan ini memang sudah sewajarnya mereka terima 
karena sudah sesuai prosedur.

      Akan tetapi, jika melihat beberapa pemberitaan akhir-akhir ini di media 
cetak dan elektronik, sepertinya apa yang dikatakan kepala rumah tahanan hanya 
sebuah pleidoi. Pembelaan atas segala tindakan yang mereka coba sembunyikan. 
Seperti pepatah yang mengatakan "Jika penjahat mengaku, maka penjara akan 
penuh". Jadi jika para penjaga rumah tahanan ini mengakui adanya keistimewaan 
yang mereka berikan kepada para tahanan kasus korupsi karena mereka pun telah 
disuap oleh para napi. Maka sel penjara akan penuh diisi oleh para sipir 
penjara itu sendiri.

      Pemberian keistimewaan ini sangat mencerminkan tidak adanya keadilan di 
lembaga permasyarakatan. Di saat para koruptor ditahan di sel mewah mereka, 
maka para penjahat lainnya hidup seperti di neraka saat mereka di penjara. Para 
maling, copet, pembunuh, pengedar narkoba, dan penjahat kecil lainnya ini harus 
berdesakan di dalam sel yang sempit dan pengap. Terkadang mendapat perlakuan 
buruk dari sipir penjara atau narapidana lainnya.

      Seharusnya lembaga permasyarakatan menjadi tempat untuk memberikan 
hukuman kurungan atas kesalahan yang seseorang lakukan. Selain itu juga menjadi 
tempat rehabilitasi agar para narapiana saat keluar dari penjara nanti tidak 
kembali melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Bukannya berubah fungsi 
menjadi kantor dan rumah sementara bagi para koruptor.

      Inilah mungkin sebagai tugas pertama bagi Satuan Tugas Pemberantasan 
Mafia Hukum yang baru saja dilantik, yaitu mengembalikan fungsi sesungguhnya 
dari lembaga permasyarakatan. Semoga saja keadilan di Indonesia benar-benar 
bisa ditegakkan. Tanpa melihat status sosial dan jumlah kekayaan seseorang 
sehingga sila kedua dalam Pancasila yang berbunyi Kemanusiaan yang Adil dan 
Beradab dapat terwujud. Tapi apakah keadilan itu akan benar-benar bisa 
terwujud? Kita lihat saja kelanjutan cerita ini. n
     

<<bening.gif>>

Reply via email to